Mohon tunggu...
Nailah Ilma Hamuda
Nailah Ilma Hamuda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Saya adalah seorang mahasiswi tahun pertama program studi psikologi. Saya memiliki ketertarikan yang besar akan tingkah laku manusia. Saya juga cukup menyukai kegiatan menulis dan berharap tulisan saya dapat bermanfaat untuk orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mine?

21 Juli 2022   12:32 Diperbarui: 22 Juli 2022   16:20 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Yogyakarta, 11 Agustus 2017

Temaram lampu kota pelajar itu selalu sama. Tenang dan mendamaikan. Membuat nyaman penghuninya, meninggalkan relung-relung tersendiri pada orang yang pernah menginjakkan kakinya di kota ini. Sebuah kota istimewa, Yogyakarta namanya. Kota tempat seorang perempuan muda itu lahir dan tinggal, Oktaviola. Siswi SMP yang sudah terbaring lemah dalam kondisi koma selama hampir 8 bulan. Tragedi Desember tahun lalu itu telah merenggut kesadarannya sejauh ini. 

Keberadaan Oktav kini, bagi orang-orang di sekitarnya, hanya jasadnya yang ada, jiwanya seperti sudah lenyap. Delapan bulan terbaring, teman-temannya yang awalnya merasa sedih dan rindu, lama-lama mereka mulai lupa, mulai terbiasa dengan ketiadaan Oktav, lebih tepatnya mereka lelah menunggu sadarnya  Oktav. Dirinya seperti ada pada ambang hidup dan mati. Teman-temannya sudah bersiap untuk menghadapi kemungkinan terburuk. Kehilangan Oktav.

Beribu untung orang tua Oktav bukanlah orang yang kekurangan, biaya rawat inap Oktav selama di rumah sakit dapat ditangani tanpa kendala. Bolak-balik rumah sakit sudah menjadi rutinitas, tempat itu selayaknya rumah kedua bagi keluarga mereka. Setiap mereka memasuki  ruang rawat Oktav, harap teruntai dalam benak agar mata atau tangan Oktav tergerak, segera sadar dari tidur panjangnya. 

Mereka letih, terkadang mulai putus asa, namun kenangan bersama Oktav di masa lalu, selalu menguatkan mereka untuk menunggu Oktav dengan sabar sampai kapanpun itu. Rupanya, memang benar, tidak ada yang pernah sia-sia dari suatu doa baik yang dipanjatkan.

***  

Sore ketika mentari mulai lelah menunjukkan diri, ingin kembali ke peraduan, dan awan malam mulai malu-malu naik menuju cakrawala. Pak Handoko, ayah Oktav sedang terduduk letih di sofa tunggu. Hari ini jadwalnya menjaga Oktav. 

Ketika tiba-tiba terdengar suara Oktav menggumam lirih, "Heumm..." Ayahnya yang tadinya hendak menidurkan diri langsung tersentak bangun, air matanya sudah ada di ujung pelupuk. Ia rindu suara putrinya, ia rindu permintaan manja, keluh kesah, dan tawa terbahaknya. Putrinya ini memang orang yang ceria dan selalu menjadi mood booster keluarga. 

Ayahnya berdiri mendekat. "Oktav? Oktav dengar ayah?" kata ayah Oktav dengan suara haru campur bahagia. "Uhuk. Aa.. yah? Uhuk huk, a.. irr.." Rupanya tenggorakan Oktav terlalu kering karena air tidak mengalir selama ini, hanya air dari infus yang disalurkan ke tubuhnya. Pak Handoko bergegas mengambilkan air, ia bahagia sekali. "Minumlah, Nak, minum, pelan-pelan saja," ucap Pak Handoko sembari langsung mengambil ponsel dan mengabari istrinya untuk datang dengan keluarga yang lain.  Glek glek, air putih itu habis dalam dua kali teguk. Tubuh Oktav memang masih lemas namun kesadarannya sudah sempurna kembali. "Mmm, Ayah, kok Ayah keliatan makin banyak kerutan? Ayah abis ngapain? Loh, terus aku ngapain sih di sini, di mana ini?" tanya Oktav yang mulai menyadari keanehan yang ada. "Tentulah kerutan ayah bertambah, ayah semakin menua Nak, kamu koma 8 bulan, kami sekeluarga mengkhawatirkanmu, akhirnya kamu sadar, ayah bahagia sekali," sahut ayahnya kemudian dengan senyum lebar terpampang di wajah tuanya.

"Hah?! Perasaan baru kemaren aku berangkat sekolah, koma 8 bulan apanya?" sergah Oktav seraya mengernyitkan dahi, ia terlalu shock mendengar kabar ini. "Kamu kan koma, ya nggak ingat, Ta. Oiya, ayah udah ngehubungin ibu dan yang lain, sebentar lagi akan ke sini." Ya, Tata adalah panggilan masa kecil Oktav.

"Aaaa.. masa beneran aku koma, Yah? Aku kenapa sih, Yah? Kok bisa koma?" tanya Oktav antara bingung dan tak percaya. "Kamu kena pohon tumbang, Ta. Sudahlah, kamu nggak usah mengingatnya. Yang penting kamu udah sembuh sekarang," ucap ayah Oktav sambil mengelus lembut pucuk kepala anak gadisnya itu. "Jatohnya kena dada aku ya, Yah, rasanya nyeri," ucap Oktav menyeringai kesakitan seraya memegangi dadanya.

"Iya, udah kamu jangan banyak gerak dulu, ayah panggilin dokter buat cek kondisi kamu." Ayahnya beranjak dari kursi samping ranjang tempat ia tadi duduk, hendak keluar ruangan. Namun langkahnya terhenti ketika putrinya kembali bersuara, "Ih aku masih nggak percaya, Ayaah! Heum, tapi pantes sih aku jadi laper banget kaya nggak makan setahun. Pokoknya habis ini kita makan besar ya, Yah, undang temen temen aku juga, aku sebenernya biasa aja sih, lha wong rasanya baru kemaren ketemu, hihi tapi kayanya mereka kangen aku deh," ucap Oktav riang, seakan lupa dirinya ini sudah koma dua catur wulan lamanya.

Ayahnya mengangguk, keluar ruangan seraya menghela nafas, meskipun mereka bukan orang yang tidak  mampu, tabungan mereka saat ini benar benar mulai menipis. Namun tak apa, akhirnya gadis kecilnya bisa kembali menjalani kehidupan ini.

 ***

Hari berganti menjadi minggu, kemudian bulan, lalu tahun.  Sudah 2 tahun berlalu semenjak kecelakaan itu terjadi. 1 bulan yang lalu, Oktav dan sekeluarga harus rela meninggalkan kota pelajar yang sangat mereka cintai dan berpindah menuju kota kembang, Bandung. Demi mengikuti dinas ayahnya. Suatu alasan pindah rumah yang sangat klasik. Tapi Oktav cuek saja, terlebih ketika ia tahu bahwasanya Bandung menyimpan banyak kuliner andalan yang patut ia coba. 

Pascakoma, pola makan Oktav malah menjadi tidak teratur dan berlebih. Setiap diperingatkan ia hanya berdalih bahwa dirinya sudah 8 bulan tak makan, sehingga wajar jika ia ingin makan banyak. Kini, ia memiliki berat 68 kg pada tingginya yang hanya 150 cm.  Oktav seperti tidak peduli dan menikmati hidupnya yang kini ia jalani. 

Pagi hari ke-16 di bulan Juli, di gerbang sekolahnya kini, SMA Sejahtera Mulia Bandung, sebuah SMA swasta di pusat Kota Bandung. Sampingnya merupakan tempat pusat kuliner masakan Bandung. Oktav sengaja memilih sekolah ini, tentu saja karena ia ingin setiap hari dapat mampir dan mencicipi kuliner Bandung. Bahagia sekali ia membayangkannya.

Kriiing....kriiing

Bunyi bel tanda berkumpul di lapangan itu berdering keras sekali. Anak-anak baru segera berlari berhamburan menuju lapangan upacara, tak terkecuali Oktav. Oktav terlihat kesusahan membawa snack dan perlengkapan MOS di tangannya. Buru-buru ia melahap makanannya dan berlari sekuat yang ia bisa. Beruntung, ia berhasil memasuki barisan ketika kakak OSIS masih meneriakkan angka 1, pertanda ia belum telat. Entah apa yang akan menimpanya jika ia telat di hari pertama. 

Upacara pembukaan MOS berjalan biasa-biasa   saja. Tidak ada yang membuatnya menjadi upacara yang mengesankan. 

Upacara selesai. Mereka dibubarkan dan diberikan instruksi untuk membuat kelompok berpasangan lima-lima secara acak. Peserta MOS yang lain berlari kelimpungan menawarkan diri supaya menjadi anggota dari kelompok lain. Sementara Oktav hanya diam saja, ia malas ikut heboh seperti yang lain. Oktav melihat-lihat sekeliling apakah ada juga orang yang diam menunggu sepertinya. Pandangannya tertuju ke ujung lapangan, ya! Ada seorang gadis berkuncir kuda sedang berdiri kebingungan. Ia memutuskan untuk menghampiri gadis itu. "Hai, kamu belum dapet anggota kelompok?" tegur Oktav.

"Iya nih, belum," balasnya singkat.

"Yuk cari bareng," ajak Oktav bersemangat.

"Mmm, yuk!" Mereka pun menawarkan diri untuk bergabung dengan anggota lain, Oktav kira akan mudah saja menemukan anggota kelompok, namun saat ia mendekati kelompok lain, awalnya mereka ragu, namun pada akhirnya memutuskan untuk menolak. Begitu terus. 

"Hmm, kenapa sih pada nggak mau sekelompok sama kita? Heran," ujar Oktav pada gadis itu. Gadis itu terdiam, "Mmm entahlah," jawabnya selang berapa saat. "Eh ada kelompok yang nawarin kita jadi anggotanya tuh, lihat deh ke arah sana!" kata gadis itu lagi sambil menunjuk ke arah jam 2. Benar saja, ada tiga orang yang berdiri dan yang perempuan berteriak memanggil, "Kalian dua cewek, sini gabung! Kita kurang dua personil nih!" "Wah iya! Yuk kita ke sana!" jawab Oktav riang.

 Mereka pun berjalan beriringan menuju ke arah tadi. Akhirnya mereka menemukan kelompok yang mau menjadikan Oktav dan gadis ini anggota kelompoknya. Mereka berisikan 2 orang laki-laki kembar yang lumayan gempal bernama Joe dan Jae, serta perempuan tinggi jangkung bernama Arin. "Oh iya, nama kamu sendiri siapa? Kita udah nyari bareng tapi nggak saling kenal," tanya Oktav kepada gadis kuncir kuda, "Oiya, nama aku Rade," jawabnya dengan senyum tipis mengembang.

Kegiatan MOS selesai dan berjalan dengan lancar, meskipun Oktav agak kesusahan dalam mengikuti berbagai kegiatan dikarenakan postur tubuhnya yang besar.

 ***

Hari kegiatan belajar bagi siswa kelas 10 pun dimulai, kelas masing-masing siswa sudah ditentukan. Oktav ditempatkan di 10-3, sedangkan Rade ada di 10-2. Mereka tidak dalam satu kelas, namun berseberangan. 

Bangku di kelas Oktav merupakan bangku yang biasa digunakan oleh anak kuliah, agak sempit dan satu-satu. Oktav tidak terlalu suka bangku ini karena menyusahkannya untuk bergerak bebas. 

Pagi itu Oktav sampai di dalam kelas dan langsung mengeluarkan jajanan yang sudah ia beli di depan tadi, 10.000 cilok bandung, masih hangat dan baunya semerbak.

