Tangan keriput itu meraih gelas berisi kopi hitam dingin yang dibuatnya semalam, lalu menyeruputnya hingga tersisa ampasnya saja sembari menatap ke atas langit dari jendela kamarnya.Â
Mata kirinya sedikit memicing sebagai bentuk proses adaptasi netranya menerima cahaya yang masuk. Sinar matahari yang mulai naik sepenggalah itu kemudian menyalurkan rasa hangat ke wajah tuanya. Namun tidak dengan hatinya. Hatinya dingin. Bahkan mungkin sekerat daging itu telah lama membeku.
Dulu rumah peninggalan orang tuanya ini pernah begitu hidup. Selalu ramai dengan ungkapan kasih kedua orang tuanya dan riuh celoteh keenam adik-adiknya. Kini rumah itu seakan mati. Hanya tersisa ia seorang diri tinggal di rumah itu.Â
Tanpa teman. Seakan dunia membuangnya. Seharusnya di usianya yang memasuki 60 tahun, ia sedang menikmati masa tua bersama istri dan anak-anaknya. Namun hidup tidak selalu sesuai harapan kita.Â
Ada Dzat yang Maha pengatur segalanya. Semua tunduk pada segala ketetapan-Nya tanpa punya kuasa untuk mengubahnya. Nyata bahwa hukum tabur tuai itu benar adanya. Bahkan hal ini termaktub dalam salah satu surat Al Qur'an yaitu Ar Rahman ayat 60, {Tidak ada balasan bagi kebaikan kecuali kebaikan pula}. Pun berlaku sebaliknya.
"Bowo, wes mangan koe?" ("Bowo, kamu sudah makan belum?") Sapa seorang lelaki yang tampak lebih tua darinya dengan membawa keresek hitam di tangan kanannya sementara tangan kirinya menutup hidung karena tak tahan dengan bau pesing di sekitar halaman depan rumah tersebut.
"Hurung, lek." ("Belum, om.") Jawabnya lemah.
"Iki enek panganan seko bulekmu. Dipangan yo. Yowess, aku tak teros yo." ("Ini ada makanan dari bibimu. Dimakan ya. Yaudah, saya langsung pulang ya.")
"Iyo, makasih lek." ("Iya, terima kasih om.")
Keresek hitam telah berpindah dengan sangat cepat ke tangan kurus itu lewat jendela sedangkan sang pemberi sudah buru-buru pergi seolah enggan untuk tinggal beberapa detik lagi.
***
Semesta, 17 Februari 1980
Tubuh tinggi tegap berhidung mancung dan bermata elang itu tengah menampilkan wajah merah padam penuh amarah dengan golok tajam di tangan kanannya. Siap ia ayunkan kapanpun untuk menyabet tubuh di depannya.Â
Tak sedikit pun terbesit rasa takut di hatinya meski di hadapannya kini berdiri bapak kandungnya sendiri. Lelaki yang telah memberi benih sperma dan membesarkannya dengan kecukupan itu justru membuat setan di dalam hatinya makin keras meneriakkan hawa nafsunya.
"Cepet kasih ke aku surat tanah ini atau kau akan kubunuh!" Teriaknya lantang lebih mirip anjing yang menyalak pada tuannya.
"Bowo, istighfar! Iku bapakmu dewe. Moso mbok koe tujah!" ("Bowo, istighfar! Itu bapak kandungmu sendiri. Masa mau kamu bacok juga!") Sang ibu yang berdiri tak jauh di belakang sang suami sambil mengerang dalam tangis.
"Jangan harap kau dapat surat tanah itu sebelum aku matiii!" Jawab tegas sang bapak dengan suara bergetar, menahan gejolak amarah yang sangat.
Suasana di rumah itu menyebarkan ketegangan ke segala penjuru rumah, menampilkan gurat takut pada wajah yang menyaksikannya dibarengi isakan tertahan beberapa orang. Ketiga adik laki-lakinya hanya mengawasi dari kejauhan, bimbang antara maju atau diam saja di tempat. Sementara ketiga adik perempuannya hanya berani mengintip dari balik hordeng kamar mereka tanpa berani keluar.Â
Beberapa tetangga bahkan sudah berkerumun di pinggir jalan menyaksikan keributan yang sudah sangat sering terjadi di rumah itu. Anak lelaki pertama keluarga ini adalah seorang jawara yang kuat secara fisik namun tak punya hati dan hobinya menghambur-hamburkan uang untuk maksiat seperti judi, minum-minuman keras dan pergi ke manapun ia suka.
