"Kalau tidak mungkin, biar saya yang bilang. Biar semua beres."
"Jangan dong Nyi. Suka aneh-aneh saja. Kan kasihan sama dia. Mana dia suka titip bayar listrik juga ke bu Ahmad."
"Itu dia, sudah tahu bu Ahmad itu baik. Malah suka rela sering ngasuh anaknya.. diomongin juga. Fitnah lagi."
"Mungkin juga fitnah, tapi saya yakin kok kalau omongannya dia itu benar. Kan tidak ada asap tanpa api."
Nyi Imah mendengus. Menggaruk bibirnya yang mulai gatal.
"Sebenarnya namanya juga hidup bertetangga. Pasti budaya saling membicarakan itu ada. Apa nyi Imah tidak sadar suka ngomongin orang juga? Kalau saya sampaikan sama orangnya sudah pasti nyi Imah juga kena. Jangan maunya enak sendiri dong. Coba saja, nyi Imah pernah ngomongin mama Ilham, bu Sisi, banyak kan yang diomongin?"
"Ya, kalau mau silakan saja sampaikan. Saya dari dulu juga sebenarnya tidak suka menggosip, membicarakan orang lain, tapi sejak bertetangga di sini, jadi kena virus yang entah dari mana asalnya." Nyi Imah benar-benar kesal.
Dari dalam rumahnya Isah mengintip pembicaraan sore itu. Kentara sekali bibirnya ngdumel. "Tuh kan, tahu rasa. Dasar orang licik, tembok orang diembat juga. Belum tahu ya rasanya nggak punya teman."
"Siapa Bu?" suami Isah mendekat ke kaca.
"Tuh orang yang baru beli Tivi. Amit-amit beli tivi juga percuma kalau dinding orang disabot. Seneng ngeledek lagi."
"Siapa yang ngeledek, Bu?"