"Widih, enak banget bau ciloknyaa, nggak bagi-bagi nih? Ntar lo tambah melebar tuh makan mulu. Sini gih, gue dibagi!" celoteh anak laki-laki yang melintas. "Masalah emang kalo aku gendut? Badan, badan aku! Lagian kalo mau, beli sendiri kenapa?!" balas Oktav jutek. "Dih dih sombong bener, gue laper nih," tutur laki-laki itu seraya bergaya memegangi perutnya. "Apaan sih, orang lagi makan, ganggu aja!!!!!" sewot Oktav. Ia kemudian mencoba fokus ke ciloknya, tak ingin diganggu. "Ck ck, Gendut! Sombong lagi, amit amit!!" ucap laki-laki itu.

Deg! Baru kali ini ada yang mengatai Oktav seblak-blakan itu. Mood Oktav yang sudah ia bangun baik-baik di pagi hari luruh seketika. Ia kesal sekali dikatakan gemuk dua kali oleh orang yang belum ia kenal, meskipun ia memang benar-benar gemuk. Tapi tak seharusnya laki-laki itu berkata seenaknya. 

Akan tetapi begitulah Oktav, baginya penampilan nomor 2 setelah makanan. Ia tetap ke kantin dan memborong lumpia 6 buah serta seblak satu setengah porsi. Seblaknya ia makan di kantin bersama teman- teman perempuan kelasnya. "Wih, laper banget, Tav? sampai nambah lagi setengah porsi," tanya  Tina, teman samping bangkunya. "Nggak sih, biasa aja, tapi emang ini satu porsi kedikiten buat aku hehe," ucapnya sambil cengar-cengir. "Waduhh.. padahal gue udah kenyang banget makan seporsi," celetuk Dinda. "Yaiyalah, kan badan kita beda, Din," balas Oktav lagi.

Dinda agak tak enak hati karena sudah mengatakan hal itu. Ia berniat untuk meminta maaf, namun sepertinya Oktav sama sekali tak tersinggung. Ia tetap makan dengan lahap. Dinda pun mengurungkan niatnya. Mereka melanjutkan makan dan berbincang apa saja sebagai ajang pengakraban diri hingga bel masuk kelas berbunyi. Selepas itu, mereka kembali ke kelas. Oktav berjalan dengan tangan kanan menenteng plastik hitam berisikan lumpia yang niatnya akan ia makan di sela pergantian pelajaran. 

"Eh buset.. apaan tuh plastik item? Makanan yak? Bagi-bagi, dong," seloroh laki-laki yang sama dengan pagi tadi ketika Oktav sampai di kelas, diketahui namanya Randy setelah oktav perhatikan baik-baik nametag-nya.

"Nggak! Apaan sih, nggak kenal minta-minta mulu, ini buat nanti," jawab Oktav dengan muka masam sembari menuju ke bangkunya.

"Kan sekelas harus saling mengenal dan berbagi lah, lo juga udah banyak lemak tau, ngapain sih makan mulu, diet sono. Itu makanan nggak usah dimakan, bagi bagi lemak sama gue yang ceking ini."

"Bisa nggak sih kamu nggak usah bawa-bawa badan aku, masalah banget ya aku mau gendut?" ucap Oktav sinis.

"Apaan sih, Ndut, kenyataan juga, biar lo sadar diri."

Prak! Meja Randy tiba-tiba di geprak oleh Oktav, "Aku udah sadar kok, Nggak perlu repot-repot ngingetin!!" Oktav tak bisa lagi menahan emosi yang sudah tertahan sedari tadi pagi.

"Duuh! galak bener, pms kali ya, Hahahaha," tawa Randy menggema di ruang kelas mereka, membuat suasana hati Oktav semakin tidak baik-baik saja. 

"Apaan sih lo, Ran. Lo nggak bisa ngomong kaya gitu ke Oktav. Dia kan cewek, perasaannya lebih sensitif, Ran!'' ucap Dinda yang ada di belakang Oktav. Randy hanya mengangguk pura-pura mendengarkan.

Oktav terdiam di bangkunya. Ia terdiam selama jam pelajaran berlangsung, bahkan saat pergantian pelajaran, ia tak memakan lumpianya satupun. Mood-nya benar-benar hancur.

Kriiiiiing

Jam pulang sekolah berbunyi. Oktav segera merapikan buku-bukunya dan beranjak, namun sebelum itu ia menghampiri meja Randy, "Makan tuh! Makan!!!" ucapnya sambil melempar plastik lumpianya ke meja Randy. 

"Apaan nih, gue kan tadi minta baik-baik. Kalo lo nggak mau, yaudah nggak usah dikasih, apaan sih, lo mau malu-maluin gue, hah? Dasar gendut nggak tau diri!"

"Aku?? Ga tau diri?!!! Ngaca dong!! " ucap Oktav penuh dengan perasaan kesal yang berkecamuk. Selanjutnya ia langsung berjalan meninggalkan kelas. 

Kenapa hari pertamanya belajar di sini terasa begitu menyesakkan. Padahal ia memimpikan masa-masa SMA seperti di film dan novel yang sering ia nikmati. Tapi nyatanya tak begitu.

Sebelumnya, memang banyak yang mengingatkannya untuk menjaga pola makan, tapi tidak ada yang mengejeknya seperti ini. Ia benci Randy.

Hari-hari selanjutnya, entah mengapa bukan hanya Randy yang mengejeknya tapi bahkan setengah dari teman laki-laki di kelasnya malah mengejeknya bersama-sama. Mengapa mereka suka sekali melihat orang lain menderita. Bahkan pernah suatu ketika Dinda juga berkata, "Sabar ya, Tav, mungkin bener lo harus diet dikit, Tav."  Ia kesal setengah mati, mengapa bentuk badan orang lain sepenting itu mereka ributkan, padahal ia sangat menikmati hidupnya. Ia masih mencoba baik-baik saja, dikata-katai, diolok-olok. Tapi ia sendiri juga tidak tahu hingga kapan hatinya akan tetap setegar ini.

 ***   

Pagi kala itu, satu bulan pertamanya sebagai seorang siswi SMA, Oktav bangun kesiangan, habis menangis semalaman, yang rupanya akhir-akhir ini seperti menjadi rutinitasnya setelah ia diolok-olok. Meskipun dulu  Oktav adalah gadis yang riang dan terlihat tanpa masalah, ungkapan-ungkapan seperti itu sering menusuk ulu hatinya. Membuatnya berpikir kesana-kemari, dan pada akhirnya berujung sedih.

Oktav sampai di gerbang sekolah pukul 07.04, hanya lewat 4 menit setelah gerbang ditutup, namun tentu saja satpam tidak akan memperbolehkannya masuk. Di tengah kebimbangannya antara hendak masuk atau kembali berbalik saja, datanglah sesosok itu, lelaki yang mengajaknya masuk lewat pintu belakang, "Gue tahu gimana cara masuknya, ikut gue," ucapnya kala itu. Setelah mengendap-ngendap masuk, akhirnya mereka berhasil lolos tanpa ketahuan. Oktav tak mengerti mengapa laki-laki itu mau menolongnya, gadis perempuan yang sama sekali tak dikenalnya. Maka sejak detik itu, Oktav  menyukainya. Oktav pun tak mengerti mengapa semudah itu ia jatuh cinta. Dan lagi, ini adalah rasa cinta pertama yang ia rasakan. Oktav tak sempat menanyakan siapa namanya. Ia terlalu kaget dan gugup. 

Hari terus berlanjut hingga dua bulan sudah masa SMA Oktav lewati. Berkat jatuh cinta yang sedang ia rasakan, Oktav tak lagi terlalu ambil pusing dengan ocehan teman-teman kelasnya. Meskipun olokan-olokan itu terkadang mengganggu hati dan pikirannya lagi dan lagi, tapi rasanya tak semenyakitkan dulu. Ia seperti memiliki dorongan semangat tersendiri.

Kehidupan SMA berjalan semestinya, Oktav juga memasuki kegiatan ekstrakurikuler yang ia impikan, jurnalistik. Rade, teman pertama Oktav memasuki klub basket wanita, sedangkan Dinda memilih tidak ikut ekskul apa-apa. Katanya ia ingin menghabiskan waktu luang membantu orangtua. Dinda memang anak yang baik. 

Pemilihan ketua OSIS sebentar lagi, nama-nama orang yang menjadi calon ketua OSIS akan diumumkan saat upacara bendera hari Senin, ya! hari ini. Pengumumannya akan dibacakan oleh bapak kepala sekolah seraya sang calon maju ke depan. 

"Akan saya bacakan siapa-siapa saja yang akan menjadi calon ketua OSIS tahun ini, calon ketua OSIS kita yang pertama, Danendra Nias dari XI MIPA-3, kemudian yang kedua adalah Pratama Aji Saka Hestanta dari XI MIPA-2, dan yang terakhir ada Rio Aharsya dari XI IPS-2," suara lantang bapak kepala sekolah dengan bantuan mik menggema di seantero sekolah.

Oktav tak bisa melepaskan pandangannya ketika nama calon ketiga dipanggil, ya! Dia adalah orang yang sama dengan yang menolongnya pagi itu. Ternyata namanya Rio, hihi, batin Oktav. Dirinya senang sekali. Tadinya ia masih bertanya-tanya nama lelaki itu,  namun kini sudah terukir dengan jelas nama Rio di hatinya.

Hari-hari Oktav sejak saat itu, selalu dipenuhi oleh perasaan berbunga-bunga. Ia setiap hari menyempatkan diri untuk memutar arah saat hendak menuju kelas. Ia akan melewati depan kelas XI IPS-2 itu, berjalan perlahan ketika sampai di depan kelas---berharap menemukan sosok yang ia cari. Jika ketemu pun Oktav tidak tahu harus melakukan apa, ia hanya ingin melihat saja. Ia terlalu takut untuk mengatakannya. Ketika teman sekelasnya menanyakan mengapa ia masuk kelas melalui arah deretan kelas 11, Oktav selalu berdalih bahwa ia membeli cemilan di kantin terlebih dahulu.   

  

Hari ini Oktav  juga melakukanya lagi, wajahnya berbinar. Oktav berjalan dengan riang memasuki kelas hingga ia tidak sadar menabrak Randy, "Duh! Ati ati napa, Tav, ngapain sih lo senyam-senyum nggak jelas gitu," ucap Randy agak kaget karena Oktav menabraknya. "Apaan sih, pengen tau aja!" Oktav tak peduli dan pergi masuk kelas. "Dih udah nabrak! Nggak minta maaf lagi!" keluh Randy. Oktav yang masih sampai di depan papan tulis mendengar ucapan Randy dan berujar malas, "Iyaaaa Maaaf." 

Namun, Randy tak mendengar ucapan Oktav dan tetap melanjutkan langkahnya menuju lapangan bola, sebelum sampai di sana ia bertemu dengan Dinda, "Din, si Oktav kenapa dah senyam senyum ga jelas gitu, sampe nabrak gue tadi," tutur Randy. "Tau deh, apa urusan lo nanya-nanya?" ucap Dinda ketus. Ia tentu saja kesal pada lelaki yang selalu menghina teman dekatnya itu. "Kasar amat," tutur Randy. "Biarin!" seloroh Dinda dan pergi meninggalkan Randy. Randy tersenyum kecut dan kemudian langsung meluncur ke lapangan ikut bergabung bermain bola. 

Bel masuk kelas berbunyi kencang, Randy berjalan kembali ke kelas. Namun dari kejauhan ia mendengar suara gaduh dari kelasnya, "Hahahahaha jangan mimpi!! Dasar nggak tau diri." Terdengar suara Dani dari kejauhan. "Wah ada apaan nih di kelas," gumam Randy. 

Setelah ia masuk, tahulah ia bahwa anak-anak laki-laki kelasnya sedang mengolok Oktav habis-habisan dikarenakan wallpaper handphone-nya adalah wajah Rio. "Dia tu tenar, banyak yang suka. Lo kalo mimpi jangan ketinggian! Haha, kurusin dulu tuh badan, kaya bapao jalan gitu," sahut Edgar, teman Randy yang lain. "Siniin hapenya, iiihh!!" teriak Oktav sambil berusaha menggapai gawainya yang diambil paksa oleh Edgar. "Kalian jahat banget sih cowok-cowok, udah napa?!" teriak Dinda yang rupanya hanya mereka anggap sebagai angin lalu. 