"Baik, kalau itu mau kau. Sudah tua juga kau, pantaslah untuk mati sekarang!" Langkah kaki Bowo mulai mendekat sambil tangan kanannya semakin kuat menggenggam gagang golok.
"Bowooo! Kurang ajaaaarr kau!" Teriak ibunya histeris.
Tiba-tiba,
Plettaakk
Suara tubuh terjatuh dengan keras dibarengi golok yang terpental ke sudut lantai semen, menimbulkan bunyi riuh yang membuat siapa saja begidik ngeri.
"Hei, kalian jangan diam saja! Bantu saya mengikat Bowo! Cepat ambil tali!" Lantang suara sang ustad berbaju koko putih sambil mengunci kedua tangan sang jawara yang tengah meronta hebat.
"Siapa kau, bajingan? Lepaskaaan aku!"
"Audzubillahiminasyaitonirodziim." Ucap sang ustad hidmat disertai tamparan keras ke wajah Bowo.
"Setaan kau! Lepaskaann aku!" Rontanya makin hebat.
Dibantu oleh tiga laki-laki lain, sang ustad mencoba mengikat kedua tangan dan kaki Bowo namun tak berhasil disebabkan tenaganya yang begitu kuat. Lalu sambil mengucap Basmallah dan memohon perlindungan Sang Khaliq, ustad itu melayangkan lengan atasnya sekuat tenaga ke arah tengkuk Bowo yang membuat seketika tubuh itu tersungkur ke lantai. Tak sadarkan diri.
Melihat itu semua, sang bapak terduduk lemas sambil menangis pilu. Dalam posisi terduduk dengan menunduk dalam dan kedua tangan memegang kedua lutut, tangisnya mengalir deras membuat tubuh ringkih itu bergetar hebat. Kemudian sang istri mendekatinya, mengusap punggungnya sembari ikut menangis di sampingnya.Â
Bukan ketakutan akan dibunuh anak kandung sendiri yang tengah ditangisi oleh si bapak, tetapi tentang pertanggungjawabannya kelak sebagai kepala keluarga. Ia merasa gagal mendidik anak pertamanya. Ia menyesal karena dulu begitu memanjakannya, menuruti segala permintaannya sehingga ia tumbuh menjadi seorang yang egois serta menakutkan.
"Sabar yo, pak'e." Ucap istrinya lembut di sela-sela tangisan.
"Aku hanya takut di hari pembalasan, bu'e. Allah akan menanyaiku bagaimana aku mendidik Bowo sehingga ia menjadi begitu keras hati."
Tanpa kuasa menjawab, suara tangis sang istri justru semakin menyayat mendengar perkataan suaminya. Tangis keduanya membuat hati ngilu bagi siapapun yang mendengarnya. Berjarak dua meter dari mereka, sang ustad menghembuskan nafas dalam lalu melafazkan doa kebaikan dalam hati bagi orang tua di depannya itu.
***
Semesta, 21 April 1986
Ia pandangi wajah ayu dengan rambut hitam panjang terurai di depannya. Perempuan ini sudah resmi menjadi istrinya hari ini. Ia merasa begitu senang sekaligus heran mengapa akhirnya ia bisa mendapatkan hatinya meskipun keluarga sang istri menentangnya menikah dengan Bowo. Padahal secara logika perempuan yang bernama Lastri itu bisa mendapat lelaki yang lebih segalanya daripada dirinya jika mau.Â
Sosok perempuan mandiri yang berprofesi sebagai PNS guru di salah satu Sekolah Dasar itu rela menerima pengangguran sepertinya menjadi suami. Begitulah cinta. Memabukkan bahkan mungkin menjerumuskan ketika kita tak mampu membentenginya dengan ilmu agama yang memadai.
'Ah, tentu saja karena parasku tampan dan harta bapak ibu yang begitu banyak.' Serunya dalam hati, merasa jumawa.
