Mohon tunggu...
I Nengah Suardana
I Nengah Suardana Mohon Tunggu... Guru - Guru Agama Hindu, SD Negeri 1 Manggissari

Guru Agama Hindu di SD Negeri Satu Manggissari , Pekutatan, Jembrana , Bali

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Makna Sarana Persembayangan Umat Hindu

30 Juni 2024   11:17 Diperbarui: 30 Juni 2024   11:32 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

MAKNA SARANA PERSEMBAHYANGAN UMAT HINDU

I Nengah Suardana

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan dan menjelaskan secara detail mengenai Makna sarana persembahyangan dalam tradisi Hindu. Disamping Juga untuk mengetahui bagaimana proses pelaksanaan dan tata cara peribadatannya. Untuk menjelaskan tujuan masalah diatas penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif. 

Dalam hal ini, penulis terlibat secara langsung dalam pemerolehan data dengan cara observasi, dokumentasi, dan wawancara. Selain itu penelitian ini menggunakan jenis data pustaka seperti, buku, skripsi, jurnal, artikel, media internet, dan sebagainya yang mencakup penelitian. 

Memahami penelitian ini menggunakan pendekatan Antropologi, yaitu mengkaji tentang makna simbol kebudayaan- kebudayaan produk manusia yang berhubungan dengan agama atau keyakinan umat Hindu dengan menggunakan teori Clifford Geertz. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan makna , simbol sarana. Hasil dari penelitian ini penulis mengetahui makna perlengkapan dalam agama Hindu. 

Secara umum biasanya perlengkapan dalam suatu persembahyangan hanya dilihat dari estetikanya saja padahal terlebih dari itu di dalam wujudnya yang unik ataupun bagus terdapat arti, fungsi dan makna yang berbeda. Terlebih dalam tata cara melaksanakan persembahyangan harian atau Tri Sandhya memiliki beberapa tahap, persiapan diri dengan hati yang tulus ikhlas dan pikiran yang bersih dilanjutkan dengan mempersiapkan sarana-prasarana, dan pelaksanaan kramaning sembah di iringi mantram Tri sandhya. 

Umat mereka menggunakan perlengkapan sembahyang Tri Sandhya meliputi Dupa (api), Bunga, Kwangen, Tirtha (air) dan Bija (beras), dari kelima perlengkapan tersebut memiliki makna yang berbeda.

Kata kunci: Makna Sarana Persembahyangan Umat Hindu

PENDAHULUAN

Manusia lahir dengan dikaruniai akal, pikiran serta kemampuan yg berbedabeda. Untuk itu manusia membutuhkan suatu hal untuk dirinya sebagai pondasi kehidupan seperti beragama contohnya. Dengan beragama manusia dapat menyelesaikan masalah dengan didorong oleh hal-hal religius dari suatu agama itu sendiri. Manusia membutuhkan sesuatu kekuatan spiritual ataupun konsep beribadah. 

Hal ini, berlaku pada setiap manusia yang beragama. Ibadah dapat melatih diri manusia dan akan membentuk akhlak yang baik. Akhlak yang baik merupakan hasil dari cerminan manusia yang beragama. Setiap umat beragama memiliki aktivitas Ibadah yang rutin dilakukan. Bagi umat Hindu Ibadah yang dilakukan adalah sembahyang dengan persiapan lahir dan batin. 

Kelahiran agama Hindu secara historis, dilatar belakangi oleh akulturasi kebudayaan antara suku Arya sebagai bangsa pendatang dari Iran dan Dravida sebagai penduduk asli India. Bangsa Arya masuk ke India kira-kira tahun 1500 SM. 

Dengan segala kepercayaan dan kebudayaan yang bersifat primitif (posesif), telah menjadi thesa (Dua hal yang dipertentangkan lalu didamaikan) di satu pihak, dan kepercayaan bangsa Dravida yang animis telah menjadi antitesa (tanggapan) di lain pihak. Dari sinkretisme antara keduanya, maka lahir agama Hindu (Hinduisme) sebagai synthesa (kesimpulan).

Kitab suci agama Hindu yaitu Veda/Weda, Weda secara etimologi berasal dari kata “Vid” (bahasa sansekerta) yang artinya mengetahui atau pengetahuan. Weda adalah ilmu pengetahuan suci yang maha sempurna dan kekal abadi serta berasal dari Hyang Widhi Wasa. 

