Mohon tunggu...
Indrawan setiadi
Indrawan setiadi Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suatu Hari di Hutan Kota

15 November 2023   19:35 Diperbarui: 15 November 2023   19:55 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hujan sudah mulai turun, kemarau akan segera berlalu. Bulan sudah beranjak di 15 November 2023, dan di Jakarta Coldplay akan menyapa para penggemarnya.

Aku menulis saja, apa saja yang terlintas di kepala. Sesekali membayangkan menjadi terkenal, banyak uang, serba mudah melalui hidup yang menurutku begini-begini saja. 

Kemudian aku juga sanggah sendiri bayangan itu. Memang apa enaknya menjadi terkenal dan banyak uang?

Aku selalu menyimpan keyakinan hidup seseorang tidak pernah bisa dinilai oleh prasangka, kita bisa saja menilai mereka 'enak', padahal kenyataannya-aku yakin betul, pasti belum tentu 'enak'.

"Kamu juga suka begitu gak sih? Gampang berprasangka ke hidup orang lain begitu?" 

"Apalagi era media sosial seperti sekarang, kita tuh kaya gampang banget aja nyangka orang hanya dari postingan gitu."

"Ih bener banget lagi, aku juga suka jir gitu."

Sayup pembicaraan tiga orang di Hutan Kota itu yang pertama kali aku dengar, posisi mereka duduk tepat di dekat warung kopi yang tidak jauh dari tempat aku parkir motor.

Tidak tahu juga mereka siapa, hanya bertiga, sedang menikmati kopi, semuanya pria, lalu sedang mengobrol saja. Dan aku tak sengaja mendengar. Sebelum aku putuskan menulis soal prasangka tadi itu, mereka bertiga itulah yang menjadi mulanya.

Seorang teman ngajak bertemu di sini, aku sengaja datang lebih dulu dari waktu yang dia tentukan. 

Selain karena luang, tidak ada agenda lain hari ini, sengaja aku datang duluan. Dari waktu yang temanku janjikan sekarang masih 30 menit lagi.

Kebiasaanku jika tiba di suatu tempat, sudah pasti menyalakan rokok, memilih tempat duduk yang strategis untuk membuka laptop dan lain sebagainya segala macam aktivitas.

Nah lantaran ini di Hutan Kota, tidak ada menu yang bisa aku minta seperti jika datang ke Cafe atau Resto, maka langsung saja memesan apa yang dimau pada pedagang yang kebetulan lewat, atau ada di situ.

Aku tidak tau percis kenapa tempat ini dinamai Hutan Kota, jika dilihat dari suasananya sebenarnya lebih pas disebut taman yang ada di tengah kota aja, atau kawasan hijau lah begitu. 

Tetapi kenapa Hutan Kota, seperti yang aku bilang-aku gak tau.

Tempat ini boleh dibilang menjadi tempat favorit untuk siapa saja janjian bertemu, kalau siang seperti sekarang. Karena selain rimbun, teduh, ya segar jika siang-siang datang ke sini tuh.

Apalagi untuk kota tempat ku tinggal yang tidak jauh dari Pantai Utara, panas sekali kalau siang. 

Terutama menuju musim hujan seperti sekarang. Hujannya masih jarang-jarang, kadang sering gak jadi turun, meski langit sudah mendung.  

Saat itulah, butir-butir keringat merangksak keluar dari pori-pori kulit. Memberikan perasaan yang begini bukan begitu juga bukan.

Hanya ke Hutan Kota inilah yang terbayangkan. Untuk menikmati angin sepoy-sepoy mengusap muka, dada, dan seluruh tubuh. Nyaman sekali.

***

Tidak terasa, adzan ashar berkumandang nyaris di setiap penjuru langit terdengarnya, saling sahut menyahut. 

Artinya sudah satu jam aku di sini, dan Iwan,  kawanku belum juga tiba. Padahal sudah lewat setengah jam dari waktu yang dia sendiri janjikan datang.

Menyadari itu, aku langsung cek handphone, satu saja pemberitahuan pesan masuk-tidak ada. 

"Wan masih dimana?", begitu isi pesan WA ku ke Iwan.