"Iya Tav, takutnya lo malah sakit hati kalo dia ga mau sama lo karna fisik," ucap Randy kemudian dengan muka sok serius. "Apa sih kamu ikut-ikutan? Kalo mau ngejek, ejek aja, nggak usah sok-sokan peduli! Yang punya hati tu aku, aku juga nggak minta hati aku suka dia. Masalah hah buat kalian??!" ucap Oktav dengan mata merah, air matanya seperti sudah ingin turun. Tapi ia tak mau terlihat selemah itu dihadapan orang-orang yang mengoloknya. "Santai, Tav, jangan jadi gendut baperan gitu, ih," ucap Randy, seperti tak punya hati. 

Oktav tak ingin mendengar semua itu lagi, ia mengambil HP nya paksa dari Edgar saat Edgar tak terlalu fokus. Lantas ia duduk di bangkunya. Ia lelah, mengapa fisik begitu dipermasalahkan. Bukankah semua manusia akan menua, fisik seseorang lama-lama keriput juga, melebar, bukankah itu wajar. Mengapa karena fisiknya yang berlebih ini, seakan-akan hal yang wajar bagi orang lain, menjadi suatu keanehan bagi dirinya. Meski begitu, Oktav masih berharap bahwa Rio, dambaan hatinya bukanlah orang yang seperti itu.

Hari itu---Rabu, 11 September 2019. Oktav memberanikan diri untuk menyatakan perasaanya pada Rio, ia hanya ingin tahu seperti apa sosok yang ia puja itu. Sepulang sekolah ia sudah menunggu Rio di depan kelasnya. Tubuhnya berkeringat dingin. Dirinya ragu antara tetap mengatakannya atau tidak, namun ia tetap berusaha meyakinkan hatinya. 

Setelah kira kira 15 menit menunggu, sosok itu keluar, beramai-ramai bersama 5 orang temannya, tertawa terbahak-bahak. "Ehm, kakak bener  yang namanya Kak Rio?" tanya Oktav dengan suara yang bergetar. 

"Gue? Iya gue Rio, kenapa?" jawab orang yang ada di depannya itu dengan suara berat. "Boleh saya ngomong bentar sama Kakak?" tanya Oktav agak lirih. "Ngomong apa?" tanya Rio. Oktav bingung, mana mungkin ia mengatakan yang sebenarnya di depan teman-teman Rio.

"Suatu hal, Kak, nggak bisa diomongin disini. Boleh kita pergi ke ujung lorong kelas Kakak?" jawab Oktav sambil menunjuk ke arah lorong. Teman-teman Rio melihat Oktav dengan pandangan seperti tidak suka. Tapi Oktav tidak peduli. Ia fokus pada Rio.

"Duh, penting banget ya sampai harus mojok-mojok?" tanya Rio terdengar malas. "Tolong, Kak," ucap Oktav lirih, ia berharap Rio berkenan berbicara berdua saja dengannya.

"Hmm, oke deh, guys gue ke pojokan dulu yah, mau diwawancarai kali haha biasa calon ketos, lo-lo pada duluan deh," ucap Rio kepada teman-temannya. "Yoi bro, bye!" balas teman-temannya lumayan bebarengan. Teman-teman Rio pun pergi menjauhi mereka. Oktav dan Rio lantas berjalan beriringan depan belakang menuju ujung lorong, "Mmm, Kakak inget aku nggak?" tanya Oktav sesampainya di sana. "Hah? siapa ya? Nggak tau gue," balas Rio. 

"Yang kakak tolongin masuk lewat pintu belakang waktu itu," tutur Oktav kemudian.

"Hah? Kapan? Gue sering banget masuk lewat pintu belakang, nggak inget barengan sama siapa aja," ucap Rio seraya mengernyitkan dahinya mencoba mengingat-ngingat.

"Eum....nggak penting sih kakak inget aku apa enggak, aku, cuma mau ngasih tau kakak, kalau... semenjak hari itu... aku me-r-rasa, aku a-ku s-su-ka sa-ma kakak," aku Oktav gemetar, jantungnya berdegup kencang sekali setelah ia berhasil menyatakan perasaanya. Ia memejamkan matanya, bersiap menerima apapun jawaban Rio. 

"Hah?! Suka?! Hahahaha, terus gue harus ngapain dong kalau lo suka gue?" Deg! Oktav tak mengira jawaban Rio akan semenyakitkan ini didengar oleh telinganya.

"Ng-gak ngapa-ngapain kak, aku cuma pengen bilang aja," jawab Oktav pelan seraya menunduk semakin dalam.

"Dih! Nggak penting amat si, buang buang waktu. Gue kira apaan. Btw, lo kalo mau ngungkapin perasaan ngaca dulu dong, ngakak kalo gini guenya." 

"Iya, Kak, maaf ya udah ganggu," ucap Oktav murung sembari pergi. Ternyata Kak Rio itu sama saja. Selalu melihat perempuan dari penampilannya. Ia kecewa. Kecewa sekali. Ia langsung pulang menuju rumahnya dalam kondisi air mata yang berhamburan. Ia mengurung dirinya dalam kamar semalaman penuh. Tak keluar kamar sekalipun untuk makan. Oktav berniat tidak makan, ia ingin kurus.

Ibunya begitu khawatir melihat Oktav yang tidak keluar kamar, tidak menyentuh makanan, padahal anak itu biasanya mencium bau masakan langsung girang keluar kamar. Ibunya begitu menyayangi Oktav, terlebih setelah insiden koma 8 bulan itu. 

Tok!tok!tok! "Ta? Keluar kamar dulu yuk, makan, ibu masakin sate kambing kesukaan kamu, loh," Oktav tak tergoda, ia tenggelam dalam tangisnya. Ia merasa dirinya begitu tak berguna, tak ada yang menerimanya. 