Kitab suci weda dikenal pula dengan surti, yang artinya bahwa kitab suci weda adalah wahyu yang diterima melalui pendengaran suci dengan pemekaran intitusi para maha Resi (para dewa). Selain itu, bagaimana cara mendekatkan diri kepada Sang Hyang Widhi dengan melakukan metode yang diajarkan di dalam kitab suci Weda yaitu, empat jalan yang disebut Catur Marga atau Catur Yoga, Dalam konsep penyembahan terhadap Sang Hyang Widhi dalam agama Hindu tidak terlepas dari Yadnya. 

Kata Yadnya berasal dari kata “YAJ” dalam bahasa sanskerta yang berarti Korban, pemujaan. Yadnya berarti upacara korban suci. Sebagai suatu pemujaan yang memakai korban suci, maka Yadnya memerlukan dukungan sikap mental yang suci disamping adanya sarana yang akan dipersembahkan atau dikorbankannya.

Sarana yang melengkapi pelaksanaan Yadnya diistilahkan dengan upakara dan sajen. Secara etimologi upakara mengandung pengertian pelayanan yang ramah tamah atau kebaikan hati. Yadnya juga merupakan kebaktian, penghormatan dan pengabdian atas dasar kesadaran dan cinta kasih yang keluar dari hati sanubari suci dan tulus ikhlas sebagai pengabdian yang sejati kepada Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa).

Adapun Ibadah dalam agama Hindu disebut juga dengan sembahyang, sembahyang dalam agama Hindu diawali dengan persiapan terlebih dahulu. Sembahyang ini meliputi persiapan secara lahir dan batin. Secara lahir persiapan itu dapat meliputi kebersihan badan, sikap duduk yang baik, pengaturan nafas, sikap tangan dan lain-lain yang merupakan sarana penunjang persiapan ini yaitu pakaian yang bersih tidak mengganggu ketenangan pikiran, adanya bunga (kembang) dan dupa. 

Sedangkan persiapan batin adalah ketenangan dan kesucian pikiran. Pada umumnya umat Hindu memerlukan peralatan untuk melakukan sembahyang harian atau yang disebut juga dengan istilah Tri Sandhya contoh peralatannya yaitu seperti dupa dan lainnya. Dengan ini saya sebagai penulis tertarik untuk memperdalam apa saja peralatan di dalam sembahyang dalam agama Hindu.

METODE

              Jenis penelitian Penelitian yang penulis lakukan adalah adalah penelitian lapangan field research dengan pendekatan kualitatif. Menurut Denzin dan Lincoln, kata kualitatif menyiratkan pada proses dan makna yang tidak dikaji secara ketat dari sisi kuantitas, jumlah, intensitas atau frekuensinya. 

Maka dengan metode kualitatif ini peneliti menekankan sifat realitas ketika menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia di lapangan. Yang dimaksud kualitatif adalah jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak bisa diperoleh dengan menggunakan prosedur-prosedur statistic atau cara-cara lain dari kuantitatif. Penelitian kualitatif secara umum dapat

digunakan untuk penelitian tentang kehidupan masyarakat, sejarah, tingkah laku, fungsionalisasi organisasi, aktivitas sosial, dan lain-lain.

Pendekatan itu sendiri berasal dari bahasa Inggris yakni history yang artinya sejarah atau riwayat. Secara terminology pengertian sejarah atau historis itu sendiri adalah suatu rangkaian peristiwa yang meliputi unsur tempat, waktu, objek, latar belakang dan pelaku yang terdapat dalam peristiwa itu. 

sejarah itu merupakan serangkaian cerita manusia yang terjadi pada masa lampau dengan segala rangkaiannya. Unsur terpenting dalam sejarah itu adalah sebuah peristiwa. selain itu penelitian dengan daya kritis dalam sejarah itu tidak kalah pentingnya karena dengan adanya penelitian tersebut kita bisa mengungkapkan kebenaran dalam makna yang terkandung dalam sejarah tersebut.

PEMBAHASAN

Pengertian Sembahyang

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan arti kata sembahyang adalah memohon kepada Tuhan. Persembahyangan salah satu dari pengamalan ajaran Agama Hindu yang paling menonjol dilakukan umat Hindu pada umumnya. Sembahyang adalah puncak dari yajna dan karma. Artinya, upaya untuk mendalami ilmu pengetahuan suci atau yajna.

