Minggu depannya, hari Selasa 13 Septemper 11. Raito seperti biasa, bangun saat mentari belum menunjukkan cahayanya. Pukul 04.00 dia bangun. Dia keluar kamarnya dan menutup pintu secara perlahan. Lalu dengan langkah kaki mengendap-endap menuju kamar Olan yang bersebelahan di sebelah kanan kamar Raito, membuka pintunya yang ternyata tak terkunci secara perlahan pula. Raito sekarang sudah berada di samping kasur Olan, memandangi Olan yang masih tidur nyenyak, lalu mendekatkan mulutnya ke kuping kanan Olan dan teriak-teriak disana.
"Bangun woy...bangun!"
Masih berselimut dan mata tertutup tubuh Olan bergerak-gerak dan mulutnya menjawab.
" Berisik ah."
Raito tetap menggoda sohibnya itu agar bangun. Mulai dengan membunyikan alarm jam weker. Olan pun menutup wajahnya dengan bantal. Masih belum bangun juga. Raito tak kehabisan akal, dia menyalakan lampu kamar si Olan. Olan pun menutup matanya dengan selimut.
Merasa apa yang dikerjakannya sia-sia karena Olan tak juga bangun, Raito membiarkan lampu kamar Olan menyala dan pintu terbuka lalu beralih haluan kembali ke kamarnya dan berkaca, membasahi bibirnya yang berukuran sedang itu, menyipitkan matanya yang sudah sipit, mengacak-acak rambutnya yang selalu berdiri walau tak diberi gel itu dan menyalakan komputer. Lalu meneruskan permainan manajer sepakbola favoritnya di hari yang masih pagi itu.
Satu jam berselang, Olan yang sudah bangun dan terlihat segar dengan wajah yang sudah terbasuh air masuk ke kamar Raito, berdiri di belakangnya, menjitak kepala Raito. Raito kaget,
“Eh apa-apaan ini?”
“Sana subuhan dulu.”
Kata Olan dengan sedikit membentak.
“Ya ya.”