"Aku memang jahat, tapi bukankah akan lebih jahat bila aku mematikan harapan seseorang sementara aku lah satu-satunya yang bisa memberi nyawa kepada harapan itu?"
"Kamu tega mempermainkan aku." Suara Lira mulai bergetar menahan tangis.
"Kak Ren sekarat, Ra. Dan dia sudah ada dalam titik tidak ingin melakukan apa-apa lagi, termasuk operasi yang dapat menolong jiwanya,"
"Sampai suatu hari dia melihat kamu." Rhi melirik Lira dari ujung matanya.
"Kamu lah yang membuat semangatnya kembali membuncah, dia seakan memiliki energi baru. Dia berubah pikiran dalam sekejap, dia ingin hidup, dia mau melakukan operasi itu. Dan aku sangat bersyukur sekali dengan keputusannya Walaupun di sisi lain hatiku tercerabik."
"Mengapa kamu tidak menceritakannya semua ini kepadaku? Mengapa kamu pergi begitu saja. Hati kamu itu terbuat dari apa? Kamu tidak tahu bagaimana perasaan ku?"
Rhi menunduk dalam. "Apa yang kamu rasakan, aku rasakan juga Ra, bahkan mungkin lebih pedih dari yang kamu rasakan. Kamu tahu, aku selalu melihat kamu di luar sana. Bicara, tersenyum, dan tertawa. Terkadang aku ingin melompat keluar untuk menemui kamu, namun itu tidak mungkin."
"Kamu memata-matai aku?"
"Aku harus menjaga kakak"
"Mengapa kamu melakukan ini semua? Pergi secara tiba-tiba. Aku tidak tahu harus mencarimu ke mana." Lira menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
"Aku harus melakukan ini, Ra. Tak ada jalan lain. Aku pikir akan lebih mudah melupakan bila aku lenyap dari pandanganmu, biarlah aku saja yang merasa tersiksa. Kak Ren menyayangi kamu, Ra. Kamu lah cahaya dalam hidupnya."