MULUT
Cerpen Iis WiatiK Â
Sejak mulutnya sakit, nyi Imah jarang terlihat ke luar rumah. Sebuah bisul berdiameter satu sentimeter merusak penampilannya. Begitu juga dengan Darmi, istrinya Darma. Penyakitnya lebih parah lagi. Dari ujung lidah hingga seluruh rongga mulutnya terkena sariawan yang cukup serius. Tak pelak lagi, penderitaan yang sama dialami ceu Isah. Sudah dua hari ini gusinya sakit dan merambat ke gigi gerahamnya sehingga tidak bisa lagi berbicara. Ketiga perempuan ini kebetulan bertemu di puskesmas. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut mereka. Tak seperti biasa. Kali ini detik dihias dengan diam seribu bahasa. Hanya mata mereka saling mengumbar kejengkelan. Mengapa penyakit mulut mendiamkan segalanya. Â
Dalam sejarahnya, nyi Imah tak pernah mengalami sakit bisul. Bahkan dia pernah bersumpah tak mau menderita bisul setelah melihat suaminya menderita bisul tepat di ketiak kiri dan selangkangannya. Otomatis, kalau suaminya berjalan, meski sekedar ke kamar mandi, dia mirip topeng monyet.
"Menertawakanku ya?" bentak suaminya sambil tertatih-tatih membetulkan sarung.
"Mana mungkin, Kang. Di mana-mana juga istri itu menolong dan membantu suami kalau dia sakit."
"Itu mulut kamu. Akang juga mengerti."
"Akang jangan berprasangka buruk dulu. Kaya si Darmi saja."
"Darmi siapa?"
Nyi Imah membantu meletakkan suaminya ke tempat tidur. Lalu mengipasinya. Udara memang panas sekarang.
"Tuh Kang, kata saya juga apa, beli kipas angin, dong. Kan saya tidak usah repot-repot ngipasi bisul Akang."
"Sudah, sudah, ngipasi suami juga ibadah. Ayo teruskan soal Darmi tadi. Darmi tetangga kita?"
"Iya, siapa lagi?"
"Memangnya ada apa lagi dengan dia?"
"Kang, masa dia bilang, tembok kita ini makan tanahnya dia."
"Siapa yang bilang begitu? Kan dulu sudah sepakat, tembok bagian depan itu akan kita bongkar bersama-sama. Maksudnya tembok yang mana? Yang belakang juga kita sudah bangun tembok sendiri. Ada-ada saja."
"Tuh, tetangganya yang depan rumah dia, Isah."
"Mbak Isah bilang begitu?" suaminya kaget.
"Bukan Isah langsung yang ngomong."
"Terus siapa?"
"Teh Gigin yang bilang, katanya mbak Isah, Darmi itu marah besar sama kita. Ini juga kata teh Gigin. Yang lebih menyakitkan, ceu Isah bilang begini, hih, buat apa beli Tivi baru kalau dinding orang diembat juga..."
"Ada-ada saja. Marah gimana, buktinya di depan kita dia tidak apa-apa."
"Itulah persoalannya, Kang. Kalau di depan mereka pura-pura manis, tapi kalau di belakang, kita diomongin. Kan tidak enak, Kang."
"Begini saja, nanti Akang akan ke sana. Bertemu suaminya."
"Tidak usah, nanti jadi merembet ke urusan laki-laki. Lebih baik Imah yang ke sana."
Begitulah kehidupan masyarakat komplek. Satu dinding menjadi milik bersama antartetangga. Kalau dinding yang satu menambah ukuran rumah, nisaya dinding yang lain terganggu. Dan jika satu centimeter saja tembok tambahan itu bergeser ke dinding yang lainnya, maka istilah mencuri tanah kontan disebut.
Malamnya nyi Imah mendatangi rumah tetangganya itu. Darmi memang sedikit  berbeda. Padahal biasanya mereka sangat dekat. Dalam urusan apa pun mereka selalu berbicara. Pembicaraan pun dimulai. Imah hendak mengklarifikasi.
"Lho, siapa yang marah besar? Waktu itu saya cuma nanya, kalau dinding sudah ditembok model gitu bisa dibongkar atau tidak. Ternyata katanya tidak bisa."
"Kata siapa? Buktinya tukang bangunan saya bisa."
"Ya sudahlah. Persoalan itu bisa diselesaikan."
"Bukannya dari dulu juga sudah diselesaikan, sudah dibicarakan, bahkan ceu Darmi sudah lihat sendiri tembok saya. Kenapa ceritanya jadi lain, malah bicara sama orang lain yang tidak mengerti persoalannya. Demi Tuhan, buat apa saya makan tembok orang. Rugi dunia akherat yang ada." Nyi Imah ingin menangis.
Meski dengan menangis, tapi hati menjadi lega. Sulit ternyata hidup bertetangga. Setelah kejadian ini, nyi Imah jadi malas keluar untuk sekedar ngobrol-ngobrol. Atau seperti biasanya bergosip dengan tetangga, terutama dengan Darmi itu. Paling banter nyi Imah ngobrol dengan teh Gigin.
"Gimana urusannya? Sudah beres? Saya sih maunya tetangga kita tidak ribut, apalagi urusan tanah begitu. Jangan sampai teh Imah diomongin. Saya bosan mendengarnya."
"Memang saya suka diomongin?"
"Ya, saya sih tidak akan percaya begitu saja, namanya juga omongan."
"Siapa yang ngomongin saya, teh?"
"Ya, ada. Buat apa diceritakan. Nanti malah jadi perang. Namanya hidup bertetangga. Tidak bisa jaga-jaga mulut, jadi bencana."
"Kok begitu ya? Padahal kan yang saya tahu, kita ini bertetangga sudah lama. Sudah kompak, sudak dekat, bahkan saya berpikir, tidak ada gang yang paling kompak selain gang kita. Kok malah saling ngomongin?"
"Itu dia, namanya juga manusia. Masih ingat kan cerita tentang pertengkaran ceu Darmi sama tetangga saya? Kalau mulut saya ini ember. Mereka sudah habis saling bunuh. Omongan mereka itu loh. Dua-duanya sampai ke saya. Untung saya tidak niat menyampaikan. Berbeda dengan persoalan teh Imah. Persoalan teh Imah kan urusannya berat karena berhubungan dengan tanah."
"Lho, mereka kan sudah baikan sekarang. Ya baikan, di luarnya. Dalamnya, tidak tahu."
"Kok begitu ya. Saya masih ingat, ketika mereka makan rujak satu piring. Terus mulutnya tidak berhenti membicarakan tetangga jauh yang juga musuhnya ceu Darmi. Terus mereka jalan-jalan bareng nonton panggung dangdut dan bernyanyi-nyanyi di mobil sambil tertawa-tawa. Kadang ceu Darmi juga membaca quran di pengajian bareng dia."
"Ya manusia namanya."
"Saya sih heran saja, ternyata di lingkungan kita ini punya penyakit agak parah. Yaitu baik-baik di depan, tapi di belakang membicarakan. Kalau saya yang dibicarakan sih mending. Memang saya begini keadaannya. Tapi kalau Bu Ahmad yang dibicarakan itu aneh. Bu Ahmad kan orang yang baik."
"Siapa yang membicarakan bu Ahmad?"
"Saya tidak mau sebut namanya."
Teh Gigin penasaran, "Ngomongin apa? Memangnya bu Ahmad diomongin apa?"
"Nggak apa."
"Wah, main rahasia nih..."
"Kalau diomongin, nanti sampai ke kuping bu Ahmad, kan gawat. Sudahlah lupakan. Saya hanya mengambil pelajaran. Ternyata, tetangga kita itu hanya baik-baik di depan, di belakang ngomongin juga."
"Iya, tapi ngomongin apa? Memangga saya mau nyampein ke bu Ahmad? Ya tidak mungkin, lah."
Â
Sore itu nyi Imah baru saja mengantarkan anaknya mengaji. Tiba-tiba dia bertemu dengan ceu Darmi. Ceu Darmi langsung mendekatinya.
"Nyi Imah, emang nyi Imah nyampaikan lagi sama bu Ahmad tentang yang saya ceritakan? Ngapain disampaikan?"
Nyi Imah tersentak.
"Tadi bu Ahmad negur saya. Kan saya jadi tidak enak."
Nyi Imah makin bingung.
"Sebaiknya Nyi Imah terus terang. Kenapa mesti diomongin lagi?"
"Saya tidak merasa menyampaikan ke bu Ahmad."
"Ke siapa pun orangnya, yang jelas kan sampai ke kuping bu Ahmad. Saya sih tidak enak saja sama bu Siti, karena sebenarnya dia yang membicarakan bu Ahmad seperti itu."
"Bu Siti? Bukannya bu Siti itu yang suka nitipin anaknya ke bu Ahmad, mentang-mentang bu Ahmad jauh dari cucu?"
"Justru itu, kenapa mesti disampaikan lagi? Dia jadi tidak berani lagi nitipin si Ujang."
Nyi Imah tersenyum sinis, "Makanya, saya itu bicara karena kesel, saya sendiri diomongin. Saya hanya bilang, ternyata hidup bertetangga kita ini pada sakit. Di luaran kaya baik-baik. Makan bersama, ngobrol setiap hari tidak ada habisnya, tapi di belakang saling membicarakan. Mending kalau omongannya bener. Kalau salah kan jadi fitnah. Saya hanya kasih contoh saja tentang bu Ahmad."
"Tapi kan saya tidak bilang begitu. Yang bilang begitu kan tetangga dekat teh Gigin, bu Siti itu."
"Ya sudah, bilang saja kalau yang bilang itu dia."
"Ya tidak mungkinlah."
"Kalau tidak mungkin, biar saya yang bilang. Biar semua beres."
"Jangan dong Nyi. Suka aneh-aneh saja. Kan kasihan sama dia. Mana dia suka titip bayar listrik juga ke bu Ahmad."
"Itu dia, sudah tahu bu Ahmad itu baik. Malah suka rela sering ngasuh anaknya.. diomongin juga. Fitnah lagi."
"Mungkin juga fitnah, tapi saya yakin kok kalau omongannya dia itu benar. Kan tidak ada asap tanpa api."
Nyi Imah mendengus. Menggaruk bibirnya yang mulai gatal.
"Sebenarnya namanya juga hidup bertetangga. Pasti budaya saling membicarakan itu ada. Apa nyi Imah tidak sadar suka ngomongin orang juga? Kalau saya sampaikan sama orangnya sudah pasti nyi Imah juga kena. Jangan maunya enak sendiri dong. Coba saja, nyi Imah pernah ngomongin mama Ilham, bu Sisi, banyak kan yang diomongin?"
"Ya, kalau mau silakan saja sampaikan. Saya dari dulu juga sebenarnya tidak suka menggosip, membicarakan orang lain, tapi sejak bertetangga di sini, jadi kena virus yang entah dari mana asalnya." Nyi Imah benar-benar kesal.
Dari dalam rumahnya Isah mengintip pembicaraan sore itu. Kentara sekali bibirnya ngdumel. "Tuh kan, tahu rasa. Dasar orang licik, tembok orang diembat juga. Belum tahu ya rasanya nggak punya teman."
"Siapa Bu?" suami Isah mendekat ke kaca.
"Tuh orang yang baru beli Tivi. Amit-amit beli tivi juga percuma kalau dinding orang disabot. Seneng ngeledek lagi."
"Siapa yang ngeledek, Bu?"
"Siapa lagi kalau bukan orang yang baru beli tivi baru itu. Masa dia pake nanya, Bu, tivinya sudah diambil? Mentang-mentang dia mau beli tivi baru rupanya?"
"Kapan dia bilang begitu?"
"Dulu, waktu Mas beli lemari."
"Memangnya dia nanya begitu?"
"Ya iyalah mas, masa saya bohong. Mentang-mentang tivi kita ini kecil."
"Mungkin dia bercanda."
"Terang dia serius."
"Waktu itu emas memang bilang sama suaminya, kalau emas ini mau beli tivi baru. Bahkan di toko yang sama dengan tivi yang dibeli suaminya Nyi Imah."
"Ah, saya tidak peduli, pokoknya omongannya membuatku kesal." Isah keluar rumah untuk mengambil jemuran. Di luar Darmi masih berdiri berhadapan dengan nyi Imah.
"Sore Bu, nggak jalan-jalan?" sapa Isah ramah pada Imah dan Darmi. Tak sedikit pun memperlihatkan rasa kesal.
"Mau hujan nih Bu." Ujar Darmi, "Paling sebentar lagi mau ke dokter lagi nunggu Bapaknya."
"Memangnya ceu Darmi kenapa?"
"Agak sakit tenggorokan. Kayaknya mau sariawan."
"Wah mirip-mirip dengan saya dong, Bu. Saya agak sakit gigi nih. Kayaknya gusi saya mulai bengkak."
"Cepat-cepat lah ke dokter," Nyi Imah pendek
"Iya nih mau. Tadinya sih mau ke puskesmas saja. Tapi kan semua tahu obat puskesmas itu tidak bagus. Masa obat pusing sama dengan obat sakit perut, bahkan sama dengan obat bisulan."
"Sama, suami saya juga paling tidak setuju kalau saya dan anak-anak berobat ke puskesmas, katanya pelayanannya kurang baik. Mana dokter praktiknya jarang datang, lagi," Isah menimpali.
Nyi Imah menelan ludah. Di antara mereka, memang keluarganya yang suka berobat ke puskesmas. Dia mengangkat bahu lalu balik arah, "Ibu-ibu, saya masuk dulu. Suami sebentar lagi pulang."
Tidak ada yang menyahut.
Kepergian Nyi Imah diikuti Darmi ke dalam rumah. Setelah itu Isah juga masuk membawa jemurannya yang sudah mendingin lagi.
Sejak itu, nyi Imah benar-benar jarang ke luar. Mulutnya mulai terasa gatal dan membengkak.
"Bu, besok pagi ke puskesmas saja."
"Iya."
Besoknya. Nyi Imah sudah pergi ke puskesmas. Usai mengeluarkan uang tiga ribu untuk daftar, dia melihat dua sosok tetangganya ikut antre di loket pembayaran. Isah dan Darmi. Tak ada kata yang keluar dari mulut mereka. Sebuah tisu menutupi mulut nyi Imah yang memerah, begitu juga dengan mulut kedua tetangga itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H