Mohon tunggu...
Ika Septi
Ika Septi Mohon Tunggu... Lainnya - Lainnya

Penyuka musik, buku, kuliner, dan film.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Di Penghujung Senja (19)

16 Mei 2017   15:47 Diperbarui: 16 Mei 2017   16:04 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi : askideas

Setelah menghabiskan satu gelas susu murni yang katanya asli dari sapi yang ber-KTP Lembang, dan mendapatkan jawaban bila si Meong sedang off, mereka bertiga akhirnya kembali berkendara menuju kampus. Jojo memarkirkan Katana-nya dengan rapi, lalu mereka menuju ke aula yang kini terlihat sangat meriah karena acara telah di mulai.

“Sebenarnya aku gak nyaman ada di sini.” Rein berterus-terang.

“Kenapa?”

“Ya kan bukan acara jurusan ku.”

“Ah santai aja kali.” Jojo membesarkan hati Rein.

“Tadinya aku males kesini tapi Shia maksa, kalau gak ada kamu kayaknya aku bakal bengong sendirian all night long deh.”

“Ah kan ada Shia, Jed juga ada, masih musuhan sama dia?”  Jojo tersenyum simpul.

Rein menggeleng.

“Mmmh pantes aja Shia meriang.”

“Maksudnya?”

“Kamu sudah baikan sama Jed, itu yang bikin dia meriang kan?”

“Diantaranya lah.”

“Diantaranya? Jadi ada beberapa?”

Rein mengangguk.

“Menakjubkan.” Jojo tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Gadis yang tengah galau itu pun lalu menceritakan semuanya dengan singkat. Tentang kemarahan  Shia, berbaliknya sikap Jed, pertemuan-pertemuannya dengan Jed, kecelakaan Shia dan terakhir tentang perlakuan Shia akhir-akhir ini terhadapnya.  Cerita yang harusnya memakan waktu dua kali lebaran itu, dipersingkat menjadi satu buah rangkuman berdurasi 1 X 20 menit saja.

“Ternyata hidup kamu meriah juga ya.” Jojo melirik Rein dengan ujung matanya.

“Hah, meriah? Maksudnya?”

“Iya, meriah, gak banyak loh yang mempunyai kehidupan penuh warna ala fragmen TVRI, kayak hidup kamu itu.”

“Penuh warna? Penuh lara Jo.”

“Ah enggaklah. Rein yang aku kenal itu gak pernah merasa lara, dia selalu menghadapi semuanya dengan senyuman. Aku jadi inget Yoga, dulu waktu ospek gabungan, kamu dimarahin dia habis-habisan. Tapi bukannya sedih, kamu malah senyam-senyum. Padahal omongan si Yoga itu kan pedes banget kayak sambel cuankinya si Jacko.” Jo tergelak.

Rein tersenyum mengingat peristiwa itu. “Ya, gimana aku gak senyam-senyum, di belakang kak Yoga kan ada kamu yang pasang muka aneh, ngejek-ngejekin dia. Tapi akhirnya apes juga sih, musti jalan bebek ngelilingin aula ini.”

“Si Yoga gak tahu aja kalo aku ada di sana. Eh kok jadi ngomongin si Yoga ya, nanti telinga dia merah tuh.” Jojo menunjuk Yoga yang tengah duduk berbincang dengan salah seorang temannya.

“Aku percaya kamu bisa menghadapi semuanya, kalem aja lah. Masalah gitu mah Rein-lah pakar nya.” Lanjut pemuda yang rambutnya selalu tertata rapi itu.

Rein merengut.

“Hei senyum ah. Satu aja pesanku ke kamu, pilihlah jalan yang terasa nyaman buat kamu, kalau ada batu yang menghalangi, tendang aja, kalau ada sampah yang ngotorin, pungut terus buang ke tempatnya tapi jangan ke temannya ya. Gak usah mikirin pendapat orang apalagi yang sirik pidik jail kaniaya* sama kamu. Hidup kamu adalah milik kamu sendiri.” Jojo bernasehat panjang kali lebar.

“Yes Master,”  sahut Rein pendek.

 Jojo  tersenyum sambil menengok jam di pergelangan tangannya.

“Eh Jo, itu triple 10 ya?” Tiba-tiba Rein tergelitik untuk bertanya ketika melihat jam tangan Jojo yang sama persis dengan milik Shia itu.

“Iya, kenapa? Kamu ingin pakai yang ginian? Buat apa? Buat gaya apa buat pelipur lara?  gak pantes ah terlalu badag** .”

