Setelah tiga bulan tinggal di rumah orang tua Bowo, mereka lalu memutuskan untuk menetap di rumah peninggalan mbah buyut Lastri yang berbeda dusun dengan lokasi rumah masa kecil Bowo itu.Â
Di situlah secara perlahan namun pasti satu per satu sifat dan kelakuan buruk Bowo nampak. Pernikahan yang Lastri harapakan akan membawa surga pada hidupnya ternyata justru memperlihatkan neraka dunia setiap harinya. Rumahnya yang dulu hangat oleh sujud syukur dan suara kumandang ayat-ayat Al Qur'an berganti menjadi suara jeritan dan tangis pilu yang menjadi tanda tanya tetangga di kanan kiri rumah tersebut.
Seperti pagi ini. Bowo bangun tidur seperti biasa jam 10 siang dan sudah berlagak layaknya majikan.
"Mah, bagi duit buat beli rokok dong!"
"Rokok aja yang dicari, cari kerja sana! Masa aku yang ngebiayain rumah tangga kita, itu kan kewajiban kamu sebagai suami!" Sentak Lastri yang tengah memasak di dapur.
Karena kesal Bowo beranjak dari duduknya, menghampiri Lastri. Mematikan kompor minyak tanah yang sedang digunakan Lastri lalu membalikkan wajan yang berisi penuh sayur tumis kacang yang tengah dimasak istrinya itu hingga tumpah berserakan.
"Kalau aku ga ngerokok, kamu ga usah makan juga!" Hardik Bowo sembari meninggalkannya lalu keluar rumah dengan menggebrak pintu depan hingga menimbulkan dentuman keras.
"Astaghfirullah, kuatkan hamba ya Allah." Ia hanya bisa menatap nanar ke arah sayur yang sudah bercampur dengan kotoran di lantai dapurnya. Rasa lapar di perutnya hilang berganti rasa nyeri dalam hatinya. Tangisannya luruh lagi dengan posisi terduduk. Ini bukan tangisan pertama yang dibuat Bowo untuknya dan ia tak tahu berapa tangisan lagi yang akan Bowo bawa dalam hidupnya ini.
Semenjak Bowo hadir dalam hidupnya, ia tak pernah lagi merasakan ketenangan. Hari-harinya selalu dipenuhi rasa khawatir dan ketakutan saja sementara tak ada satupun yang mampu menolongnya dari jeratan Bowo. Sekalipun kedua orang tua kandung Lastri. Mereka seolah takut dengan Bowo dan di lain sisi mereka merasa Lastri harus siap dengan risiko pilihan hidupnya itu.Â
Banyak hari di mana Lastri tengah tidur, shalat, mengaji bahkan di kamar mandi selalu dikagetkan dengan suara gebrakan pintu depan yang menandakan kehadiran Bowo yang tak tentu kapan pulangnya. Ia selalu saja pergi dan pulang seenaknya. Sang lelaki jawara itu tak pernah sekalipun mengucap salam ketika akan masuk rumah.Â
Saat itulah secara perlahan dan pasti Bowo telah membuat gangguan mental pada Lastri meskipun ia selalu berusaha tawakkal pada Dzat yang Maha segala. Shalat fardu dan membaca Al Qur'an tak pernah ia lalaikan meskipun terkadang beban hidup membuatnya ingin menyerah.