“Nggak.” Dimas menggeleng dan langsung menghapus air matanya. “Aku hanya sedang rindu seseorang dan kemari untuk menemuinya.”
Seharusnya Resha tertawa karena jawaban Dimas sama seperti tebakannya. Ini seperti alur cerita komik Mr. S yang dia baca. Tetapi ia urungkan niat sebab wajah Dimas sungguh sendu, ia terlihat sungguh-sungguh dengan apa yang ia katakan. Diam-diam Resha mulai bersimpati, terlepas dari apakah yang ia ceritakan sungguhan atau hanya sekedar bualan semata. Bagaimana bisa ada seorang laki-laki yang tulus mencintai seseorang di dunia nyata.
“Kamu pasti masih mengira aku sedang bergurau. Tapi aku berani bersumpah, kalau aku tidak berbohong.”
Resha menggaruk pelipis mata. "Awalnya aku sulit percaya," jawab Resha jujur. “Tapi entah mengapa, instingku bilang kalau kau berkata jujur. Dan aku mencoba untuk percaya, meski logikaku tak sampai ke sana.”
Dimas tersenyum lembut. Memang tak akan mudah meyakinkan seseorang, apalagi ia tidak bisa memberikan banyak bukti. Tak apa, yang terpenting perempuan dihadapannya ini mau berbaik hati tak melapor ke pihak sekolah dan mencoba untuk percaya.
“Terima kasih, Resha Anindya.” Dimas menyipitkan mata, membaca nametag di seragam Resha. “Oia, hanya memperingatkan, lusa nanti kamu jauh-jauh dari toko fotokopi dekat sekolah, ya?”
“Hah? Memang kenapa?”
Dimas tidak menjawab, dia hanya tersenyum menatap Resha penuh arti.
Setelah percakapan mereka sore itu, Resha pamit pulang lebih dulu. Resha merasa sudah tidak ada yang perlu dia bicarakan lagi dengan Dimas. Biar saja dia menikmati waktunya di ruang praktik tata boga seorang diri.
***
Resha menarik kata-katanya. Dia harus bertemu lagi dengan Dimas.