“Ih enggak, cuma nanya doang kok.”

Di tengah obrolan seru bertema jam tangan antara Rein dan Jojo, terdengarlah sebuah suara merdu yang tiba-tiba menghentikan kalimat-kalimat yang meluncur dari bibir dua orang yang tengah duduk santai di barisan belakang itu.

“Sepertinya belum lengkap ya bila tidak ada persembahan dari senior kita yang akan meninggalkan kampus. Nah berhubung salah satu band pengisi acara gagal pentas maka gak ada salahnya kita todong salah satu senior kita buat pentas. Setujuuuu?” Ratri yang bertugas sebagai MC berteriak nyaring.

“Setujuuuuu!” Penonton menjawab dengan heroik sambil bertepuk tangan riuh.

Shia berbisik kepada Ratri.  Ratri turun dari stage berjalan lurus ke belakang, semua mata tak terkecuali Shia dan Jed mengikuti Ratri yang tengah berjalan dan berhenti tiba-tiba di depan barisan kursi yang didiami Jojo dan Rein.

“Kak Jojo?” Ratri mengulurkan sebuah mikropon kepada Jojo.

Senyum Jojo mengembang. Mengayunkan tangannya tanda penolakan sementara Ratri masih berdiri di sana dan wajahnya mementalkan penolakan Jojo.

Jojo berdiri lalu menatap Rein.

“Ikut?”

Rein tertawa dan menggelengkan kepalanya.

“Hayuuk lah, udah lama aku gak denger suara kamu, buktiin dong suara kamu gak kayak pengamen di bis kota itu.”

Rein menggelengkan kepalanya dengan mantap, tapi penolakannya sia-sia karena Jojo lebih dulu memegang pergelangan tangannya dan menyeretnya menuju ke stage rendah di depan mereka.

Jojo mengetuk-ngetuk stand mike yang berdiri kokoh di depannya, sementara tangan kiri nya belum melepaskan pergelangan tangan Rein. Gadis itu menundukkan kepalanya, ia merasa sangat kikuk diantara tatapan orang-orang yang sebagian tidak ia kenal.

“Wah, siapa ini yang bertanggung jawab dalam rangka ngerjain aku ya. Harusnya kan aku yang dihibur bukan yang menghibur, kayaknya ini kerjaan ketua panitianya ya.” Jojo melemparkan pandangannya ke arah Shia.

“Nah berhubung ketua panitianya sudah ngerjain aku, maka gak ada salahnya aku kerjain balik,” canda Jojo sambil melambaikan tangan Rein seperti dalang yang tengah memainkan wayangnya.  Shia pun melambaikan tangannya dengan terpaksa.

 “Oke kalau begitu, aku butuh gitaris.” Jojo mencari seseorang.

“Jeddy mamen.”  Jojo mengarahkan telunjuknya ke arah Jed yang tengah berdiam diri di pojok ruangan.  Tanpa diminta dua kali Jed berlari kecil menuju ke atas stage.

“Bass, Aa Jim.”  Jojo memanggil Jimmy dengan bahasa sundanya yang kental.

“Drum,  Ndra.”  Indra berjalan tergesa menuju stage.

“Ini siapa yang mau nyumbang pegang keyboard.”  Jojo clingukan

“Yog, pencetin nih keyboardnya.”  Jojo berteriak nyaring yang membuat Yoga tergopoh gopoh naik ke atas stage sambil membawa dus snacknya, lalu meletakkannya di atas benda bermerk Yamaha PSR-175 itu.

Mereka lalu berkerumun.  Jed tidak berhenti menatap Rein yang terlihat kikuk.

“Akhirnya aku bisa main bareng sama kamu juga ya.” Jed berbisik, Rein terlonjak kaget namun dengan segera berusaha menguasai dirinya. Ia pun tersenyum sekilas kepada pemuda itu.

Lalu keenam orang itu pun bergerombol membicarakan nomor apa yang akan mereka mainkan.

“Yog, gak jadi ah pakai keyboardnya, soalnya lagunya Don Sepik.” Jojo tertawa.

Heuu, sebel.”  Yoga turun dari stage sambil menggerutu dengan menjinjing dus snacknya kembali.

Perasaan Rein tak keruan, keringat dingin sebesar besar jerawat yang ada di hidung Redi bermunculan di dahinya. Terakhir kali Rein menyanyi di stage adalah saat acara perpisahan SMA-nya.

 “Rein kamu bisa, semangat!”  Jojo meyakinkan gadis yang raut wajahnya terlihat pucat itu.

Rein menganggukan kepalanya, walau ada sedikit rasa ragu.

Jed memainkan intro Don’t Speak dengan lembut dan Rein menunggu aba aba dari nya. Jed menganggukkan kepalanya, dan Rein pun mulai mengeluarkan suaranya. Suara yang ia sendiri tak tahu bagaimana terdengarnya.  Saat itu Rein merasa gugup sekali, ia berpikir Shia mungkin bisa menyamankan hatinya. Ia pun menatap Shia, namun bukan kenyamanan yang ia dapatkan melainkan wajah galak yang siap menerkam. Akhirnya Rein lebih memilih untuk memandangi sepatu sneakers-nya, dan itu ternyata lebih menenangkan.

Seiring dengan berakhirnya lagu yang mereka bawakan, berakhir pula acara perpisahan sederhana yang di gelar malam itu. Dengan langkah tergesa Shia mendekati stage.

“Jo thanks ya, rame nih.” Shia menyalami Jojo tanpa sedikit pun melihat ke arah Rein.

“Shi anterin kita pulang ya.” Maya tiba tiba menginterupsi obrolan Shia dan Jojo.

Shia mengangguk, lalu menghampiri Rein menggandeng tangannya untuk menjauh dari kerumunan. “Rein pulang sama aku aja, kita kan searah, nanti aku antar sampai rumah.” teriak Jojo.

“Gak usah Jo, Rein sama aku aja, dia kan tanggung jawab ku.” Shia menjawab dengan tenang sementara Jojo menghampiri mereka.

“Maksud aku, kamu kan harus  antar anak-anak, nanti kemalaman. Kalau Rein sama aku, kan jadi bisa menghemat waktu.” Jojo meyakinkan.

“Gak apa-apa Jo, makasih.” Shia membawa Rein ke dalam kendaraannya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.  Raut wajahnya kaku. Rein tertunduk dalam, ia merasa terganggu dengan perlakuan Shia.

“Kamu tunggu disini, aku bentaran beresin semua.” Shia berkata ketus sambil mengemudi dengan lihai memindahkan mobilnya ke lokasi yang lebih dekat dengan pintu Aula.

Shia mematikan mesin, berdiam sebentar dengan kedua tangannya bertumpu diatas stir.

“Aku kecewa kepada kamu Rein.”

“Kecewa, maksud kamu?”

Shia tersenyum sinis. “Kamu sama Jo.”

“Kenapa?”

“Kenapa kamu mau nge-stage sama dia?”

“Aku … aku gak bisa nolak, Shi.”

“Ya okelah, tapi gimana dengan Jed?”

“Jed lagi, aku kan sudah bilang Shi, Jed sama aku gak ada apa apa.”

“Tapi aku lihat cara dia memandang, gesturnya, memangnya aku bodoh dan tolol, iya?” Shia mendekatkan wajahnya kepada Rein, ia terlihat begitu marah.

“Mengapa kamu selalu mencurigai aku?”

“Karena aku gak suka kamu bergaul sama orang lain selain aku.” Shia menyipitkan matanya tanda tak suka.

 “Aku butuh ruang untuk bernafas, Shi,  kita gak bisa kayak gini terus. Setiap kita ketemu, selalu berujung dengan pertengkaran.” Rein berkata dengan suara bergetar, kesal bercampur marah.

“Aku marah karena kamu yang selalu membuat aku marah.”

“Kalau memang begitu, aku minta maaf. Tapi gak ada salahnya buat kamu untuk melihat ke dalam diri kamu sendiri Shi.” Rein merasa terkejut sendiri dengan kalimatnya ini, mengapa ia tiba-tiba bisa begitu serius seperti sekarang.

“Kamu nyuruh aku introspeksi? gak salah?”

“Iya, aku ingin kamu introspeksi lah, ini semua juga buat kebaikan kamu. Kamu itu gak selamanya benar, kamu gak seharusnya membatasi pergaulan aku, kita harus berbaur. Bila kamu terus mengkotaki aku, aku gak tahu sampai kapan aku bisa bertahan sama kamu.”

Tiba-tiba Shia menampar pipi Rein dengan keras yang membuat seluruh tubuh gadis itu mendadak kaku.

“Ngomong apa kamu tadi? Jangan pernah ngomong kayak gitu lagi sama aku, ngerti kamu?” Shia turun dan meninggalkan gadis yang tengah shock itu sendiri dalam kegelapan.

Rein memegangi pipinya yang terasa panas.

Dia tidak berhak melakukan ini.

Dengan segera Rein merapikan tasnya, dadanya terasa begitu sesak, kepala nya begitu pening.  Ia melihat sekilas ke pintu aula yang tengah di kunci. Shia berjalan ke arahnya diikuti, Maya, Indra dan dua orang lainnya.  Sedangkan Jed, Nara dan Ratri menghampiri Taft biru milik Jimmy.

Sementara Shia membukakan pintu samping untuk teman temannya. Hati kecil Rein berkata “Kamu gak pantas menerima perlakuan kasar ini Rein, turun dan pulang bersama Jojo adalah jalan terbaik.”

Rein pun memutuskan untuk turun.

“Aku pulang sama Jo.”  Ia  berjalan cepat ke arah Jojo yang tengah membuka pintu mobilnya.

Shia mengikutinya, menangkap tangannya. “Masuk!” perintahnya dingin.

“Kali ini aku gak mau, jangan paksa aku Shi.” Suara Rein bergetar, pipinya masih terasa panas oleh tamparan Shia.

“Reinaka!” seru Shia di keheningan malam.  Rein tak menghiraukan panggilan kesal Shia.

Sementara itu mata semua orang tertuju pada mereka berdua tak terkecuali Jed.  Jed terlihat khawatir, ia tahu ada yang salah dengan Rein dan Shia. 

Jojo membuka pintu Katana hitamnya dari dalam.

“Gak apa-apa pulang sama aku?” tanya Jojo. Rein mengangguk.

Jojo mengedipkan lampunya ke arah Shia dan melaju ke jalanan yang mulai sepi. Shia melakukan hal yang sama dengan arah berlawanan.

Rein membisu, dadanya masih terasa sesak, Jojo meliriknya, ia tahu ada yang tidak beres dengan sahabatnya itu. Jojo memarkirkan Katana-nya di pinggir jalan. Rein terlihat bingung, ia masih memegangi pipinya.

“Kamu di tampar Shia?”

Dia tahu.

Rein terdiam.

“Rein, bila seseorang telah menggunakan kekerasan dalam suatu hubungan, itu tandanya hubungan tersebut sudah tidak sehat lagi.”

“Aku gak tahu Jo, akhir akhir ini dia mudah tersulut emosi, marah-marah gak jelas.”

Jojo terdiam lalu memegang pundak Rein.

“Cepat atau lambat, kamu harus mengakhirinya.  Bila tidak, kamu sendiri yang bakal tersiksa, demi apa? Demi cinta? Gak ada cinta yang seperti itu, cinta itu bukan menyakiti.” Jojo memutar kunci kontaknya.

Rein terpekur dengan tatapan kosong ke jalanan yang gelap.  Kini marka jalan tol terlihat bercahaya di timpa sorot lampu Katana Jojo.  Selalu ada cara untuk bersinar dalam kegelapan. Tapi kini kegelapan tengah menghampirinya, apakah akan ada cahaya yang menyinarinya kelak?

***

Hari Senin, seperti tidak terjadi apa apa, pulang kuliah Shia menunggu nya di kantin jurusan dan mengajaknya pergi ke Gramedia. Rein menolak namun Shia memaksa dengan berbagai alasan yang membuat Rein akhirnya mengiyakan. Rein heran dengan tingkah laku Shia yang mendadak manis namun ia simpan keheranannya itu dan memilih untuk diam di sepanjang perjalanan menuju ke tempat yang mereka tuju.

Rein tidak tahu kapan Shia mengambil novel-novel itu dari raknya dan menyerahkannya ke kasir.  Yang ia tahu,  tiba-tiba Shia mengulurkan satu tas plastik yang di dalamnya berisi beberapa buah novel saat mereka tengah berada di dalam angkot.  Apakah ini cara Shia meminta maaf kepadanya dengan membelikannya beberapa novel fiksi yang bahkan genre-nya tidak ia sukai.  Ternyata Shia sama sekali tidak tahu apa-apa tentang dirinya, termasuk genre novel kesukaannya.  Rein tidak membutuhkan novel-novel itu, Rein hanya butuh permintaan maaf meluncur dari bibir pemuda yang telah menyakitinya itu, namun hal itu tak jua muncul.  Mungkin Shia menganggap apa yang di lakukannya adalah hal biasa dan hanya diperlukan beberapa novel untuk mencairkan suasana.  Rein geram, tapi energinya kini seperti hilang entah kemana, Rein malas berdebat dengan Shia.  Shia tidak suka di debat, itu pelajaran yang baru saja ia terima dari orang yang telah dekat dengannya dalam rentang beberapa bulan ini.

***

  * Iri dengki.

** Besar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun