Mohon tunggu...
Ika Septi
Ika Septi Mohon Tunggu... Lainnya - Lainnya

Penyuka musik, buku, kuliner, dan film.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Di Penghujung Senja (15)

6 April 2017   16:41 Diperbarui: 24 November 2023   17:46 785
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari Sabtu, minggu kedua, bulan Februari di tahun kabisat saat Dandy mengeluarkan kalimat yang membuat Rein sedikit terkejut.  Ya sedikit, karena bagian terbesar dari cerita itu sudah Rein ketahui dari Dandy sebelumnya.  Cerita tentang orang tua Dandy yang akan segera berpisah

“Terbukti sudah kalau aku adalah anak yang tak dianggap.” kata Dandy pelan. 

Rein urung menggigit sebatang alang-alang yang baru saja ia cabut. Ia menatap wajah sahabatnya yang terlihat kuyu. Rautnya muram, kedua kakinya bersilangan dengan rapi, punggungnya bersandar lemas di tembok, tak ada seringaian khasnya.

“Sudah selesai?”  

Dandy mengangguk. “Yap, bagusnya aku gak akan pernah lihat mereka bertengkar lagi dan menyalahkan keberadaanku yang ada di antara mereka selama ini.  Huh, manusia-manusia egois!”

Rein terdiam.

“Kesendirian bukan hal yang mengerikan. Feeling lonely is my middle name. Tapi mengapa kini aku merasa kesendirian ini seakan membunuhku” Dandy berkata lemah.

Dandy adalah anak tunggal.  Sejak bangku SMP ia sudah mendapati bahwa kedua orangtuanya terlalu sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Tak ada pelukan hangat bahkan percakapan pendek pun nyaris tidak pernah mereka lalukan.  Ia menjadi penyendiri dan cenderung anti sosial.

Ayah dan ibunya bekerja, menyerahkan kepengurusan Dandy kepada kakek dan neneknya. Setelah kakeknya meninggal yang kemudian disusul oleh neneknya, Dandy di urus oleh asisten rumah tangga yang kadang berganti-ganti. 

Kesepiannya tidak dapat digantikan oleh apapun bahkan oleh materi yang selalu orangtuanya berikan secara berlimpah.

Rein berkenalan dengan Dandy ketika mereka berada dalam  satu grup yang sama di program penataran P4 pola 45 jam untuk para mahasiswa baru.  

Dandy begitu pendiam.  Pertama kali Rein melihat wajahnya, ia merasa ada kekuatan aneh yang membuatnya sering berlama-lama memperhatikan gerak-gerik pemuda itu.  

Dia sangat misterius, batinnya.  Tatapan nya tajam tapi suram. Dandy tidak pernah terlihat tersenyum kepada siapa pun itulah yang membuat Rein menjadi tertarik untuk lebih mengenalnya.

Bila jam istirahat tiba, Rein tidak pernah melihatnya.  Ia seakan hilang ditelan dunia, entah pergi kemana. Tapi siang itu Rein melihat Dandy sedang menikmati makan siangnya di kantin dan seperti biasa, sendiri. 

Rein mengangkat piringnya cepat dan beranjak menuju meja Dandy sementara teman-temannya memperhatikannya dengan penasaran.

“Hei, disini kosong?” Rein meletakkan piringnya pelan.

Dandy terlihat kebingungan, ia menatap Rein seakan tak percaya dan masih membisu.

“Aku boleh duduk di sini kan?”

Dandy celingukan lalu mengangguk.

Dengan santai Rein memakan nasi gorengnya. Sesekali matanya melirik ke arah Dandy yang masih saja diam.

“Kamu Dandy, kan?” Rein menatap pemuda di hadapannya.

Dandy mengangguk.

“Kamu satu jurusan dengan Yuni Sekar ya?”

Dandy mengangguk lagi.

“Suka dengerin siapa?” Rein menunjuk walkman Sony yang tergeletak di samping piring yang isinya tinggal beberapa suap saja.

Dandy mengambil walkman berwarna hitam dan abu-abu itu lalu membukanya dan mengulurkan sebuah kaset yang ia ambil dari dalam walkmannya lalu menyerahkannya kepada Rein.

“Mmmh Ramones, Johny, Dee Dee, Joey, Tommy lalu Marky, I  … Believe in Miracles.” Rein menyenandungkan lagu milik The Ramones dengan mulut penuh nasi.

Dandy terkejut, otot wajahnya yang tadi menegang kini terlihat sedikit mengendur.

“Aku gak begitu tahu tentang musik punk, paling cuma Ramones dengan Greenday doang.” Rein tertawa, membuat beberapa butiran nasi yang ia kunyah berloncatan dari mulutnya tak tentu arah.

Dandy tersenyum sekilas. “Memangnya kamu suka dengerin apa?”

Rein terkejut karena akhirnya ia mendengarkan suara Dandy untuk pertama kalinya.

“Eeh, Pearl Jam.” Rein tergagap.

“Cuma itu?”

“Smashing Pumpkins, Silverchair, Stone Temple Pilots, Live, Alanis, Alice in Chains, Soundgarden,  dengan RHCP.”

“Nirvana?”  Dandy menghirup teh botolnya pelan.

“Mmm yaaa ... enggaak.”

“Loh grunge kok tanpa Nirvana?”  Dandy mengerutkan keningnya.

“Gak terlalu suka.” Rein menyeringai

“Kenapa ?” Dandy kini mulai tertarik dengan obrolannya dengan gadis yang piringnya sudah terlihat licin itu.

“Ibuku gak suka suaranya Kurt Cobain?”

“Hah?” Dandy terkejut ketika Rein mengucapkan kalimat itu.

“Jangan sambil melotot gitu dong, Dan.”

“Ibu kamu suka dengerin musik cadas juga?”

“Gak lah.  Ibuku pernah bilang, kalau vokalis Nirvana itu nyanyinya kayak tertekan banget, suaranya maksudnya. Dia bilang gitu setiap kakakku pasang lagunya keras-keras, lalu protes panjang pendek, lama-lama kok apa yang ibuku rasakan nular ke aku.” Rein tertawa.

“Tapi menurutku, Nirvana itu top banget secara lirik dan melodi. Hanya itu semua gak bikin hati aku bergetar aja,” lanjut Rein mantap.

“Hmm dalem ya.” Dandy menyeringai, Rein tersipu.

Dandy mengangguk-anggukan kepalanya. la mengulurkan satu buah kaset yang ia ambil dari tas gendongnya ke hadapan Rein.

“Mereka keren, dengerin deh, mungkin bisa bikin kamu suka dengan punk.”

“Beneran nih?” Rein memandangi kaset yang ternyata adalah album dari Sex Pistol itu.

“Pulangin dengan selamat ya.” Itulah saat pertama kali Rein melihat Dandy tersenyum lebar padanya.

***

Rein kembali melihat wajah Dandy yang muram. Kilasan pikirannya yang tadi mengembara kini kembali pada sosok pemuda berambut cepak nyaris botak yang berada di sampingnya.

“Yuk.” Ajak Rein tiba-tiba sambil menarik lengan Dandy.

“Kemana?” Dandy terlihat bingung.

“Kemana-mana.”

Rein menyeret Dandy, berjalan keluar ke arah gerbang depan, tersaruk di jalanan yang menurun lalu berhenti di sebuah sungai kecil.

“Mau ngapain? Kamu gak bakalan nyuruh aku menghanyutkan diri, kan?” Ada nada khawatir di suara Dandy.

“Haduuh Dandy, mana bisa arus segini ngehanyutin badan kamu yang segede itu.” Rein melepas sneakersnya dan menaikkan celana jeans-nya lalu turun ke dalam sungai kecil yang airnya jernih itu.

“Hayuuk, adem disini.”

“Itu kan air kotor.”

“Masa anak punk takut dengan yang kotor-kotor, gak level ah.” Rein berjalan hilir mudik di dalam sungai kecil berbatu itu, menghentak-hentakkan kakinya, menendang-nendang air ke arah Dandy.

“Yaaa, whatever-lah, I am in.” Dandy mengikuti apa yang Rein lakukan sebelumnya.

Mereka tertawa bak anak kecil yang sedang bermain air.  Berkecipakan ala katak-katak yang sedang gembira menemukan kolam airnya yang terisi penuh.  Otot wajah Dandy kini terlihat mengendur, bahasa tubuhnya kini nampak lebih santai.

“Ini untungnya kita kuliah di tempat yang jauh dari peradaban ya, masih ada yang kayak ginian.” Mereka duduk di sebuah batu besar di pinggiran sungai itu.

“Iya, ada sungai kecil, pohon-pohon yang rimbun, rumput gajah, alang-alang, pohon bambu, pohon pisang, sampai kebun ketela pohon.” Dandy menggoyang goyangkan kakinya.

“Burung-burung masih mau berkicau, suara tonggeret masih terdengar, ada bunglon, kadal, dan mungkin sekawanan ular yang sedang bersenda-gurau.” Rein melanjutkan apa yang dikatakan Dandy sambil menunjuk semak-semak di dekat mereka.

What a wonderful world.” Dandy bergumam.

I see trees of green,  red roses too, I see them bloom for me and you.” Rein menyenandungkan lagu lama milik Louis Amstrong dengan khidmat.

And I think to my self what a wonderful world.” Dandy melanjutkan lirik yang Rein nyanyikan diakhiri dengan tawanya yang terputus-putus.

Setelah mereka puas berkecipakan di dalam air, mereka mulai berdiam menikmati semua pemandangan yang terhampar di hadapan mereka. 