Kata sembahyang berasal dari bahasa Jawa Kuno yang terdiri dari dua kata yaitu “sembah” artinya menghormat, takluk, menghamba, sedangkan kata “hyang” artinya Dewa atau sosok yang mahasuci. Sembahyang itu adalah suatu upaya spiritual untuk menguatkan upaya mencari ilmu pengetahuan suci atau yajna dan melakukan perbuatan baik yang disebut Subha Karma, dengan artinya sembahyang itu untuk menguatkan upaya mencari ilmu pengetahuan suci dan memotivasi umat untuk bekerja secara nyata mewujudkan Dharma dari ajaran kitab Weda.

Persembahyangan tidak hanya dilakukan karena adanya hari raya atau upacara tertentu. Dalam kitab Chandogya Upanisad ada dinyatakan bahwa sembahyang harian itu dapat dilakukan tiga kali sehari dengan melakukan sembahyang harian akan mendapat berkah. Sebagai umat manusia yang beragama, yang menjunjung tinggi keagamaan dan kemahakuasaan Tuhan, sepantasnya manusia menyadari bahwa sesungguhnya didalam diri manusia terdapat Atman atau jiwa yang merupakan percikan sinar dari Sang Hyang Widi Wasa (Tuhan yang maha Esa). 

Tanpa adanya Atman dalam diri , pastilah manusia tidak bisa hidup. Dengan bersembahyang umat manusia akan lebih tenang, lebih tentram bahkan merasa damai di hati.

Umat Hindu percaya bahwa dengan melakukan sembah dengan tulus dan ikhlas maka akan mendapat pertolongan dan perlindungan dari Sang Hyang Widi Wasa. Hubungan manusia Atman- Brahman ( Sang Hyang Widi Wasa) sebagai sumber Atman tersebut). Atman yaitu percikan terkecil dari Sang Hyang Widi Wasa atau Paramatman. 

Paramatman yaitu asal dan sumber dari Atman. Sang Hyang Widi Wasa sebagai asal dari Atman adalah Maha Kuasa, Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Suci dan Maha segalanya. Di dalam Hindu setiap Atman atau jiwa-jiwa yang ada di setiap manusia atau makhluk hidup di dunia ini berasal dari Sang Hyang Widi Wasa dan juga berakhir dan kembali kepada-Nya.

Dalam kesempatan wawancara kali ini Penulis melihat umat Hindu dalam   melaksanakan sembahyang Tri Sandhya dengan bertahap mulai dari persiapan Upakara, pakaian dan juga cara masuk ke pura. Mulai dari mengawali pintu masuk pura yang berbeda juga dengan pintu keluar, di perlihatkan bagaimana cara pelaksanaan sembahyang harian, apa saja upakara yang harus disediakan untuk melaksanakan sembahyang harian. 

Ketika manusia yang senantiasa merasa dirinya dekat dengan Tuhan akan memberi pengaruh kesucian pada dirinya, karena Tuhan bersifat Maha suci. Seperti bakti, bakti adalah penyerahan diri kepada Tuhan dengan tulus ikhlas tanpa ikatan

 

 

Makna Perlengkapan Sembahyang

Perlengkapan Dalam Sembahyang umumnya umat Hindu menggunakan beberapa sarana untuk memantapkan hati dalam melakukan persembahyangan. Sarana (perlengkapan) tersebut adalah seperti Dupa, Buah, Bunga, Kwangen, Kalpika, Tirtha dan Bija. Lalu juga disamping itu pengucapan mantra dengan sikap badan tertentu juga tergolong dalam sarana. 

Sama seperti dalam agama Islam menggunakan perlengkapan seperti sajadah, baju bersih peci dan sarung untuk laki-laki dan mukena untuk perempuan. Dalam sembahyang harian (Tri Sandhya) hanya menggunakan sarana (Upakara) Upakara adalah salah satu alat untuk menghubungkan diri kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam bentuk yang nyata. Upakara yang dibuat dan telah memiliki bentuk sehingga dapat digunakan, lalu sebuah upakara dikatakan berfungsi.

Implementasi setiap perlengkapan sembahyang oleh umat beragama Hindu sangat beragam tergantung Yajna dan cara memaknai jenis perlengkapan tersebut, misalnya agni (api) dilambangkan dengan dupa sebagai saksi dalam setiap gerak Langkah dalam hidup manusia bahwa apapun yg kita lakukan baik dan buruk saksi Tuhan atau alam semesta pasti mengetahuinya. Bunga atau kembang sebagai perlambang kesucian dan keindahan agar manusia hidup menjaga kesucian pikiran perkataan dan perbuatannya dan mengembangkan cinta kasih kepada semua ciptaan Tuhan. 

Dari penjelasan di atas, yang menjelaskan fungsi upakara , maka dapat dipahami bahwa fungsi dari sebuah upakara tergantung pada bentuk upakara dan difungsikan sesuai dengan jenis yajna yang dilaksanakan.Sarana untuk melaksanakan Sembahyang  yaitu, Dupa, Bunga, Kwangen, Tirtha, dan juga Bija. Yang mana dari beberapa sarana di atas memiliki makna. Berikut arti dan fungsi dari sarana sembahyang  yang penulis dapatkan dari wawancara dan juga sumber teks lainnya.

Dupa

Dupa memiliki banyak sebutan seperti, Agni, Api. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Dupa adalah kemenyan, setanggi, dan sebagainya yang apabila dibakar asapnya berbau harum. Dalam tradisi Hindu untuk membuat dupa harus dari bahan pilihan, seperti kayu cendana yang mengeluarkan bau harum agar membuat pikiran tentram dan juga tenang.

Api memiliki peran penting dalam upacara-upacara agama Hindu, sertiap upacara yang dilakukan didahulukan dengan menyalakan api/dupa. Melalui kesempatan saat melakukan wawancara penulis melihat Pinandita yang akan menyalakan api/dupa saat akan melakukan persembahyangan. Tidak lupa sebelumnya sudah didoakan oleh Pinandita yang ada di Pura. Ciri khas juga menjadi unggul karna dupa setiap umat Hindu bersembahyang menggunakan sarana api/dupa.

Fungsi dari dupa adalah sebagai pemimpin upacara atau sembahyang. Dan juga pembasmi dari segala kotoran, pengusir roh jahat, dan sebagai saksi upacara. Cara menggunakan dupa dengan mengasapi benda atau seserahan.

 Selain Dupa ada beberapa api yang digunakan dalam kegiatan persembahyangan dan memiliki beberapa wujud sebagai berikut :

 a. Dipa : api dengan nyala yang memancarkan sinar cahaya yang terang benderang. Misalnya, api dari lilin, lampu, lampu listrik dan sejenisnya.

b. Obor : api dengan nyala yang besar berkobar-kobar. Termasuk jenis ini adalah obor, dari perakpak, tombrog (obor dari bambu), dan sebagainya

Api (dupa) Makna Api sebagai pemimpin upacara. Selain itu Makna Dupa sebagai pembasmi segala kotoran tampak jelas pada persembahyangan sehari-hari dimana melalui mantram. Ong Ang Dupa Dipastraya namah swaha Artinya : ”Mohon disucikan diri atas sinar suci Ida Sanghyang Widhi”. 

Api juga sebagai saksi upacara dalam kehidupan. Dalam persembahyangan dupa sebagai saksi dan asapnya sebagai lambang gerakan rohani keangkasa sebagai stana para Dewa. Makna Dupa 1 batang yaitu, perlambang Tuhan itu Satu dalam manifestasinya sebagai surya Raditya

 Bunga

Bagi Umat Hindu, bunga dalam sesaji sebagai lambang dari kesucian hati dalam memuja Sang Hyang Widi Wasa serta sinar-sinar suci-Nya, para leluhur dan para Rsi. Bunga tidak hanya dipakai untuk sembahyang saja, tetapi juga dipakai untuk persembahan-persembahan lain. Karena itulah Seyogyanya dipersembahkan bunga yang baru mekar, harum dan tidak boleh menggunakan bunga yang telah jatuh ke tanah.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Arti bunga adalah bagian tumbuhan yang akan menjadi buah, biasanya elok warnanya dan harum baunya. Dalam kitab Agastya Parwa disebutkan ada beberapa bunga yang tidak baik dipersembahkan atau dipakai sebagai sarana persembahyangan. 

“Nihan ikang kembang tan yogya pujakena ring bhatara : kembang uleren, kembang ruru tan inuduh, kembang laywan, laywan ngaranya alewas mekar, kembang munggah ring sema, nahan ta lwir ning kembang tan yogya pujakena de nika sang satwika.” Artinya : Inilah bunga yang tidak patut dipersembahkan kepada Bhatara, bunga yang berulat, bunga yang gugur tanpa diguncang, bunga yang berisi semut, bunga yang layu yaitu bunga yang lewat masa mekarnya, bunga yang tumbuh di kuburan. Itulah jenis-jenis bunga yang tidak patut dipersembahkan oleh orang baik-baik.

 Fungsi dari bunga yaitu sebagai simbol Sang Hyang Widi Wasa (Siwa). Juga sebagai simbol menghantarkan rasa kasih dan cinta. Bunga sebagai simbol Tuhan diletakkan di ujung cakupan tangan pada saat menyembah dan sesudahnya bunga tersebut diletakkan di atas kepala atau disumpingkan di telinga. 

Sedangkan bunga sebagai sarana persembahan maka bunga dipakai mengisi sesajen. Tidak setiap bunga bisa dipakai sebagai sarana persembahyangan. Untuk bunga yang paling baik menurut ajaran agama dan serba guna adalah bunga teratai. Bunga ini akarnya di lumpur, daunnya di air, dan bunganya membujur di udara. Bunga yang terbaik adalah bunga teratai untuk digunakan sebagai persembahan.

Makna bunga, tidak hanya dipakai untuk melengkapi persembahanpersembahan lain. Oleh karena itu hendaknya dipergunakan bunga yang baru mekar, berbau wangi, dan belum dihinggapi serangga. Dan juga sebaiknya tidak mempergunakan yang tidak mempunyai kelopak bunga, misal sari konta. 

Bunga berwarna kuning, untuk memuja Hyang Widhi dengan sebutan Mahadewa yang memiliki kekuatan seperti nagapasa,memancarkan sinar berwarna kuning. Persembahyangan dengan bunga berwarna kuning biasanya digabungkan dengan kwangen yang dilengkapi dengan bunga berwarna kuning. Bunga berwarna putih, untuk memuja Hyang Widhi dengan sebutan Iswara, memiliki kekuatan seperti badjra, memancarkan sinar berwarna putih(netral).

Berikut adalah makna dari bunga:

a. Bunga memiliki fungsi sebagai simbol dari Sang Hyang Widi Wasa (siwa), sebagai lambang cinta kasih. b. Bunga juga sebagai lambang restu bakthi terhadap-Ny

c. Bunga sebagai lambang peleburan dosa dan saksi kebenaran.

Selain itu dalam agama Hindu terdapat satu bunga yang diistimewakan yaitu bunga Teratai. Bunga teratai merupakan salah satu bunga yang sangat dihormati, karena mereka memahami bahwa para dewa dan dewi bersemayam diatas bunga teratai. Mereka juga percaya bahwa warna merah yang terdapat pada bunga teratai itu merupakan suatu kesucian dan keberuntungan. 

Bunga teratai mempunyai tiga bagian yang ketiganya seolah-olah hidup di tiga alam yang berbeda. Ketiga bagian tersebut ialah akar, tangkai dan bunga. Akar bunga teratai tertanam di tanah, lalu tangkainya hidup di air, kemudian bunganya mekar di udara. Namun bunga ini tidak menjadi sarana persembahyangan harian

Kwangen

Kwangen berasal dari bahasa jawa kuno yaitu “Wangi” yang artinya harum. Bagi umat Hindu Kwangen merupakan hal yang sangat penting. Kwangen dipakai untuk memuja Sang Hyang Widi Wasa dalam wujud purusa pradana (Arda Nareswari) dan sebagai pemberi anugrah. 

Kwangen dibuat dari daun pisang yang berbentuk lonjong dan juga berbentuk segitiga lancip karena memiliki lambang dari Ardhacandra. Yang dilengkapi dengan daun-daunan plawa, dan hiasan puncaknya digunakan janur yang berbentuk cili, disertai bunga. Di dalamnya diisi perlengkapan hiasan dari janur yang disebut bunga, uang kepeng dan porosan silih asih. 

Adapun yang dimaksud porosan silih asih adalah dua potong daun sirih yang diisi kapur dan pinang, diatur sedemikian rupa sehingga jika digulung tampak bolak-balik, yaitu yang satu tampak bagian perutnya dan yang satu lagi tampak punggungnya.