Dua menit berlalu, Iwan membalas pesanku. "Sori telat".

Hanya itu, tanpa kejelasan apapun. Kenapa telat dan kapan akan tiba jika telat, Iwan bungkam. Tak lagi membalas pesan.

Ya sudah, bukan persoalan serius bagiku. Aku masih bisa menikmati suasana Hutan Kota sendiri, melihat orang-orang yang datang dan pergi, bahkan ada yang tak beranjak sama sepertiku, hanya diam saja. 

Jika boleh kembali aku berprasangka pada seseorang di sudut kiri itu, mungkin dia juga sedang menunggu kedatangan seseorang, sama seperti aku.

Ketika diperhatikan lagi dengan seksama, prasangka itu gugur, dia menurutku tidak sedang menunggu seseorang untuk datang, dia tidak sama sepertiku.

Dia diam di sana memang itulah tujuannya. Pergi dari tempatnya semula, datang ke Hutan Kota.

Tidak sama sekali terbersit tubuh-tubuh gelisah dalam setiap geraknya, dia justrul sebaliknya, merasa nyaman, menikmati tempat yang didudukinya.

Pandangannya tulus melihat pohon, orang melintas, daun gugur, bahkan debu yang sesekali menghardik terbaawa angin ke arahnya.

Kehadiranya juga-seingatku sudah sejak sebelum aku tiba di sini. Dia datang ke sini lebih dulu. Mengobati rasa penasaran, sambil membunuh waktu menunggu Iwan, aku menghampiri pria itu.

"Pak, sudah lama di sini?," tanyaku.

"Sudah, dari pagi saya sudah ke sini," jawabnya.   

"Pensiunan TNI Pak?," tanyaku lagi.

"Bukan, dulu saya dagang, sekarang sudah tidak,"

Mengingat pertanyaanku soal dia pensiunan itu, aku jadi ketawa sendiri. Entah datang dari mana tiba-tiba terbersit saja pertanyaan itu aku tanyakan.

Bukan tanpa alasan, memang tampilannya juga begitu-dekat sekali ke bapak-bapak sepuh lansia, pensiunan TNI.

Mengenakan celana bahan warna hijau tua, kameja rapi warna putih, potongan rambut juga disisir rapi sekali, membawa tas selendang besar warna hitam yang disimpan di sampingnya.

"Oh ya, maaf pak. Aku pikir pensiunan TNI," kelakar ku.

"Memang pernah punya cita-cita mau jadi tentara, tapi Gusti nyuruh dagang saja,"

"Memang kenapa sekarang sudah gak dagang pak?,"

"Sudah habis modalnya, sekarang tinggal menikmati saja masa senja ini, lagi pula sudah cape,"

Belakangan aku baru tau, rupanya dia baru saja ditinggal pergi istrinya. Dan tempat itu adalah tempatnya menunggu-selama empat belas hari jelang kepergian istrinya. 

Dia banyak cerita bagaimana melalui masa-masa sulit itu di sana. Dari mulai hanya untuk menghirup udara segar, sampai bingung cari pinjaman uang untuk menebus obat yang tidak ditanggung BPJS.

"Empat belas hari saya tidak pernah absen datang ke sini. Istri saya dirawat di sana," cerita bapak itu, sambil menunjuk ke salah satu rumah sakit daerah yang tidak jauh dari Hutan Kota.

"Sampai tepat pada hari kepergiannya, satu menit setelah saya mendapati kabar itu dari dokter, saya menuju ke sini,"  

Rupanya tempat ini sudah menjadi seperti tempat pelarian, dia merasakan tenang sebentar dengan berada di sini. Meski kenyataan pahit sudah menunggu di depannya.

"Sekarang baru ke sini lagi pak?," tanyaku penasaran.

"Iya, baru lagi. Tadinya mau mampir sebentar, malah nyaman,"

"Memang rumah dimana pak?"

"Tidak jauh, bisa jalan kaki dari sini,"

"Oh iya,"

Begitulah kenangan, bisa datang dengan diciptakan, atau ada tersimpan di suatu tempat. 

