"Iya, udah kamu jangan banyak gerak dulu, ayah panggilin dokter buat cek kondisi kamu." Ayahnya beranjak dari kursi samping ranjang tempat ia tadi duduk, hendak keluar ruangan. Namun langkahnya terhenti ketika putrinya kembali bersuara, "Ih aku masih nggak percaya, Ayaah! Heum, tapi pantes sih aku jadi laper banget kaya nggak makan setahun. Pokoknya habis ini kita makan besar ya, Yah, undang temen temen aku juga, aku sebenernya biasa aja sih, lha wong rasanya baru kemaren ketemu, hihi tapi kayanya mereka kangen aku deh," ucap Oktav riang, seakan lupa dirinya ini sudah koma dua catur wulan lamanya.
Ayahnya mengangguk, keluar ruangan seraya menghela nafas, meskipun mereka bukan orang yang tidak  mampu, tabungan mereka saat ini benar benar mulai menipis. Namun tak apa, akhirnya gadis kecilnya bisa kembali menjalani kehidupan ini.
 ***
Hari berganti menjadi minggu, kemudian bulan, lalu tahun. Â Sudah 2 tahun berlalu semenjak kecelakaan itu terjadi. 1 bulan yang lalu, Oktav dan sekeluarga harus rela meninggalkan kota pelajar yang sangat mereka cintai dan berpindah menuju kota kembang, Bandung. Demi mengikuti dinas ayahnya. Suatu alasan pindah rumah yang sangat klasik. Tapi Oktav cuek saja, terlebih ketika ia tahu bahwasanya Bandung menyimpan banyak kuliner andalan yang patut ia coba.Â
Pascakoma, pola makan Oktav malah menjadi tidak teratur dan berlebih. Setiap diperingatkan ia hanya berdalih bahwa dirinya sudah 8 bulan tak makan, sehingga wajar jika ia ingin makan banyak. Kini, ia memiliki berat 68 kg pada tingginya yang hanya 150 cm. Â Oktav seperti tidak peduli dan menikmati hidupnya yang kini ia jalani.Â
Pagi hari ke-16 di bulan Juli, di gerbang sekolahnya kini, SMA Sejahtera Mulia Bandung, sebuah SMA swasta di pusat Kota Bandung. Sampingnya merupakan tempat pusat kuliner masakan Bandung. Oktav sengaja memilih sekolah ini, tentu saja karena ia ingin setiap hari dapat mampir dan mencicipi kuliner Bandung. Bahagia sekali ia membayangkannya.
Kriiing....kriiing
Bunyi bel tanda berkumpul di lapangan itu berdering keras sekali. Anak-anak baru segera berlari berhamburan menuju lapangan upacara, tak terkecuali Oktav. Oktav terlihat kesusahan membawa snack dan perlengkapan MOS di tangannya. Buru-buru ia melahap makanannya dan berlari sekuat yang ia bisa. Beruntung, ia berhasil memasuki barisan ketika kakak OSIS masih meneriakkan angka 1, pertanda ia belum telat. Entah apa yang akan menimpanya jika ia telat di hari pertama.Â
Upacara pembukaan MOS berjalan biasa-biasa  saja. Tidak ada yang membuatnya menjadi upacara yang mengesankan.Â
Upacara selesai. Mereka dibubarkan dan diberikan instruksi untuk membuat kelompok berpasangan lima-lima secara acak. Peserta MOS yang lain berlari kelimpungan menawarkan diri supaya menjadi anggota dari kelompok lain. Sementara Oktav hanya diam saja, ia malas ikut heboh seperti yang lain. Oktav melihat-lihat sekeliling apakah ada juga orang yang diam menunggu sepertinya. Pandangannya tertuju ke ujung lapangan, ya! Ada seorang gadis berkuncir kuda sedang berdiri kebingungan. Ia memutuskan untuk menghampiri gadis itu. "Hai, kamu belum dapet anggota kelompok?" tegur Oktav.
"Iya nih, belum," balasnya singkat.