“Diantaranya lah.”
“Diantaranya? Jadi ada beberapa?”
Rein mengangguk.
“Menakjubkan.” Jojo tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Gadis yang tengah galau itu pun lalu menceritakan semuanya dengan singkat. Tentang kemarahan Shia, berbaliknya sikap Jed, pertemuan-pertemuannya dengan Jed, kecelakaan Shia dan terakhir tentang perlakuan Shia akhir-akhir ini terhadapnya. Cerita yang harusnya memakan waktu dua kali lebaran itu, dipersingkat menjadi satu buah rangkuman berdurasi 1 X 20 menit saja.
“Ternyata hidup kamu meriah juga ya.” Jojo melirik Rein dengan ujung matanya.
“Hah, meriah? Maksudnya?”
“Iya, meriah, gak banyak loh yang mempunyai kehidupan penuh warna ala fragmen TVRI, kayak hidup kamu itu.”
“Penuh warna? Penuh lara Jo.”
“Ah enggaklah. Rein yang aku kenal itu gak pernah merasa lara, dia selalu menghadapi semuanya dengan senyuman. Aku jadi inget Yoga, dulu waktu ospek gabungan, kamu dimarahin dia habis-habisan. Tapi bukannya sedih, kamu malah senyam-senyum. Padahal omongan si Yoga itu kan pedes banget kayak sambel cuankinya si Jacko.” Jo tergelak.
Rein tersenyum mengingat peristiwa itu. “Ya, gimana aku gak senyam-senyum, di belakang kak Yoga kan ada kamu yang pasang muka aneh, ngejek-ngejekin dia. Tapi akhirnya apes juga sih, musti jalan bebek ngelilingin aula ini.”