***

Kopi yang dipesan tak lama saat aku tiba, nyaris habis juga. Iwan belum juga tiba. Itu berarti aku kembali harus memesan kopi.

Rokok sisa tiga batang,  padahal sudah terlambat satu jam lebih dari waktu yang dia sendiri janjikan.

Aku kembali kirim pesan, kali ini tidak ada dua centang, apalagi menjadi biru. Satu centang! Coba dihubungi via telpon WA juga memanggil, telpon biasa juga tidak aktif.

Tipakal manusia biadab memang, dia yang berjanji dia sendiri yang mengingkari.

Sekarang aku sudah tidak mau peduli pada Iwan, hari ini aku anggap sebagai hari dimana aku bertamasya, sendiri di Hutan Kota.

"Bikin kopi lagi bu," 

"Siap a, hitam?"

"Iya bu,"

"Sudah lama jualan di sini bu?"

"Lumayan a,"

"Rame terus ya bu?"

"Tergantung a,"

"Tergantung apa bu,"

"Lagi rajin atau gak-nya Satpol PP,"

"Loh ko, apa hubungannya?"

"Ada hubungannya a, kalau lagi rajin kan ada razia, ibu suka gak bisa dagang, ya sepi. Kalau gak rajin ya kaya sekarang, rame,"

Ibu pedagang kopi ini hanya beralas tikar, dan dua termos. Dia membawa semacam wadah berbentuk baskom dengan macam-macam minuman kemasan di dalamnya yang siap diseduh kapan pun di situ.

Dia mengenakan tutup kepala seperti ciput, juga bertubuh agak gempal, pergerakannya lamban sekali. Mungkin terkendala oleh tubuh gempalnya-belum lagi usianya juga sepertinya sudah lanjut.

Aku tidak kembali ke tempat semula, setelah bertemu Bapak yang seperti pensiunan tadi, aku diam saja jongkok di hadapan ibu penjual kopi.

Dia sedang terus-terussan mengomel pada anaknya, lantaran membiarkan cucunya memainkan HP sepanjang hari.

Katanya keranjingan game online, sampai tak cukup satu giga mengisi kuota setiap harinya.

Sudah sama percis pengeluaran tiap harinya seperti suaminya untuk merokok.

"Kamu itu gimana sih Nong, dibiarin aja, sesekali rampas HP nya! Ngisi kuota sudah kaya Bapak beli rokok saja!"

Kata-kata itu yang aku ingat dari Ibu penjual kopi, yang disampaikan sambil menyeduh beberapa kopi pembelinya.

Tidak peduli pada keadaan sekitar, mengomel saja terus. Bahkan aku sangsi perempuan yang dia panggil Nong-yang anaknya itu juga peduli atau tidak.

Tapi pemandangan itu yang aku saksikan saat ini, sambil menunggu giliran kopiku dihidangkan dari gelas plastik yang tak kunjung tiba.

"A ini, hitam ya kopinya? Kesel banget A, duh. Kita yang cape dagang dari pagi sampe sore begini, eh, anak ama cucu yang ngabisin uangnya. Suaminya gak ngerti juga saya, sudah tiga bulan gak pulang, ngirim uang juga gak," keluh Ibu penjual kopi.

"Jadi beban aja sekarang buat saya, mending kalau mau kerja dia, bantu-bantu di rumah orang, cuciin baju, bersiin apa ke, ini mah boro-boro," rupanya belum selesai Ibu penjual kopi itu ngomel.

Semoga menjadi bahan renungan, apa yang aku alami hari ini bisa kamu bayangkan juga.

Seseorang yang tidak kita kenal, seolah seperti mengadu ke kita tentang kesialan yang selama ini dia alami.

Bagaimana aku harus menanggapi itu, aku juga gak tau. Hal itu berdampak pada selera ngopi yang hilang begitu saja.

Bukan tidak mau berempati atau menyimpan iba, ini murni hanya persoalan tidak tau menau, mana ujung mana pangkal, itu saja. 

Dari peristiwa itu ditambah juga laga yang memuakan dari Si Biadab Iwan, aku memutuskan untuk kembali ke rumah. Magrib juga sebentar lagi akan tiba, aku bergegas, kembali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun