"Ada-ada saja. Marah gimana, buktinya di depan kita dia tidak apa-apa."
"Itulah persoalannya, Kang. Kalau di depan mereka pura-pura manis, tapi kalau di belakang, kita diomongin. Kan tidak enak, Kang."
"Begini saja, nanti Akang akan ke sana. Bertemu suaminya."
"Tidak usah, nanti jadi merembet ke urusan laki-laki. Lebih baik Imah yang ke sana."
Begitulah kehidupan masyarakat komplek. Satu dinding menjadi milik bersama antartetangga. Kalau dinding yang satu menambah ukuran rumah, nisaya dinding yang lain terganggu. Dan jika satu centimeter saja tembok tambahan itu bergeser ke dinding yang lainnya, maka istilah mencuri tanah kontan disebut.
Malamnya nyi Imah mendatangi rumah tetangganya itu. Darmi memang sedikit  berbeda. Padahal biasanya mereka sangat dekat. Dalam urusan apa pun mereka selalu berbicara. Pembicaraan pun dimulai. Imah hendak mengklarifikasi.
"Lho, siapa yang marah besar? Waktu itu saya cuma nanya, kalau dinding sudah ditembok model gitu bisa dibongkar atau tidak. Ternyata katanya tidak bisa."
"Kata siapa? Buktinya tukang bangunan saya bisa."
"Ya sudahlah. Persoalan itu bisa diselesaikan."
"Bukannya dari dulu juga sudah diselesaikan, sudah dibicarakan, bahkan ceu Darmi sudah lihat sendiri tembok saya. Kenapa ceritanya jadi lain, malah bicara sama orang lain yang tidak mengerti persoalannya. Demi Tuhan, buat apa saya makan tembok orang. Rugi dunia akherat yang ada." Nyi Imah ingin menangis.
Meski dengan menangis, tapi hati menjadi lega. Sulit ternyata hidup bertetangga. Setelah kejadian ini, nyi Imah jadi malas keluar untuk sekedar ngobrol-ngobrol. Atau seperti biasanya bergosip dengan tetangga, terutama dengan Darmi itu. Paling banter nyi Imah ngobrol dengan teh Gigin.