“Tapi aku lihat cara dia memandang, gesturnya, memangnya aku bodoh dan tolol, iya?” Shia mendekatkan wajahnya kepada Rein, ia terlihat begitu marah.
“Mengapa kamu selalu mencurigai aku?”
“Karena aku gak suka kamu bergaul sama orang lain selain aku.” Shia menyipitkan matanya tanda tak suka.
“Aku butuh ruang untuk bernafas, Shi, kita gak bisa kayak gini terus. Setiap kita ketemu, selalu berujung dengan pertengkaran.” Rein berkata dengan suara bergetar, kesal bercampur marah.
“Aku marah karena kamu yang selalu membuat aku marah.”
“Kalau memang begitu, aku minta maaf. Tapi gak ada salahnya buat kamu untuk melihat ke dalam diri kamu sendiri Shi.” Rein merasa terkejut sendiri dengan kalimatnya ini, mengapa ia tiba-tiba bisa begitu serius seperti sekarang.
“Kamu nyuruh aku introspeksi? gak salah?”
“Iya, aku ingin kamu introspeksi lah, ini semua juga buat kebaikan kamu. Kamu itu gak selamanya benar, kamu gak seharusnya membatasi pergaulan aku, kita harus berbaur. Bila kamu terus mengkotaki aku, aku gak tahu sampai kapan aku bisa bertahan sama kamu.”
Tiba-tiba Shia menampar pipi Rein dengan keras yang membuat seluruh tubuh gadis itu mendadak kaku.
“Ngomong apa kamu tadi? Jangan pernah ngomong kayak gitu lagi sama aku, ngerti kamu?” Shia turun dan meninggalkan gadis yang tengah shock itu sendiri dalam kegelapan.
Rein memegangi pipinya yang terasa panas.