Fungsi dari kwangen yaitu sebagai Ista Dewata yang artinya adalah Dewata yang diinginkan dan dimohon kehadirannya pada waktu bersembahyang, misalnya sebagai Batara Brahma, Batara Siwa dan lainnya. Jika tidak ada kwangen maka sebagai gantinya dapat dipergunakan bunga. 

Kwangen juga menyimbolkan sesari dan berfungsi sebagai penebus segala kekurangan yang ada. Kemudian bunga, bunga yang digunakan adalah bunga yang berbau harum dan tidak layu bunga merupakan simbol dari ketulus ikhlasan dan kesucian hati. Dalam sembahyang kwangen simbol Omkara/Ongkara. 

Omkara adalah aksara suci Sanghyang Widhi. Dengan demikian kwangen adalah simbol Sanghyang Widhi. Oleh karena itu pada waktu sembahyang memakai sarana kwangen hendaknya sedemikian rupa sehingga muka kwangen berhadap-hadapan dengan muka penyembahnya. Hal ini dimaksudkan agar penyembah dengan yang disembah berhadaphadapan.

Kwangen merupakan sejenis upakara sebagai simbol Tuhan atau "om kara", yaitu : kojong merupakan simbol angka tiga, potongan bagian atas yang lonjong merupakan simbol “Ardhacandra”, uang yang bentuknya bulat adalah simbol “vindu”, sedangkan cili atau bunga beserta daun-daunnya adalah simbol “nada”. 

Kwangen ini adalah tanda atau isyarat agar umat atau bhakta syang akan mengingat, mengucapkan, dan mengharumkan nama suci Tuhan. Keberadaan Kwangen sangat penting dalam upacara persembahyangan karena memiliki makna simbolik yang dipuja yaitu Tuhan Yang Maha Esa (Sang Hyang Widhi Wasa). 

Dalam lontar Siwagama disebutkan bentuk kwangen sebagai simbol "om kara" dalam bentuk upakara, Kwangen memiliki bentuk yang kecil, yaitu bagian bawah lancip dan bagian atas mekar seperti bunga yang sedang kembang. Dapat dimaknai bahwa Tuhan (Sang Hyang Widhi Wasa) adalah indah, harum, dan suci sehingga menarik untuk dipuja dan dimuliakan. Cara penggunaan Kwangen yaitu dijepit (dipegang) pada cakupan kedua telapak tangan tepat sejajar dengan ubun-ubun dan menghadap pada diri kita.

Tirtha 

Tirtha atau air sangatlah penting dalam persembahayangan, karena keagungan air sebagai pembersih atau sarana penyucian, dan pemberi kehidupan. Kata tirtha berasal dari bahasa sansekerta, menurut para ahli Max Muller, Sir Monier William menyebutkan arti kata Tirtha adalah pemanidan atau sungai, kesucian atau setitik air, sungai yang suci, jika disimpulkan tirtha itu bermakna, penyucian atau membersihkan. 

Semua peralatan dan bangunan-bangunan yang ada di Pura harus dipercikkan air sebelum upacara dimulai. Selanjutnya percikkan air suci kepada orang dalam upacara itu untuk mendapatkan kesehatan, ketentraman (damai di hati).

Makna Tirtha, tirtha adalah air yang telah disucikan, kesuciannya diperoleh dengan jalan dimantrai oleh orang yang berwewenang seperti pemangku, pinandita, pemande, pandita dan sri mpu.

Ada beberapa jenis tirtha dan juga manfaatnya :

a. Tirtha yang dimanfaatkan sebagai penyucian terhadap bangunan, terhadap alat-alat upacara ataupun terhadap diri sendiri, tirtha ini adalah jenis tirtha penglukatan, tirtha pembersihan, tirtha prayascita.

b. Tirtha yang dimanfaatkan sebagai penyelesaian upacara upacara dalam persembahyangan, tirtha ini biasanya di mohon di suatu pelinggih utama pura yang disebut titha wansuhpada.

c. Tirtha yang dipakai untuk penyelesaian upacara kematian, contohnya tirtha penembak, tirtha pemanah dan d. tirtha pengentas. Tirtha ini berasal dari Sang Dwijati Sulinggih.

