Bukannya wajah sumringah yang ditunjukkan seorang istri ketika suaminya datang, justru sebaliknya. Begitu Bowo masuk, wajah Lastri berubah pucat pasi. Menampakkan ketakutan yang sangat. Dengan refleks ia memeluk bayinya dengan sangat erat, nyeri pada jahitan di perutnya menjadi terasa lebih menyakitkan. Tak lama kemudian tangis bayi yang tengah digendongnya pecah, menyaratkan ketakutan sama dengan sang ibu.
"Hadi, usir orang itu! Aku ga mau liat dia!" Teriak Lastri kepada adiknya yang sedang duduk di sisi kiri ranjangnya.
Sang adik pun bangkit dan mencoba menghalau kakak iparnya itu meskipun dalam hatinya terbesit rasa takut. Namun Bowo menampiknya, ia kemudian berjalan cepat ke arah Lastri dan bersimpuh di ranjang tempat istrinya terbaring itu sembari memasang wajah semelas mungkin.
"Aku minta maaf, Â mah. Aku memang banyak salah sama kamu selama ini. Tapi aku janji akan berubah sekarang. Biarin aku gendong anak kita ya."
"Omong kosong maafmu itu, mas! Sudah muak aku mendengar janjimu akan taubat dan lain-lain. Gak lama juga kamu akan kembali seperti dulu lagi. Hanya menyiksaku saja!"
"Enggak mah, kali ini aku akan beneran berubah demi anak kita." Jawab Bowo berusaha keras meyakinkan.
"Pergiii! Aku tidak akan  pernah lagi percaya pada janjimu!" Teriak Lastri dengan suara parau.
"Dasar perempuan pembangkang! Sini biar kubawa pergi saja anakku ini. Toh aku juga berhak atasnya!"
Bowo lalu melempar plastik di tangannya dengan sembarang kemudian dengan gerakan cepat berusaha merebut bayi yang tengah digendong oleh Lastri. Suara tangis bayi itupun semakin keras terdengar. Sementara adik laki-laki Lastri berusaha melerai keduanya dengan susah payah.
Tak lama kemudian datanglah seorang dokter dan beberapa perawat yang terganggu oleh keributan di ruangan tersebut.
"Ada apa ini?" Seru dokter laki-laki yang berusia sekitar 45 tahun itu lantang.