Mereka pun dapat merasakan embusan angin yang masuk ke dalam pori-pori kulit kaki mereka yang basah.  

Dandy memejamkan matanya, kakinya masih berada di dalam air sementara Rein menatap sahabatnya itu. Setelah mengenal  Dandy, semua praduga di pikiran Rein sebelumnya tentang pemuda itu terhapus sudah.  

Dandy tidaklah se-misterius dan se-anti sosial seperti yang pernah terpikirkan olehnya. Dandy adalah teman yang baik, hangat, dan penuh perhatian walaupun kadang-kadang kekerasan kepalanya seringkali membuat Rein muntab.

Tak terasa perut Rein berbunyi mesra, memberi sinyal kepada pemiliknya untuk segera di isi.  Lalu mereka pun berjalan beriringan, sambil menenteng sepatu mereka masing-masing dengan celana jeans yang masih digulung.  Bertelanjang kaki menyusuri jalanan aspal yang agak panas dengan berjingkat-jingkat. 

“Itu Si Jacko, Dan, yuk kita samperin.” Rein berjingkrakan bagai bertemu artis pujaannya.

Jacko merupakan nama panggilan seorang pedagang cuanki di kampus mereka. Anak-anak kampus memanggilnya demikian karena penampakannya yang bagai pinang di belah kampak dengan MJ, Marry Jane? bukan lah Michael Jackson, sang King of Pop.

Kini Rein dan Dandy sudah asik-mahsyuk menikmati isi dari mangkok bergambar ayam jago yang sangat khas itu. Hangat suam-suam kuku di antara perut yang keroncongan, ah, Sundari Soekotjo sekali.

“Kamu tahu gak kenapa makanan ini di sebut cuanki?” Dandy memasukkan segumpal siomay yang telah lembek karena terlalu lama terendam air panas ke dalam mulutnya yang terbuka lebar bak mulut kuda nil yang sedang kepanasan di kebun binatang.

“Mmmm, mungkin merunut dari daerah asalnya,” jawab Rein asal.  Tangannya  sibuk membelah baso yang berlarian ke sana-kemari.  Bila mangkok itu lapangan Saparua, sepertinya baso yang membandel tadi sudah mengelilingi lapangan sebanyak dua kali dan meleburkan beberapa kilo kalori tubuhnya.

“Memangnya dari daerah mana?” Mulut Dandy kini dipenuhi dengan baso yang  ingin ia telan bulat-bulat.

“Dari China atau  Hongkong,  itu kan bahasa mandarin.”

“Bahasa mandarin dari Hongkong,” ejek Dandy, kini wajahnya merah padam. Ingusnya berlomba-lomba ingin segera keluar dari hidungnya yang kembang kempis. Sambal itu menyiksanya,  ia merasa bagai berada di neraka lapisan terdalam, mencoba meyakinkan sang penjaga neraka bahwa ia telah menyadari kesalahan dan dosa-dosanya.

“Lha kan memang salah-satunya dipakai di Hongkong Bahasa Mandarin itu, betul gak?”

“Maksudku, memangnya tau dari mana cuanki itu diambil dari bahasa mandarin.”

“Ya dari singkatannya, cuanki itu terdiri dari dua kata yaitu cuan dan hoki, dimana cuan itu artinya untung, hoki itu artinya keberuntungan. Jadi baso cuanki itu artinya untung yang beruntung eh itu mah sodaranya si Donal Bebek yah.  Ya pokoknya artinya gak jauh dari keberuntungan deh, jual baso demi untung karena beruntung, nah itu kesimpulannya.”

“Mmmh bisa juga sih. Tapi kata Si Beni nih, cuanki itu asalnya dari singkatan cari uang jalan kaki.  Tukang baso yang jualannya dengan cara berjalan kaki.  Jadi pada jaman dahulu kala, di tatar parahyangan ini ada mamang-mamang yang suka jualan baso minimalis kayak gini nih dengan cara di tanggung dan jalan kaki berkilometer jauhnya. Nah dari situ lah orang-orang mulai menjuluki si mamang ini dengan nama tukang baso cuanki. Mungkin dulu ada salah satu pembeli yang hobi banget dengan singkatan-singkatan ya.”

“Oh gitu ya. Iya sih orang Bandung kan hobi banget bikin singkatan. Misalnya batagor alias baso tahu goreng, comro oncom di jero, misro amis di jero, gehu toge tahu, colenak dicocol enak sampe hardolin dahar m*d*l ulin.”

Dandy tertawa. “Gila, hardolin di barisin dengan makanan, dasar aneh!” Dandy menyeka keringat di dahinya dengan lengan kemeja flanelnya.

“Ya itu kan contoh,  jangan diambil hati dong, Dan, nanti hati kamu jadi dobel kayak hati ayam.”  Dandy tergelak dan mendorong bahu Rein dengan keras.

Setelah mereka membabat habis cuanki yang ada di mangkok mereka masing-masing, kini mereka duduk bersandar di sebuah pohon besar yang berdiri di pinggir lapangan sepakbola diantara tiupan angin semilir.

“Kalau kenyang,  jadi ngantuk gini ya.” Dandy menguap lebar.

“Kalau aku jadi bodo,” kata Rein cepat.

“Kok bisa? Teori dari mana?”

“Teori dari hasil semedi di bawah pohon tomat. Kalau perut udah kenyang itu jadi males mikir, gak kreatif, ujung-ujungnya ya jadi bodo.” Rein meringis.

“Iya juga sih, dilema perut kenyang.” Dandy tertawa lebar.

Angin sepoi-sepoi menggoyangkan rerumputan tinggi di seberang lapangan sepak bola.  Matanya kini asik memperhatikan tangan Rein yang tengah melipat kertas yang ia ambil dari bindernya.

“Bikin apa?” Dandy penasaran dengan apa yang Rein lakukan.

“Pesawat.”

“Pesawat?”

“Lihat nih.”  Rein melayangkan pesawat kertasnya menuju ke lapangan sepakbola yang kosong.

Dandy memperhatikan Rein yang sedang berlarian mengambil dan melayangkan kembali pesawat kertas sederhananya. Dandy tersenyum, kini di tangannya ada pesawat miliknya sendiri.

“Ini punyaku, keren kan, F16.” Dandy mengacungkan pesawat kertasnya bangga.

“Keren apaan.”

“Keren dong, ini pesawat tempur multi peran buatan Lockheed Corporation, nih kursi pilotnya di rancang khusus buat mengurangi efek gaya gravitasi, terus tutup kokpitnya gak pake bingkai.”

“Biar apa tuh gak di bingkai-in, gak takut apa potonya bakal kabur-kaburan.” Rein memotong.

“Ye memangnya pigura foto, ya supaya jarak pandang pilot nya luas dan jelas. Terus gagang pengendalinya di samping bukan di tengah, supaya pilotnya mudah mengontrol pesawat pada saat melaju pada kecepatan tinggi.”

“Widih kita punya nih yang kayak gituan?”

“TNI? Punya lah, F 16 blok A/B Fighting Falcon.” Dandy mengelus pesawat kertasnya

“Wow keren euy. Nih kalo punya aku nih, pesawat tempur buatan dalam negeri, buatan IPTN.”

“Sejak kapan IPTN bikin pesawat tempur?”

“Memangnya mereka gak bikin ya?” Rein nyengir.

“IPTN itu baru produksi pesawat penumpang yang judulnya CN 235, terus  bikin helikopter juga sih tapi itu juga lisensian dari Amerika, Perancis, dan Jerman.”

“Oh, kok kamu tahu?”

“Bokapnya Si Beni kan kerja di IPTN.”

Rein manggut-manggut. “Kalau gitu, pesawat ku ini bikinan Uni Soviet deh, blok kiri, komunis, sontrek nya Wind of Change” Rein menyanyikan lagu milik Scorpion yang sangat terkenal seantero jagat raya sambil melambai-lambaikan pesawat kertasnya.

“Uni soviet? Rusia kali!”

“Memangnya sudah pecah?”

“Yaeyalah, lah itu lagunya yang kamu nyanyiin barusan.”

“Oh noraknya aku, jarang lihat dunia dalam berita juga sih.  Jadi pesawatku ini namanya apa?”  Rein mengelus sayap pesawat kertasnya.

“Mig 19.”

“Apa hebatnya? Gak ada yang lebih keren apa namanya kayak misalnya Leninguard 70 misalnya.”

“Kepanjangan, Mig 19, pesawat supersonik tuh.”

“Oke lah, mari kita berlomba, F16 versus Mig 19.”

“Siapa takut.”

Mereka pun lalu melemparkan pesawat kertas mereka masing-masing untuk dilihat seberapa jauh jangkauannya, berlarian bak anak kecil, melupakan semua kemuraman dan kesedihan untuk sementara.

“Rein, thanks ya.” Dandy memainkan gelang spikenya, sementara pesawat kertas mereka tiarap di tanah lapang nan berdebu.

“Untuk apa?” Rein mengerutkan dahinya.

“Untuk hari ini, pesawat kertas itu telah membuatku mengerti bahwa walaupun ia rapuh, ia dapat terbang tinggi dan bertahan di antara hembusan angin kencang.  Rein, kamu adalah teman terbaikku.”

“Dionne Warwick pernah bersabda yang bunyinya, That‘s what friends are for. Jadi gak usah merasa sendiri lagi ya, Dan.” Rein tersenyum dan menyenggol bahu Dandy dengan bahunya.

****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun