Hari ini Resha lebih banyak diam, begitu pun Dimas. Tidak ada tawa dan canda seperti minggu-minggu lalu. Mungkin mereka hanya ingin menikmati detik-detik perpisahan mereka.
“Kamu terlihat murung. Apa ada masalah?” tanya Dimas lembut.
“Nggak. Lagi nggak enak badan aja,” jawab Resha bohong.
“Kamu sakit? Kenapa malah ke sini?”
Resha bingung akan menjawab apa. Bagaimana bisa dia melewati kebersamaannya dengan laki-laki yang dia sukai. Ia bergulat dengan pikiran dan perasaannya, bimbang harus jujur atau memendam perasaan ini selamanya.
Pertemuan mereka minggu ini berkhir begitu saja tanpa banyak bicara. Dan Resha berakhir tidak mengungkapkan perasaannya.
Hari-hari semakin cepat berlalu. Jika biasanya Resha selalu berharap cepat bertemu hari rabu, minggu ini untuk pertama kalinya ia tidak ingin hari itu cepat tiba. Ia tidak ingin berpisah dengan Dimas. Tetapi semakin tidak mengharapkan, hari rabu malah terasa lebih cepat.
Hari perpisahan mereka tiba. Dengan perasaan yang tidak karuan Resha tetap datang menemui Dimas seperti biasa. Namun, jendela dan pintu praktik tata boga terkunci tidak seperti biasanya. Resha panik, dia mengetuk pintu berkali-kali sambil memanggil nama Dimas. Tetapi tidak ada balasan. Resha bahkan menarik kursi rusak dan mengintip dari sela-sela jendela, tetapi tidak ada Dimas di sana.
Resha putus asa. Ia menjatuhkan diri ke lantai, meringkukkan tubuhnya lalu menangis tersedu. Dia sudah terlambat, ia tak akan bisa bertemu dengan Dimas lagi.
Angin berhebus teratur, tiba-tiba saja sepucuk surat berwarna merah muda keluar dari sela-sela pintu. Resha menatap surat itu lamat-lamat sebelum akhirnya menyadari bahwa terulis namanya di sana.
Buru-buru menghapus air matanya dan membaca surat itu.