"Dok, tolong saya! Dia ingin mengambil anak saya!" Seru Lastri ketakutan.
"Saya ayahnya! Kalian tidak usah ikut campur! Ini masalah rumah tangga saya!"
"Maaf pak, ini rumah sakit. Harap bapak bisa tenang. Istri bapak itu baru saja dioperasi perutnya, lukanya masih basah jadi ia perlu beristirahat fisik dan mentalnya agar cepat pulih. Biarkan bayi bapak bersama ibunya dulu, bapak bisa menggendongnya nanti jika kondisinya sudah membaik. Mohon bapak bisa mengerti."
"Ah, sok menasehati kau ini! Tau apa kau tentang keluargaku! Dia istri dan anakku, terserah akulah mau diapakan!" Seru Bowo tak mau kalah.
"Tolong panggil keamanan untuk mengamankan bapak ini sekarang!" Bisik sang dokter pada seorang perawat yang segera beranjak dari tempatnya. Tak sampai 5 menit kemudian, Bowo sudah dibawa oleh tiga orang laki-laki besar untuk keluar rumah sakit dan tak diizinkan masuk ke area rumah sakit lagi.
Tak berapa lama, Lastri masih menangis sambil menggendong erat bayinya. Ia tak mau melepasnya barang sedetik pun. Takut ketika ia tak bersamanya, bayi itu akan dibawa pergi oleh Bowo. Ia begitu kenal tabiat suaminya. Bowo mampu melakukan apapun yang dia mau tanpa pernah memikirkan perasaan orang lain.
Setelah diyakinkan oleh dokter bahwa bayinya akan selalu ada di sisinya, maka Latri pun meminum obatnya sebelum akhirnya jatuh tertidur. Sang dokter paham wanita ini tengah sakit fisik dan mentalnya. Ia perlu dipaksa istirahat agar tak berlanjut depresi. Tak pernah mudah memang ketika orang terdekat yang diharapkan memeluk saat dunia terasa begitu menyakitkan justru menjadi alasan mengapa kita jatuh tersungkur.
***
Semesta, Februari 1991
Pagi menjelang siang pada hari Selasa kala itu, Lastri tengah menyusui bayi perempuannya yang tidak biasanya begitu rewel.
"Nissa, kamu kenapa nak? Tumben kamu rewel sekali pagi ini." Ucapnya kepada sang bayi sembari mengusap ubun-ubunnya.