"Enggak, Bu, Tata nggak laper. Udah makan banyak tadi," sahut Oktav sedikit parau. "Oh udah kenyang, yaudah nanti malem kalau kamu laper, tinggal ambil satenya di dapur ya, Ta."

"Heem, Bu," sahut Oktav kemudian. Pikiran Oktav berkelana kesana-kemari, menyusuri satu demi satu hinaan yang ia terima. Menyadari dirinya setidakberhak itu menurut mereka untuk ikut mencicipi kebahagiaan yang orang lain alami. Oktav akhirnya ketiduran setelah lelah menangis. 

Pagi demi pagi selanjutnya terus menghampiri dunia. Setelah insiden menyatakan perasaan itu, Oktav tetap berangkat ke sekolah, namun dengan semangat yang tak lagi sama. Belajar yang tak lagi bergairah. Oktav sendiri tak mengerti, ia merasa dirinya tak ada harapan untuk diterima, dia merasa sangat kecil. Ia juga tak peduli lagi dengan ekstrakulikuler jurnalistik kebanggaanya. Dirinya yang lama seperti hilang. Datang ke sekolah, mencatat ini itu, melamun selama istirahat, selalu berkata tak ada masalah ketika teman temanya bertanya. Seperti hari ini.

"Tav, lo nggak ke kantin? Perut lo gak keroncongan tuh? Kantin yok," ajak Dinda.

"Enggak aku nggak laper," jawab Oktav lemas dengan wajah yang sama lesunya. Randy pun yang merasa kehilangan teman ribut akhirnya membawakan Oktav makanan juga ia tolak. "Nggak usah, buat lo aja," begitu kata Oktav agak serak.

"Eh sumpah lo lemes banget asli. Makan gih, ntar nggak ada tenaga," ucap Randy.

"Nggak usah, Dy, lemak aku banyak, masih ada cadangan."

"Nggak gitu juga, Tav, ini mah namanya nyiksa diri. Lo kalo mau kurus pelan-pelan aja! Nggak gini caranya. Lo bahayain diri lo sediri tau ga sih?!" Tatapan Oktav menajam, "Lo kira gue jadi kaya gini karna siapa hah? Gue pengen kurus salah. Gue gendut lo hina terus. Siapa sih lo?!" ucap Oktav sambil memelototi Randy. Randy agak tersentak, ia tak tahu sejak kapan Oktav yang asli Jogja itu menggunakan sapaan 'gue-lo', ada yang tidak biasa pada diri Oktav. Mereka terdiam dan Randy kembali ke bangkunya.

Jam olahraga pun dimulai, para perempuan mengganti baju mereka di kamar mandi, sedangkan para lelaki di kelas. Kamar mandi ada di sebelah kantin, yang artinya mereka harus melewati jajaran kelas 11 untuk sampai disana. Oktav berjalan biasa saja melewati kelas Rio, ia tak merasa sakit hati cintanya ditolak, tapi ia masih sakit hati dengan alasan Rio menolaknya. Karena fisiknya. Lagi lagi fisik. Ia muak.

"Eh, eh, itu loh cewek yang kecentilan nembak Rio."

"Ih, Seriusan dia? Mana mungkin lah si Rio suka sama dia, pantes ditolak."

"Iya, nggak ngaca emang, haha." Samar-samar Oktav mendengar suara bisik-bisik kakak kelasnya ketika ia lewat. Ia kesal. Tentu. Kini, bukan saja teman-teman di kelasnya, kakak kelasnya pun menghinanya. Hanya karena ia mencintai Rio dan fisik Oktav menurut mereka tak pantas jika bersanding dengan Rio.

Oktav sibuk melamun hingga ia tak sadar sudah ada di depan kamar mandi, "Tav? Hei! masuk yuk!" tegur Dinda. "Ha? Oiya, sorry-sorry," ucap Oktav sedikit tersentak. "Haha, ngelamunin apa sih?" lanjut Dinda. "Enggak, bukan apa-apa, dah yuk ganti baju."

Setelah Oktav dan teman-temannya selesai berganti pakaian, mereka mulai beranjak ke lapangan. Sampai di lapangan mereka berbaris menghadap pelatih kesehatan jasmani mereka. Selepas berdoa dan melakukan pemanasan mereka dibagi menjadi 18 tim, berpasangan dua-dua untuk berlatih lempar tangkap pada teknik bola basket. Oktav mendapat pasangan Diandra. 

Permainan lempar tangkap bola ini berjalan lancar-lancar saja hingga pada lemparan kesekian, yakni sebuah lemparan penuh semangat dari Diandra tanpa sengaja mengenai kepala Oktav. Oktav yang merasa begitu lemas, saat itu tidak bisa menghindari dirinya dari tragedi pingsan. Oktav terjatuh secara spontan di lapangan. Diandra yang melihatnya sontak berteriak panik, "Pak Iwan! Pak Iwan! Oktav pingsan, Pak! Oktav pingsan!!" 

Pak Iwan, guru olahraga mereka yang saat itu sedang mengajarkan teknik pada Kiara, buru-buru meninggalkan bola dan berlari menuju Oktav. Disusul oleh teman-teman Oktav yang lain.  "Ayo-ayo bawa Oktav ke UKS! Cepat-cepat! Ambil tandu, bapak sepertinya tidak kuat mengangkatnya sendiri," tutur Pak Iwan. Saat Diandra hendak beranjak mengambil tandu di UKS, saat itulah terdengar suara lelaki yang terdengar muram.

"Biar saya yang gendong dia, Pak," ucap suara itu.

"Memangnya kamu kuat? Dia ini kan badanya besar."

"Saya coba, Pak." 

Lelaki itu adalah Galang, lelaki berkacamata yang selalu duduk di pojokan kelas. Seorang lelaki cupu yang terlihat tidak peduli. Tapi, siapa sangka ia menawarkan diri menggendong Oktav.

Galang berhasil menggendong Oktav sampai ke UKS. Dari kejauhan, Randy melihatnya dengan tatapan datar. 

"Si Oktav kenapa, Din? Gua tadi mau nyamperin tau-tau udah dibawa aja ke UKS. Yaudah nggak jadi," tanya Randy di kelas ketika pelajaran olahraga telah usai. 

"Ngapain sih lo sok peduli sama dia, Dy? Lo tau nggak kenapa dia pingsan gitu?!" tanya Dinda nanar.

"Kena bolanya Diandra kan, apalagi?"

"Iya, itu keliatannya, tapi dia nggak bakal pingsan lah kalo kena bola doang, ada sebabnya. Dan lo! Lo yang selalu ngatain Oktav gendut, ini itu lah, nggak pantes suka sama orang lah! Dia jadi depresi, ngerasa nggak ada yang bisa nerima dia kalo dia gendut, makanya dia diet gitu, tapi caranya terlalu ekstrem! Gue juga dikasih tau sama ibunya, dia selama ini dibawain makanan selalu bilang udah makan banyak di sekolah! Padahal lo tau sendiri kan dia akhir-akhir ini  ngelamun terus di kelas!!" cerocos Dinda menggebu.

"Hah? Gue nggak ada niat gitu, emang sih gue ngerasa kelewatan akhir-akhir ini."

"Nggak ada niat gitu apanya!! Lo tau nggak, dulu.. si Oktav ini pernah koma 8 bulan, abis sembuh dia ngerasa seneng banget tu.. Katanya perutnya kerasa kosong banget, jadi dia ngelahap makanan sampe lupa kontrol. Nah sekarang orangtuanya lagi cemas banget! Mereka trauma sama koma yang dialami Oktav, sedangkan ini Oktav udah 3 jam nggak bangun-bangun Ran!!!" ucap Dinda sembari menghela nafas. Ia meneteskan air mata. Ikut merasakan luka yang dialami Oktav.

"Gue..gue minta m-ma-aff, G-gue gu-e," ucap Randy terbata-bata.

"Minta maaf ke Oktav, bukan ke gue!" potong Dinda sembari membuang muka tanda ia ingin Randy pergi dari mejanya. Randy pergi ke mejanya. Pikirannya kalut. Ia merasa bersalah karena dirinyalah yang menyebabkan gadis itu menjadi seperti ini.

Sementara di UKS Oktav belum juga tersadar, orang tuanya akhirnya memutuskan membawa Oktav ke rumah sakit terdekat. Galang yang mengetahui berita tersebut hasil bertemu dengan orang tua Oktav tadi, langsung memberitahukannya ke depan kelas "Hm hm, temen-temen, Oktav masih pingsan dan hari ini dia dibawa ke rumah sakit, gue pengen kita semua jenguk dia. Kasih dia semangat," ucapnya. "Hik hik," tiba-tiba terdengar suara tangisan di ujung belakang kelas. Suara Diandra, "Hiks hiks, Oktav pingsan karena gue... Gue jadi temen jahat banget ngelempar bola ke dia ngenain kepala dia.. hiks, hiks."

"Engga, Ndra. Bukan lo yang salah, bukan lo yang nyebabin ini semua," ucap Dinda tegas sembari memandang Randy tajam. Randy yang ditatap seperti itu semakin merasa tidak enak hati, tapi sebelum dia pergi keluar, dia menyeret Galang keluar bersamanya 

"Lo, orang paling cuek di kelas, kesambet apa, sok care sama Oktav?!" "Apaan sih! gue bukan sok care! Gua kasian sama dia saban hari ditindas sama makhluk nggak punya hati, suka sama orang aja dihina, Cih!"

"Nyindir gue lo? Tau apa lo soal gue," kata Randy tajam.

"Ya lo, adalah orang rese yang sukanya ngehina orang, apalagi?"

"Haha," tawa Randy getir. "Mungkin bener gue awalnya emang ngehina dia, gue kira dia nggak bakal tersinggung, karena.. gue selama ini tumbuh bersama segala ejekan. Jadi gue selalu ngeposisin orang lain sebagai diri gue. Hm, tapi gua akhirnya sadar nggak semua orang terbiasa dengan hal itu. Makanya akhir-akhir ini gue mulai ngurangin ejekan gue. Dan kenapa gue ngolok-ngolok dia pas dia suka sama Rio, itu karena gue suka sama dia Lang, gue nggak tau sejak kapan, tapi gue nggak suka setiap hari dia senyam-senyum karna ketos pansos itu. Dan gue nggak bisa ngungkapin perasaan gue selain dengan ngelakuin hal yang biasanya gue lakuin," jujur Randy pada akhirnya. Nafasnya berat. "Cara lo salah, Ran!" ucap Galang memalingkan muka sembari melangkah pergi.

 ***

Di ruang bumi yang lain---di rumah sakit yang berada tidak jauh dari sekolah Oktav, Ruang Mawar tepatnya, Oktav akhirnya sadar setelah pingsan selama 6 jam. Syukur berkali-kali diucapkan oleh kedua orangtuanya. Tatapan Oktav masih lesu. Pikirannya entah ada dimana. Ibunya mendekatinya sambil memberikan segelas air putih. "Alhamdulillah kamu sadar, Ta. Minum dulu Nak." Oktav menerima gelas itu dan meminumnya. Pandangan matanya tetap kosong. "Masih sakit Nak yang kena bola?" tanya ayahnya kemudian. "Ha?" jawab Oktav lemas seperti belum sepenuhnya sadar. "Iya, tadi kamu pingsan karna kena bola, Ta. Gimana? Udah baikan?" sahut ibunya. "Eehm.. bo-la?" balas Oktav berpikir seraya memegangi dahinya.

Tok! Tok! "Permisi," tiba tiba terdengar suara dari luar. Suara Anton, ketua kelas Oktav. "Eh, temen-temen kamu udah dateng, Ta," tutur ibu Oktav seraya beranjak, namun dipotong oleh ayah Oktav, "Mas aja, Dik yang buka," ucap ayah Oktav diiringi anggukan istrinya. Pak Handoko pun mendekati pintu masuk dan membukanya. "Sini-sini masuk Mas Mbak semua," sambut ayah Oktav ramah. "Makasih, Om....Tante," sahut teman-teman Oktav serempak. 

