Kriiiiiing
Jam pulang sekolah berbunyi. Oktav segera merapikan buku-bukunya dan beranjak, namun sebelum itu ia menghampiri meja Randy, "Makan tuh! Makan!!!" ucapnya sambil melempar plastik lumpianya ke meja Randy.Â
"Apaan nih, gue kan tadi minta baik-baik. Kalo lo nggak mau, yaudah nggak usah dikasih, apaan sih, lo mau malu-maluin gue, hah? Dasar gendut nggak tau diri!"
"Aku?? Ga tau diri?!!! Ngaca dong!! " ucap Oktav penuh dengan perasaan kesal yang berkecamuk. Selanjutnya ia langsung berjalan meninggalkan kelas.Â
Kenapa hari pertamanya belajar di sini terasa begitu menyesakkan. Padahal ia memimpikan masa-masa SMA seperti di film dan novel yang sering ia nikmati. Tapi nyatanya tak begitu.
Sebelumnya, memang banyak yang mengingatkannya untuk menjaga pola makan, tapi tidak ada yang mengejeknya seperti ini. Ia benci Randy.
Hari-hari selanjutnya, entah mengapa bukan hanya Randy yang mengejeknya tapi bahkan setengah dari teman laki-laki di kelasnya malah mengejeknya bersama-sama. Mengapa mereka suka sekali melihat orang lain menderita. Bahkan pernah suatu ketika Dinda juga berkata, "Sabar ya, Tav, mungkin bener lo harus diet dikit, Tav." Â Ia kesal setengah mati, mengapa bentuk badan orang lain sepenting itu mereka ributkan, padahal ia sangat menikmati hidupnya. Ia masih mencoba baik-baik saja, dikata-katai, diolok-olok. Tapi ia sendiri juga tidak tahu hingga kapan hatinya akan tetap setegar ini.
 ***  Â
Pagi kala itu, satu bulan pertamanya sebagai seorang siswi SMA, Oktav bangun kesiangan, habis menangis semalaman, yang rupanya akhir-akhir ini seperti menjadi rutinitasnya setelah ia diolok-olok. Meskipun dulu  Oktav adalah gadis yang riang dan terlihat tanpa masalah, ungkapan-ungkapan seperti itu sering menusuk ulu hatinya. Membuatnya berpikir kesana-kemari, dan pada akhirnya berujung sedih.
Oktav sampai di gerbang sekolah pukul 07.04, hanya lewat 4 menit setelah gerbang ditutup, namun tentu saja satpam tidak akan memperbolehkannya masuk. Di tengah kebimbangannya antara hendak masuk atau kembali berbalik saja, datanglah sesosok itu, lelaki yang mengajaknya masuk lewat pintu belakang, "Gue tahu gimana cara masuknya, ikut gue," ucapnya kala itu. Setelah mengendap-ngendap masuk, akhirnya mereka berhasil lolos tanpa ketahuan. Oktav tak mengerti mengapa laki-laki itu mau menolongnya, gadis perempuan yang sama sekali tak dikenalnya. Maka sejak detik itu, Oktav  menyukainya. Oktav pun tak mengerti mengapa semudah itu ia jatuh cinta. Dan lagi, ini adalah rasa cinta pertama yang ia rasakan. Oktav tak sempat menanyakan siapa namanya. Ia terlalu kaget dan gugup.Â
Hari terus berlanjut hingga dua bulan sudah masa SMA Oktav lewati. Berkat jatuh cinta yang sedang ia rasakan, Oktav tak lagi terlalu ambil pusing dengan ocehan teman-teman kelasnya. Meskipun olokan-olokan itu terkadang mengganggu hati dan pikirannya lagi dan lagi, tapi rasanya tak semenyakitkan dulu. Ia seperti memiliki dorongan semangat tersendiri.