Senyum Lastri pada hari itu selalu terkembang sempurna sambil menyalami para tamu yang tak berhenti berdatangan. Baginya menyatu dengan orang yang ia cintai dalam ikatan sakral pernikahan begitu membahagiakan. Dalam angannya mereka akan menua bersama dalam rasa cinta yang tak pernah luntur. Rasanya sudah genap setengah jiwanya kini.Â
Berharap ia bisa dibimbing menjadi perempuan yang lebih baik dengan penuh kelembutan, diajari agama seperti ia mengajari muridnya dengan penuh kesabaran, dicukupkan nafkah lahir dan batinnya serta diimami saat ia shalat. Sungguh ia telah buta oleh cinta. Baru hitungan bulan berkenalan dan tak begitu mengenal karakter sang calon suami, ia sudah berani memutuskan untuk menyerahkan seluruh hidupnya bagi lelaki itu meski keluarganya terang-terangan menentang pilihannya.Â
Sudah jelas alasan kedua orang tuanya menolak adalah karena tajamnya intuisi orang tua berdasarkan dangkalnya ilmu agama sang calon menantu. Bahkan ia tanpa memiliki kerjaan tetap seperti perempuannya.
Namun jelas bahwa apa yang sudah ditakdirkan Allah bagi hamba-Nya di dalam kitab Lauhul Mahfudz tak meleset sedikit pun, takkan bisa seseorang lari darinya meskipun akan menyesali segalanya di masa depan. Harapan dan realita yang dihadapi manusia terkadang 180 derajat berbanding terbalik. Dan memang begitulah hakikatnya kehidupan fana ini. Hanya tempat manusia diuji dengan kesenangan dan kesedihan yang datangnya dipergilirkan.
Dulu Lastri mengira bahwa setelah menikah Bowo akan berusaha mencari kerja dan menafkahinya, tetapi nyatanya ia dibodohi oleh harapannya sendiri.
Setelah tiga bulan tinggal di rumah orang tua Bowo, mereka lalu memutuskan untuk menetap di rumah peninggalan mbah buyut Lastri yang berbeda dusun dengan lokasi rumah masa kecil Bowo itu.Â
Di situlah secara perlahan namun pasti satu per satu sifat dan kelakuan buruk Bowo nampak. Pernikahan yang Lastri harapakan akan membawa surga pada hidupnya ternyata justru memperlihatkan neraka dunia setiap harinya. Rumahnya yang dulu hangat oleh sujud syukur dan suara kumandang ayat-ayat Al Qur'an berganti menjadi suara jeritan dan tangis pilu yang menjadi tanda tanya tetangga di kanan kiri rumah tersebut.
Seperti pagi ini. Bowo bangun tidur seperti biasa jam 10 siang dan sudah berlagak layaknya majikan.
"Mah, bagi duit buat beli rokok dong!"
"Rokok aja yang dicari, cari kerja sana! Masa aku yang ngebiayain rumah tangga kita, itu kan kewajiban kamu sebagai suami!" Sentak Lastri yang tengah memasak di dapur.
Karena kesal Bowo beranjak dari duduknya, menghampiri Lastri. Mematikan kompor minyak tanah yang sedang digunakan Lastri lalu membalikkan wajan yang berisi penuh sayur tumis kacang yang tengah dimasak istrinya itu hingga tumpah berserakan.
"Kalau aku ga ngerokok, kamu ga usah makan juga!" Hardik Bowo sembari meninggalkannya lalu keluar rumah dengan menggebrak pintu depan hingga menimbulkan dentuman keras.
"Astaghfirullah, kuatkan hamba ya Allah." Ia hanya bisa menatap nanar ke arah sayur yang sudah bercampur dengan kotoran di lantai dapurnya. Rasa lapar di perutnya hilang berganti rasa nyeri dalam hatinya. Tangisannya luruh lagi dengan posisi terduduk. Ini bukan tangisan pertama yang dibuat Bowo untuknya dan ia tak tahu berapa tangisan lagi yang akan Bowo bawa dalam hidupnya ini.
Semenjak Bowo hadir dalam hidupnya, ia tak pernah lagi merasakan ketenangan. Hari-harinya selalu dipenuhi rasa khawatir dan ketakutan saja sementara tak ada satupun yang mampu menolongnya dari jeratan Bowo. Sekalipun kedua orang tua kandung Lastri. Mereka seolah takut dengan Bowo dan di lain sisi mereka merasa Lastri harus siap dengan risiko pilihan hidupnya itu.Â
Banyak hari di mana Lastri tengah tidur, shalat, mengaji bahkan di kamar mandi selalu dikagetkan dengan suara gebrakan pintu depan yang menandakan kehadiran Bowo yang tak tentu kapan pulangnya. Ia selalu saja pergi dan pulang seenaknya. Sang lelaki jawara itu tak pernah sekalipun mengucap salam ketika akan masuk rumah.Â
Saat itulah secara perlahan dan pasti Bowo telah membuat gangguan mental pada Lastri meskipun ia selalu berusaha tawakkal pada Dzat yang Maha segala. Shalat fardu dan membaca Al Qur'an tak pernah ia lalaikan meskipun terkadang beban hidup membuatnya ingin menyerah.
***
Semesta, 9 Desember 1988
Lastri mengerang sambil memegang perut buncitnya di dalam mobil ambulans yang membawa ia dan kedua orang tuanya menuju rumah sakit rujukan yang lebih besar di kotanya. Saat itu jam menunjukkan pukul 9 malam. Rumah sakit pertama yang mereka datangi sudah menyerah karena tak sanggup memberi layanan operasi caesar padanya. Maklum saja pada waktu itu fasilitas kesehatan di desanya masih sangat minim.
Begitu sampai di rumah sakit, tenaga medis langsung membawanya ke ruang operasi untuk membatu proses melahirkan anak pertamanya. Tanpa didampingi suaminya, Lastri rela meregang nyawanya demi melihat buah hatinya lahir tanpa kurang suatu apapun. Sungguh berat pengorbanan seorang ibu bagi anaknya.
*Tiga hari setelah melahirkan
Tubuh Lastri masih tergeletak lemah di kasur rumah sakit. Jahitan panjang di perutnya masih terasa sangat nyeri apabila ia banyak bergerak namun rasa itu seketika lenyap ketika ia diperbolehkan menggendong putri mungilnya meskipun hanya kuat beberapa menit saja. Beruntung adik-adik dan kedua orang tuanya secara bergantian menjaga dan menyiapkan keperluannya selama masa opname. Aneh rasanya tetapi hatinya justru merasa damai tanpa suami dan bapak kandung anaknya ada di sampingnya.
Siang ini perawat baru saja mengganti perban di perutnya yang masih saja basah oleh darah dan sedikit nanah. Proses melahirkan yang begitu menyakitkan itu menyadarkan Lastri bahwa betapa mulianya kedudukan seorang ibu sehingga Allah menempatkan surga seorang anak berada pada kakinya. Sudah berkali ia menangis di pelukan ibunya, meminta maaf atas segala khilafnya selama ini, bahkan dulu ia seringkali membangkang pada wanita yang melahirkannya itu.
Sementara di sisi lain rumah sakit, mata Bowo nyalang mencari ruangan tempat istri dan anaknya yang baru lahir itu dirawat. Tangan kirinya menenteng plastik putih berisi beberapa makanan agar istri dan keluarganya sedikit luluh dengan hadirnya. Begitulah triknya selama ini untuk menaklukkan kembali hati istrinya setelah berulang kali disakiti.Â
Ia hanya butuh karangan kata-kata manis dan beberapa makanan seolah ia akan memberikan segalanya lalu memohon di hadapan istrinya maka semuanya pun akan kembali normal. Lalu di waktu selanjutnya ia bisa berbuat semaunya lagi. Berulang lagi begitu tanpa pernah ia mau benar-benar mempebaiki sikapnya. Sungguh laknat kehidupan yang dijalani Bowo. Hanya membawa kerusakan bagi orang-orang di dekatnya saja.
'Perempuan itu semuanya sama saja. Mudah ditaklukkan hanya dengan sedikit rayuan manis dan beberapa lembar uang.' Gumamnya dalam hati sembari tersenyum licik.
Tak berapa lama ia mengintip dari balik pintu masuk ruangan yang ditunjukkan oleh bagian administratif tempat ia bertanya lalu mendapati istrinya tengah menggendong bayi perempuan mungil dengan senyum terkembang jelas. Tanpa ragu ia memutar gagang pintu dan langsung masuk ruangan tanpa disertai salam apapun.Â
Bukannya wajah sumringah yang ditunjukkan seorang istri ketika suaminya datang, justru sebaliknya. Begitu Bowo masuk, wajah Lastri berubah pucat pasi. Menampakkan ketakutan yang sangat. Dengan refleks ia memeluk bayinya dengan sangat erat, nyeri pada jahitan di perutnya menjadi terasa lebih menyakitkan. Tak lama kemudian tangis bayi yang tengah digendongnya pecah, menyaratkan ketakutan sama dengan sang ibu.
"Hadi, usir orang itu! Aku ga mau liat dia!" Teriak Lastri kepada adiknya yang sedang duduk di sisi kiri ranjangnya.
Sang adik pun bangkit dan mencoba menghalau kakak iparnya itu meskipun dalam hatinya terbesit rasa takut. Namun Bowo menampiknya, ia kemudian berjalan cepat ke arah Lastri dan bersimpuh di ranjang tempat istrinya terbaring itu sembari memasang wajah semelas mungkin.
"Aku minta maaf, Â mah. Aku memang banyak salah sama kamu selama ini. Tapi aku janji akan berubah sekarang. Biarin aku gendong anak kita ya."
"Omong kosong maafmu itu, mas! Sudah muak aku mendengar janjimu akan taubat dan lain-lain. Gak lama juga kamu akan kembali seperti dulu lagi. Hanya menyiksaku saja!"
"Enggak mah, kali ini aku akan beneran berubah demi anak kita." Jawab Bowo berusaha keras meyakinkan.
"Pergiii! Aku tidak akan  pernah lagi percaya pada janjimu!" Teriak Lastri dengan suara parau.
"Dasar perempuan pembangkang! Sini biar kubawa pergi saja anakku ini. Toh aku juga berhak atasnya!"
Bowo lalu melempar plastik di tangannya dengan sembarang kemudian dengan gerakan cepat berusaha merebut bayi yang tengah digendong oleh Lastri. Suara tangis bayi itupun semakin keras terdengar. Sementara adik laki-laki Lastri berusaha melerai keduanya dengan susah payah.
Tak lama kemudian datanglah seorang dokter dan beberapa perawat yang terganggu oleh keributan di ruangan tersebut.
"Ada apa ini?" Seru dokter laki-laki yang berusia sekitar 45 tahun itu lantang.
"Dok, tolong saya! Dia ingin mengambil anak saya!" Seru Lastri ketakutan.
"Saya ayahnya! Kalian tidak usah ikut campur! Ini masalah rumah tangga saya!"
"Maaf pak, ini rumah sakit. Harap bapak bisa tenang. Istri bapak itu baru saja dioperasi perutnya, lukanya masih basah jadi ia perlu beristirahat fisik dan mentalnya agar cepat pulih. Biarkan bayi bapak bersama ibunya dulu, bapak bisa menggendongnya nanti jika kondisinya sudah membaik. Mohon bapak bisa mengerti."
"Ah, sok menasehati kau ini! Tau apa kau tentang keluargaku! Dia istri dan anakku, terserah akulah mau diapakan!" Seru Bowo tak mau kalah.
"Tolong panggil keamanan untuk mengamankan bapak ini sekarang!" Bisik sang dokter pada seorang perawat yang segera beranjak dari tempatnya. Tak sampai 5 menit kemudian, Bowo sudah dibawa oleh tiga orang laki-laki besar untuk keluar rumah sakit dan tak diizinkan masuk ke area rumah sakit lagi.
Tak berapa lama, Lastri masih menangis sambil menggendong erat bayinya. Ia tak mau melepasnya barang sedetik pun. Takut ketika ia tak bersamanya, bayi itu akan dibawa pergi oleh Bowo. Ia begitu kenal tabiat suaminya. Bowo mampu melakukan apapun yang dia mau tanpa pernah memikirkan perasaan orang lain.
Setelah diyakinkan oleh dokter bahwa bayinya akan selalu ada di sisinya, maka Latri pun meminum obatnya sebelum akhirnya jatuh tertidur. Sang dokter paham wanita ini tengah sakit fisik dan mentalnya. Ia perlu dipaksa istirahat agar tak berlanjut depresi. Tak pernah mudah memang ketika orang terdekat yang diharapkan memeluk saat dunia terasa begitu menyakitkan justru menjadi alasan mengapa kita jatuh tersungkur.
***
Semesta, Februari 1991
Pagi menjelang siang pada hari Selasa kala itu, Lastri tengah menyusui bayi perempuannya yang tidak biasanya begitu rewel.
"Nissa, kamu kenapa nak? Tumben kamu rewel sekali pagi ini." Ucapnya kepada sang bayi sembari mengusap ubun-ubunnya.
Akhirnya setelah 30 menit berlalu, Nissa keci pun lelah menangis dan mulai memejamkan kedua matanya. Lastri yang berbaring di samping bayinya sambil menopang tubuhnya dengan tangan kirinya pun ikut mengantuk sebelum tiba-tiba suara gedoran pintu membuat keduanya kaget dan membuat jantung mereka berpacu begitu cepat. Bayi itu pun seketika langsung menangis histeris.
"Lastrii! Lastriiii! Cepat buka pintunya atau aku dobrak!" Seru Bowo lantang sembari membuat keributan seperti biasa.
Lastri serta merta meraih tubuh Nissa ke pelukannya, berjalan menuju pintu depan rumahnya lalu membukanya tergesa. Belum stabil irama jantungnya, Bowo masuk tanpa babibu langsung menarik rambut hitam panjang milik Lastri sehingga membuat pemiliknya seketika meringis kesakitan.
"Berani sekarang kamu ya sama aku! Siapa yang suruh kamu ngajuin surat cerai, hah? Jawab!" Teriaknya dengan wajah merah padam penuh amarah.
"Aku sudah tidak sanggup lagi hidup dengan setan sepertimu! Cuiihh!" Ludah Lastri meluncur tepat ke wajah Bowo.
Melihat reaksi Lastri yang begitu berani, Bowo makin kalap. Ditendangnya perut sang istri di mana ia tahu itu titik kelemahannya. Kemudian Lastri tersungkur di lantai semen bersama bayinya yang kian menangis ketakutan. Untung saja pelukan sang ibu begitu erat sehingga bayi itu tak ikut terlempar ke lantai seperti tubuhnya. Jahitan panjang di perutnya secara refleks bereaksi, menyisakan rasa perih yang tak tertahankan.
Perempuan yang telah diminta Bowo lewat jalur vertikal antara ia dan Rabb semesta alam itu berulang kali ia lukai tanpa sedikitpun rasa sesal. Ibarat 24 jam sehari maka sikap baik Bowo hanya mampu bertahan 5-10 jam saja, sisanya ia akan berubah menjadi manusia berhati iblis. Selama 5 tahun pernikahan, penyiksaan secara fisik dan mental seperti itu sudah sangat sering dialami oleh Lastri sampai akhirnya ia mantap memilih jalur perceraian meskipun ia tahu itu sangat dibenci oleh Allah.
"Cepat batalkan atau aku bunuh kau!" Ancam Bowo dengan suara nyalang.
"Bunuh saja aku daripada kau siksa aku sampai mati!" Isak Lastri pun mulai terdengar.
"Baik jika itu maumu! Tapi lihat dulu hadiah dariku ini!"
Bowo langsung beranjak dari tempatnya berdiri menuju lemari pakaian Lastri. Ia buka lemari gantung yang berisi perhiasan dan baju-baju simpanan terbaik istrinya itu, dengan kasar diambil sebanyak yang ia mampu bawa lalu dengan gerakan cepat dimasukkannya semua itu ke dalam sumur sebagai sumber air mereka yang terletak di belakang rumah itu. Lastri dengan susah payah berteriak sekerasnya dan memaki lelaki itu agar berhenti membuang pakaiannya, sedangkan Bowo yang tengah dikuasai setan justru makin bernafsu bolak-balik memasukkan semua pakaian istrinya itu ke dalam sumur tanpa menyisakan sehelai pun. Hatinya sedikit pun tak tersentuh melihat istri dan anaknya menangis histeris.
Di luar rumah sudah ramai orang berkumpul tetapi mereka hanya berani mengintip dan berbisik dari luar rumah saja. Takut untuk masuk apalagi ikut campur.
"Ayo cepat yang laki-laki masuk ke sana. Kasian Lastri, takut malah kenapa-kenapa nantinya." Seru beberapa tetangga perempuan Lastri.
"Hadi, ayo kita lapor ke kantor polisi. Ini sudah tidak bisa dibiarkan! Kasian mbakmu dipukulin terus. Mana ada bayi pula di dalam." Ucap pak RT tidak kalah panik.
"Baik pak, ayo kita ke polsek sekarang!"
Setelah 20 menit berlalu, akhirnya mereka kembali beserta 5 orang laki-laki berseragam polisi. Tak lama Bowo diarak keluar dengan borgol terpasang di kedua tangannya. Riuh suara ramai orang di depan rumahnya Lastri mengeluarkan hujatan dan cacian bagi Bowo.
"Jangan pernah kamu berani ke sini lagi, Bowo! Kami ga akan membiarkan kamu menginjakkan kaki lagi ke rumah ini!" Ucap bapak mertuanya lantang. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
***
Semesta, April 2004
Waktu berjalan begitu cepat namun tak sedetik pun ia mengingat Tuhannya. Tak satupun teguran Sang Maha benar mampu menggetarkan hatinya. Hidupnya makin hari makin tak terarah. Sudah 13 tahun berlalu pasca ia bercerai dan tinggal terpisah dari Lastri dan anaknya namun tak mengubah apapun dalam hidupnya.
Bowo mengaduh ketika kaki kirinya diperban dan terlihat bengkok karena kecelakaan motor yang dialaminya kemarin. Rasa nyeri begitu nyata ia rasakan. Namun tidak ada satupun perubahan perilaku nampak padanya. Ia masih saja seorang laki-laki yang keras, kasar, sombong, egois dan mau menang sendiri. Bahkan dengan berjalan pincang pun ia tetap saja berjalan pongah di atas bumi ini.
"Mbok bertobat sama Allah mas, sudah begini kok belum kapok juga tho." Nasihat Atin, adik perempuan Bowo sambil membawakan makanan baginya.
"Halah, sok tau kau ini! Sudah siapkan saja makanku, ga usah ceramah macam ustad saja!" Hardik Bowo kasar.
Atin hanya mampu mengelus dada dan mengucap istighfar dalam hati kemudian segera berlalu dari hadapan Bowo.
***
Semesta, September 2005
Sesungguhnya manusia itu dalam kerugian kecuali mereka yang berbuat kebaikan dan beramal sholeh. Kutipan ayat ini seharusnya menjadi bahan kajian bagi manusia bahwa kehidupan dunia tidaklah kekal, semua akan mati dan kelak di hari pembalasan semua perbuatan kita akan dimintai pertanggungjawaban oleh Sang Maha melihat.
Sudah sebulan lebih bapak kandung Bowo akhirnya berpulang ke Rahmatullah karena sakit yang telah menahun. Ketika ibu dan adik-adiknya mengirim doa bagi beliau, Bowo malah tidur seharian di kamarnya tanpa perduli dengan keadaan di sekitarnya.
Hari berganti hari. Bulan berganti bulan. Dan tahun berganti tahun. Namun semua masih sama bagi Bowo. Hatinya tetap mati untuk mengingat dosa-dosanya. Ketika satu per satu adiknya pergi dan hidup bersama keluarganya masing-masing, ia masih saja menyusahkan sang ibu yang semakin hari semakin tua. Setiap hari kerjanya hanya makan, tidur dan ke kamar mandi saja. Tak pernah energi yang ia punya digunakan untuk kebaikan. Sungguh mengenaskan kehidupannya.
Hingga suatu siang ia bangun tidur dan langsung berteriak histeris.
"Ibuuu! Mataku kenapa ini?"
"Ngopo, Wo? Ngopo jejeritan?" Ibunya tergopoh menghampirinya
"Mataku kananku kenapa ga bisa lihat sama sekali ini?"
Tak lama mantri desa datang memeriksa Bowo. Dan hari itu juga mata kanannya divonis buta dikarenakan glukoma. Hampir saja sang matri kena bogem mentah karena mengabarkan kenyataan itu kalau tak dicegah oleh ibunya.
***
Semesta, April 2022
Bulan Ramadhan yang penuh berkah dan ampunan, di mana kaum muslimin tengah berlomba-lomba mengumpulkan amal sholeh dengan mengerjakan sholat fardu serta sunnah, berpuasa, taddarus dan amalan lainnya tak membuat hati Bowo tersentuh. Meskipun ia tak punya makanan sekalipun, ia tak pernah berniat berpuasa. Ketika Ramadhan begitu hidup dengan alunan Kallamullah yang dikumandangkan dari speaker di masjid-masjid, hatinya tetap saja keras dan mati. Gelap.
Alunan lagu dari radio butut disertai suara kresek-kresek yang khas mengalun pelan dari kamar kumuh dan bau berukuran 3x3 meter. Jam dinding usang yang telah lama tak berdetak itu menandakan isi hati pemiliknya. Terhenti dalam dimensi waktunya sendiri. Beku. Statis. Dan penuh noda.
Tubuh tegap dan tampan sang jawara yang dulu begitu ditakuti orang itu kini hanya menyisakan tubuh ringkih yang berbalut tulang tanpa daging. Kurus dan lemah. Berbaring tanpa daya. Tanpa teman. Tanpa kasih sayang. Hanya berteman sepi dan sendiri yang memilukan tetapi tak seorang pun ingin menemaninya. Ibunya telah lama berpulang, adik-adik dan kerabatnya tak lagi berada di sisinya, keluarga kecil yang pernah ia punya bahkan sudah tak sudi mengingat hadirnya.
Jam 1 dini hari ia terjaga dalam tidur panjangnya. Perutnya melilit karena rasa lapar dan kurangnya makan sementara kesunyian nampak begitu nyata menjamahnya. Seketika tangisnya pecah. Tangis penyesalan yang tak pernah sekalipun didengar oleh orang yang mengenalnya. Sang jawara itu begitu malu mengakui dosanya di depan orang lain. Ia ketakutan sendirian sementara suara gemerisik dedaunan di luar rumahnya begitu nyata. Melukiskan kengerian di hati siapa saja yang mendengar perpaduan antara tangisan Bowo dan suara hening alam dalam malam pekat.
Tak berapa lama ia beranjak ke kamar mandi untuk membuang hajat. Melihat air bak mandi yang kosong, ia lalu pergi ke sumur untuk menimba air. Karena minimnya cahaya, ia memasukkan ember timba dengan tergesa sehingga membuat tali timba lebih kencang tertarik ke bawah membuat ember timba yang telah penuh air menarik tubuh ringkihnya dengan kuat ke arah sumur.Â
Licinya lantai kamar mandi membuat tubuh kurusnya limbung, tak ayal ia tertarik ke bawah bersamaan dengan suara berdentum saat tubuhnya mencapai dasar sumur dengan kedalaman 5 meter itu. Susah payah ia bernafas dalam dinginnya air sumur yang menenggelamkan tubuhnya. Ia berusaha setengah mati berteriak minta tolong tapi tak sanggup karena nafasnya kian tersengal.Â
Dalam pekatnya sumur tua itu, ada sepasang mata yang tengah mengawasinya tengah meregang nyawa, memastikan bahwa ia merasakan sakaratul maut yang dahsyat. Mata itu menatap penuh kebencian pada jasad Bowo yang belum juga mau melepas ruhnya. Lalu dengan cambuk yang ia bawa, ia sabetkan dengan sangat keras ke tubuh renta itu agar segera melepas ruhnya.
"Cepat keluar! Sudah habis masamu di dunia ini, wahai manusia sombong! Kau diberi hidup yang begitu panjang namun tak sedetik pun kau ingat akan Rabb-mu, bahkan kerjamu hanya menyiksa manusia. Sungguh adzab Jahannam sudah siap menerimamu di hari pembalasan kelak." Ucapnya dengan suara menakutkan yang menggelegar.
*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H