"Oktaaaaaav," pekik Dinda sembari berjalan mendekat ke arah Oktav lantas memeluknya. "Gimana kabar lo? Khawatir banget guee." Yang dipeluk hanya tersenyum tipis, tak membalas pelukan itu. "Iya nih, gue juga bawain lo cilok masih anget baru beli tadi, hehe. Lo gapapa kan makan cilok?" timpal Randy seraya meletakkan plastik hitam ke meja samping ranjang. "Nggak papa, Nak, Oktav nggak ada masalah pencernaan kok, malah seneng pasti, cilok kan favorit dia banget, mama siapin ciloknya ya, Ta. Oiya silahkan duduk Mas Mba, bisa di kursi bisa lesehan juga di karpet, silahkan silahkan," jawab ibu Oktav sambil mengambil cilok itu dan menuangkannya ke dalam mangkuk plastik. 

"Oktav baik-baik aja kan, Om, Tante? Nggak ada masalah apa-apa? Cuma pingsan aja?" tanya Anton sambil duduk di sofa dekat jendela. "Enggak kok Nak, kata dokter dia cuma kurang nutrisi aja, makasih ya kalian udah mau jengukin Oktav," tutur ayah Oktav diikuti tatapan hangat ibu Oktav kepada teman sekelas Oktav. "Iya, Om, kita kan satu kelas, satu keluarga, kalau ada yang sakit pastilah kita jenguk, ya kan temen-temen?" ucap Anton yang dijawab dengan anggukan teman-temannya.

  "Nah, udah siap ni Ta, makan dulu yuk, biar keisi perutnya," ucap ibu Oktav seraya menyodorkan sendok berisi cilok kepada Oktav, hendak menyuapi. Entah apa yang terjadi, ekspreksi Oktav berubah seketika ketika melihat cilok itu didekatkan. Suatu ekspreksi ketakutan yang sangat kental. "Enggaaakk!!! Jauhiiin!!! Jauuhin ituuu!! Hiks, hiks.. jaaauuhh.. hiks, jaauuhh." Oktav tiba tiba merintih ketakutan. Dirinya meringkuk di balik selimut. "Kamu kenapa, Ta? Kenapa?? Ini cilok, kamu takut apa? Kamu liat apa? Ada yang serem?" deretan pertanyaan terucap dari bibir ibunya, ia panik. Teman-temanya ikut khawatir, tapi mereka tak ada yang membuka suara. Sementara ayahnya dengan sigap langsung memanggil dokter.

Dokter yang tadi menangani Oktav masuk ke ruangan rawat Oktav, Ruang Mawar. Sang dokter lantas mempersilakan teman-teman Oktav untuk keluar terlebih dahulu agar Oktav merasa lebih tenang. 

Ia bersegera memeriksa kondisi tubuh  Oktav. Tidak ada yang aneh. Sama seperti ketika tadi ia mengeceknya. "Tadi anak saya teriak ketika melihat cilok, Dok. Kenapa ya?" tanya ayah Oktav kemudian dengan mimik muka harap-harap cemas. "Hmm cilok? Menurut tes kesehatan yang sudah dilakukan, Oktav tidak memiliki catatan trauma atau alergi apapun." "Saya juga bingung, Dok. Kenapa dia seperti itu," tutur ibunya khawatir. 

"Boleh tolong ciloknya dibawa kemari?" pinta dokter. Ibu  Oktav pun memberikan cilok itu. Cilok itu kini sudah ada di tangan sang dokter. "Yuk, Oktav makan?" tutur dokter kepada Oktav lembut. "Enggaaaak, nggak mau hiks, jauhiin!!" teriaknya lagi meronta-ronta. Oktav seperti bukan dirinya. Benar-benar seperti orang lain. "Kenapa Oktav? Kenapa kamu nggak mau?" tanya dokter yang  diketahui bernama Dokter Nia. "Kalo aku makan, aku jadi gendut, aku nggak mau.. aku takut gendut!! Hiks ga ga aku ga boleh gendut!! Gaaa!!" teriak Oktav lagi-lagi. 

Dokter itu terdiam, lalu berkata, "Saya tidak tahu pasti dengan kondisi yang dialami Oktav, namun dilihat dari reaksi yang ditunjukkan Oktav, kemungkinan besar, Oktav mengalami gangguan mental, mungkin disebabkan oleh depresi akan makanan atau tekanan yang ada dalam dirinya. Tapi jangan khawatir, saya akan menyarankan rumah sakit dengan fasilitas spesialis yang tepat untuk mendiagnosis lebih lanjut dan menangani ini." Oktav masih meringkuk dengan muka ketakutan. 

Berkat saran Dokter Nia, orang tua Oktav akhirnya memutuskan membawa Oktav ke Rumah Sakit Sumber Harapan, rumah sakit jiwa di ujung kota ini dimana ada dokter yang sangat terkenal dengan keahliannya dalam bidang kejiwaan, yakni Dokter Burhan. 

Tak lama setelah dibawa ke sana, Oktav dinyatakan memiliki gejala awal anoreksia nervosa. Suatu gangguan psikologis yang menyebabkan seseorang terobsesi dengan berat badan dan apa yang dimakannya. Gangguan ini ditandai dengan ketakutan yang tidak beralasan terhadap kelebihan berat badan. Namun pastinya, apapun yang terjadi, segala cara akan dilakukan oleh orang tuanya agar Oktav segera sembuh dan bisa melanjutkan hidupnya dengan normal. Randy yang mengetahui Oktav dibawa ke rumah sakit jiwa merasa dirinya benar-benar sampah. Hati dan pikirannya tak pernah tenang. Ia takut sekali terjadi sesuatu pada diri Oktav. Ia tidak akan memaafkan dirinya sendiri jika hal itu sampai terjadi.

SELESAI

Terimakasih sudah membaca ^_^

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun