Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tunggu Aku di Way Dente

9 Desember 2020   20:34 Diperbarui: 9 Desember 2020   20:39 609
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Tunggu Aku di Way Dente (dokpri)

KABUT tipis perlahan-lahan meleleh membasahi dedaunan, di pagi hari yang indah pada aliran sungai Tulang Bawang.

Sinar mentari pagi menusuk-nusuk di antara celah-celah dedaunan Nipah yang bergoyang, karena angin lembut menerpa mesra ujung-ujungnya.

"Siti, kemana?!" Seru Zaldi dari atas sampan.

"Rawa Jitu, hendak beli buku pelajaran sekolah!" jawab Siti, setengah berteriak dari atas perahu klotok.

Mereka hanya saling melambaikan tangan dan bertukar senyuman, saat perahu klotok semakin menjauh dari tempat Zaldi menjaring ikan.

Zaldi melanjutkan menjaring ikan, disela-sela akar Nipah dan bakau di tepi sungai Tulang Bawang yang tenang. 

Hatinya berbunga-bunga, setelah melihat Siti pagi itu dengan senyum yang merekah dan tatapan yang bercahaya.

Perasaan yang ia pendam sejak lulus sekolah menengah pertama di desa Teladas, tak pernah ia utarakan pada Siti ataupun diceritakan pada teman-temannya.

Dalam hatinya yakin, bahwa Siti merasakan hal yang sama seperti apa yang ia rasakan, setitik kasih sayang untuk hari depan.

Zaldi yang hidup sebatang kara sejak kedua orang tuanya berpulang empat tahun lalu, harus menghidupi dirinya sendiri dengan bekerja sebagai nelayan sungai dan terkadang menjadi buruh harian di perkebunan tebu.

Hal itu pula yang membuat Zaldi harus memutuskan, untuk tidak melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah atas di Tulang Bawang.

Sedangkan Siti, sebagai putri bungsu dari tokoh masyarakat di desa, melanjutkan sekolah menengah atas di Tulang Bawang dan pulang ke rumah di Way Dente, pada hari sabtu dan minggu.

Mereka biasa berjumpa di aliran sungai Tulang Bawang, saat Siti kembali ke desa atau di perkebunan tebu tepi desa, saat Zaldi pulang dari menjaring ikan.

"Zaldi, ini terimalah," ucap Siti, seraya menyerahkan sebuah buku.

"Apa ini, aku sudah tidak sekolah," sambut Zaldi.

Siti hanya tersenyum kecil, tangannya memilin-milin ujung jilbab putih dan berkata, "kau anak cerdas di smp dahulu, Zaldi."

"Biar tak sekolah, kau belum lupa cara membaca, kan?" Lanjutnya.

"Terima kasih, kau masih ingat saja," jawab Zaldi dengan wajah kikuk.

Siti melanjutkan langkahnya dan berjalan menjauhi Zaldi, namun tiba-tiba langkahnya terhenti dan ia menoleh kembali pada Zaldi.

"Besok bisa kau antar aku ke Menggala dengan sampanmu?" Ucapnya.

Zaldi yang sedari tadi tak lepas pandangannya dari Siti, spontan menjawab, "tentu, tunggu saja jam 7 pagi di dermaga pak Zul."

Tiba di rumah, Zaldi tak habis pikir pada permintaan Siti yang ingin di antar dengan sampannya.

Padahal ia bisa menumpang taxi milik Budin, sepupunya atau ikut dengan kakak laki-lakinya yang tiap hari bolak balik mengantar sayuran ke pasar Unit II.

"Apakah Siti ingin berlama-lama denganku?"

Pikirannya menerawang jauh, menyentuh secuil kenangan saat mengerjakan tugas kelompok bersama Siti kala sekolah dahulu.

Selesai mengerjakan tugas, Siti dan Zaldi saling mencuri pandang dan berbagi senyum. Alih-alih bermain dan becanda dengan teman-teman di Air terjun kembar, Pesawaran.

Di atas sampan dibawah kabut pagi, mereka berdua tengah bercengkrama sambil menikmati perjalanan dengan canda tawa.

"Apa isi tas itu, Siti?" Tanya Zaldi.

"Baju dan buku-buku, Zaldi," jawab Siti, seraya menghapus air matanya yang akan menetes karena puas tertawa.

"Kenapa kau bawa begitu banyak?" Lanjut Zaldi.

Siti tak menjawabnya, ia hanya menatap Zaldi, kemudian berkata, "Zaldi, sudah kau baca buku pemberianku?"

"Belum, semalam tangkapan ikan cukup banyak," jawab Zaldi.

"Aku menjaring hingga malam," tutupnya.

"Oh, begitu," gumam Siti, dengan raut wajah yang kecewa.

Di sebuah dermaga, tampak perempuan separuh baya berhijab kuning datang menyambut Siti.

Zaldi pun harus cepat-cepat kembali sebelum tertinggal air pasang, merekapun berpisah di dermaga hari itu.

Satu Minggu Kemudian..

Sebuah taxi melintas berputar arah, dengan hanya 3 penumpang didalamnya. Pengemudi taxi tampak menghentikan mesin dan menghampiri Zaldi.

"Sudah dapat ikan, Zaldi?" Tanya Budin sang Pengemudi.

Sambil berbisik-bisik ia mendekatkan bibirnya ke telinga Zaldi dan kembali berkata, "hati-hati, kemarin ku lihat atuk melintas di dekat sini."

Zaldi tidak menjawab, ia hanya mengangguk dan menarik jaring di tangannya sedikit demi sedikit.

Zaldi cukup mengerti nama kode Atuk yang disampaikan Budin. Merujuk pada buaya air asin yang kadang masuk jauh ke dalam muara.

"Hei Budin, kemana Siti?" Tanya Zaldi pada Budin.

"Sudah berhari-hari, ia tidak terlihat di kampung?" Lanjutnya.

"Tak tahu lah!" Jawab Budin, seraya menyalakan kembali mesin taxi.

"Oh, Siti!" Tiba-tiba ia berseru.

"Ia tinggal di rumah pamannya di Natar!" Seru Budin.

"Melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi!" Lanjutnya, seraya memacu taxi ke arah Rawa Jitu.

Zaldi pun termenung di atas sampan, terasa kosong harapan dan jiwanya. Mendengar Siti sudah melanjutkan pendidikan ke kota.

Dalam hatinya, tentu Siti akan lama kembali dan jika ia kembali pun pastilah dengan membawa jodoh dari kota.

Dengan perasaan yang kalut, pergilah ia berlari pulang ke rumahnya. Setelah menambatkan sampan di dermaga Zul dengan tergesa-gesa.

Ia membuka sebuah kotak kayu yang terbuat dari kayu jati, disana terdapat dua buah buku pemberian Siti.

Buku pertama yang diberikan Siti saat perpisahan sekolah dahulu, sudah khatam ia baca dan hafalkan setiap halamannya.

Buku kedua yang diberikan Siti sebelum ia antarkan pergi, belum sama sekali ia buka lembaran halamannya.

Saat ia membuka halaman pertama, ia menemukan selembar catatan yang berbunyi.

Zaldi,

Aku berharap masa depan kita akan indah dan cerah, seperti kisah romansa dalam setiap halaman buku ini.

Aku paham kesulitan mu, kesulitan yang di rasakan oleh kebanyakan kita di desa ini.

Namun pendidikan itu penting dan aku berharap kau tidak larut dalam rutinitas, kemudian menyerah mengejar mimpi dan cita-cita.

Bukankah dahulu kau mau menjadi petani atau nelayan yang berpendidikan? 

Karena hanya orang berpendidikan, yang ku harapkan menungguku di Way Dente sebagai belahan hatiku.

Siti Nazar.

Seumur hidup Zaldi, baru kali ini ia menitikkan air mata karena orang lain. Air mata yang menyiram hati dan jiwanya untuk bangkit.

Zaldi bergegas menuju sebuah sekolah yang terletak di desa sebelah, sekolah satu atap di desa Teladas.

Terlihat seorang guru yang baru saja selesai mengajar, beliau berjalan ke arah kantor sekolah dan akhirnya bertemu dengan Zaldi.

Dengan santun, Zaldi mengutarakan maksud kedatangannya, "Bu guru Arini, bagaimana caranya ikut paket?"

"Paket apa, Zaldi?" Tanya Bu guru Arini.

"Ujian persamaan, aku mau melanjutkan sekolah." Ucap Zaldi dengan yakin.

Bu guru Arini tersenyum haru dan mempersilahkan Zaldi masuk ke dalam kantor sekolah. Untuk kemudian ia berikan saran bagaimana caranya melanjutkan pendidikan, bagi Zaldi yang sudah tertinggal kelas 3 tahun lamanya.

Kasih sayang paling berharga, adalah kasih sayang yang memberikan semangat untuk menggapai cita-cita.

Way Dente, saksi sekeping kisah cinta dua anak manusia. Akankah mereka di pertemukan dalam bahagia?

***

Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata.

Taxi, adalah istilah untuk speed boat angkutan orang dan barang di sungai-sungai.

(Indra Rahadian, 12/09/20)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun