Tak lama mantri desa datang memeriksa Bowo. Dan hari itu juga mata kanannya divonis buta dikarenakan glukoma. Hampir saja sang matri kena bogem mentah karena mengabarkan kenyataan itu kalau tak dicegah oleh ibunya.
***
Semesta, April 2022
Bulan Ramadhan yang penuh berkah dan ampunan, di mana kaum muslimin tengah berlomba-lomba mengumpulkan amal sholeh dengan mengerjakan sholat fardu serta sunnah, berpuasa, taddarus dan amalan lainnya tak membuat hati Bowo tersentuh. Meskipun ia tak punya makanan sekalipun, ia tak pernah berniat berpuasa. Ketika Ramadhan begitu hidup dengan alunan Kallamullah yang dikumandangkan dari speaker di masjid-masjid, hatinya tetap saja keras dan mati. Gelap.
Alunan lagu dari radio butut disertai suara kresek-kresek yang khas mengalun pelan dari kamar kumuh dan bau berukuran 3x3 meter. Jam dinding usang yang telah lama tak berdetak itu menandakan isi hati pemiliknya. Terhenti dalam dimensi waktunya sendiri. Beku. Statis. Dan penuh noda.
Tubuh tegap dan tampan sang jawara yang dulu begitu ditakuti orang itu kini hanya menyisakan tubuh ringkih yang berbalut tulang tanpa daging. Kurus dan lemah. Berbaring tanpa daya. Tanpa teman. Tanpa kasih sayang. Hanya berteman sepi dan sendiri yang memilukan tetapi tak seorang pun ingin menemaninya. Ibunya telah lama berpulang, adik-adik dan kerabatnya tak lagi berada di sisinya, keluarga kecil yang pernah ia punya bahkan sudah tak sudi mengingat hadirnya.
Jam 1 dini hari ia terjaga dalam tidur panjangnya. Perutnya melilit karena rasa lapar dan kurangnya makan sementara kesunyian nampak begitu nyata menjamahnya. Seketika tangisnya pecah. Tangis penyesalan yang tak pernah sekalipun didengar oleh orang yang mengenalnya. Sang jawara itu begitu malu mengakui dosanya di depan orang lain. Ia ketakutan sendirian sementara suara gemerisik dedaunan di luar rumahnya begitu nyata. Melukiskan kengerian di hati siapa saja yang mendengar perpaduan antara tangisan Bowo dan suara hening alam dalam malam pekat.
Tak berapa lama ia beranjak ke kamar mandi untuk membuang hajat. Melihat air bak mandi yang kosong, ia lalu pergi ke sumur untuk menimba air. Karena minimnya cahaya, ia memasukkan ember timba dengan tergesa sehingga membuat tali timba lebih kencang tertarik ke bawah membuat ember timba yang telah penuh air menarik tubuh ringkihnya dengan kuat ke arah sumur.Â
Licinya lantai kamar mandi membuat tubuh kurusnya limbung, tak ayal ia tertarik ke bawah bersamaan dengan suara berdentum saat tubuhnya mencapai dasar sumur dengan kedalaman 5 meter itu. Susah payah ia bernafas dalam dinginnya air sumur yang menenggelamkan tubuhnya. Ia berusaha setengah mati berteriak minta tolong tapi tak sanggup karena nafasnya kian tersengal.Â
Dalam pekatnya sumur tua itu, ada sepasang mata yang tengah mengawasinya tengah meregang nyawa, memastikan bahwa ia merasakan sakaratul maut yang dahsyat. Mata itu menatap penuh kebencian pada jasad Bowo yang belum juga mau melepas ruhnya. Lalu dengan cambuk yang ia bawa, ia sabetkan dengan sangat keras ke tubuh renta itu agar segera melepas ruhnya.
"Cepat keluar! Sudah habis masamu di dunia ini, wahai manusia sombong! Kau diberi hidup yang begitu panjang namun tak sedetik pun kau ingat akan Rabb-mu, bahkan kerjamu hanya menyiksa manusia. Sungguh adzab Jahannam sudah siap menerimamu di hari pembalasan kelak." Ucapnya dengan suara menakutkan yang menggelegar.