Di dalam weda parikrama dan surya sevana dijelaskan, maksud dari pemakaian tirtha itu adalah sebagai penyucian secara lahiriah dan rohaniah (lahir dibersihkan dengan air, rohani di bersihkan dengan kesucian tirta.

Bija

              Bija atau biji beras yang dicuci dengan air atau air cendana. Terkadang juga dicampur dengan kunyit sehingga berwarna kuning. Beras untuk bija diupayakan harus beras yang galih, atau beras utuh yang tidak patah. Bija dibuat dari biji beras yang dicuci dengan air bersih lalu direndam dengan air cendana.

Penggunaan Bija bertujuan untuk mensucikan pikiran, perbuatan, dan perkataan. Bija diletakan di antara dua kening, di dada, dan ditelan. Fungsi bija adalah sebagai lambang kumara yaitu putra Dewa Siwa. Yang dimaksud kumara adalah benih kesiwaan yang bersemayam di dalam diri setiap manusia. 

Simbol bija sebagai lambang kesucian yaitu 3 bija diletakan di dahi, ditelan 3 biji, dan ditaruh di dada atau di pangkal tenggorokan. Juga sebagai simbol untuk menemukan kesucian rohani dengan harapan agar memperoleh kesempurnaan hidup. . Beras/ bija yang ditelan sebagai simbol untuk menumbuhkan bibit kesucian rohani dengan harapan agar memperoleh kesempurnaan hidup. Ada pula penempatan bija diletakkan pada titik-titik yang peka terhadap sifat dari kedewataan (ke-Siwaan).

Dan titik-titik dalam tubuh tersebut ada lima yang disebut Panca Adisesa, yaitu sebagai berikut.

  • Diletakkan di pusar atau disebut titik manipura cakra.
  • Di ulu hati (padma hrdaya) zat ketuhanan diyakini paling terkonsentrasi di dalam bagian padma hrdaya ini (hati berbentuk bunga tunjung atau padma). Titik kedewataan ini disebut Hana hatta cakra.
  • Di leher, diluar kerongkongan atau tenggorokan yang disebut wisuda cakra.
  • Di dalam mulut atau langit-langit rongga mulut.
  • Di antara dua alis mata yang disebut anjacakra.sebenarnya letaknya yang lebih tepat, sedikit diatas, diantara dua alis mata itu.

Menurut kitab Bhagawad Gita bahwa dalam diri manusia terdapat sifat kedewataan daiwi sampad dan sifat keraksasaan asuri sampad. Menumbuhkembangkan benih ke-Siwa-an berarti menumbuhkembangkan sifat kedewataan agar dapat mengatasi sifat keraksasaan. Kedua sifat tersebut bersemayam di dalam pikiran dan lubuk hati manusia. Untuk tumbuh dan berkembangnya benih ke-Siwa-an itu dalam pikiran dan lubuk hati maka disimbolkan dengan menempelkan bija tersebut di tengah kedua kening serta menelannya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Ali. Perbandingan Agama, Bandung: Nuansa Aulia, 2007.

Asyir, Janahabhivamsa. Abhidharma Sehari-hari, Karaniya, 2005.

Azwar, Saifuddin. Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.

Bahri, Zainul Media. Wajah Studi Agama-agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.

Duwijo dan Darta. I Ketut, Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti Kelas V, Jakarta: Pusat, Kurikulum dan Perbukuan, 2014

G. Pudja. Wedaparikrama, Jakarta : Departemen Agama RI, 1971.

Geertz, Clifford. Kebudayaan dan Agama, Yogyakarta: Kanisius Press, 1992.

Inayat, Hazrat Khan. Kesatuan Ideal Agama, Yogyakarta: Putra Langit

Khotimah. Agama Hindu dan Ajaran-ajarannya, Pekanbaru- Riau: KDT 2013

 Koentjaraningrat. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004

Pujileksono, Sugeng. Petualangan antropologi : sebuah pengantar ilmu antropologi, Malang: UMT 2006

Punia, I Wayan. Mengapa? Tradisi dan upacara Hindu, Denpasar. 2 Paramita

 Pustaka Manikgeni. Doa Metirtha, Mesekar, Mebija, Edisi revisi

Redaksi Pustaka Manikgeni. Doa Sehari-hari Menurut Hindu, Edisi 2011.

Saputra, I.N.K. Penuntun Dasar dan Praktis Sembahyang, Denpasar: CV. Kayumas Agung, 2007.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun