"Kapan saya boleh belajar terbang?"Â
Ayam betina yang malang itu menyadari bahwa ia tidak dapat terbang dan sama sekali tidak tahu bagaimana burung-burung melatih terbang anak-anak mereka. Namun ia malu mengakui ketidakmampuannya, dan berkata,Â
"Belum waktunya anakku. Saya akan mengajarimu kalau engkau sudah siap."Â
Bulan demi bulan berlalu dan burung rajawali muda itu mulai curiga, ibunya tidak dapat terbang. Namun ia tidak dapat merasa bebas dan terbang sendiri, karena kerinduannya yang besar untuk terbang sudah tercampur dengan rasa terima kasih terhadap burung yang telah menetaskannya.
"Rajawalinya Ibu, dan Induk Ayamnya Ayah ya?, Ibu dimana sih Ayah?" celetuk Nia.
Wawan kaget, mengira Nia sudah tertidur, ternyata masih mendengarkan hingga selesainya cerita.
"Hmmm, sudah ya, Nia tidur dulu, jangan lupa berdoa, jangan lupa mendoakan ibumu agar bisa pulang dan memeluk Nia. Doa Nia pasti di dengar Tuhan". Kata Wawan sambil membenarkan posisi selimut Nia dan melanjutkan mendongeng dengan kisah yang lain.
"Ahh, Sari...hidung Nia mirip hidungmu dik, tatapanmu juga. Kamu memang rajawali, sementara aku ayamnya seperti kata Nia" Wawan menghela nafas dalam-dalam sambil mengamati wajah Nia yang sudah pulas.
Keesokan harinya, setelah pulang bekerja, Wawan langsung menghampiri Nia yang sedang bermain dengan neneknya.
"Ayahhh....ayo dong ganti baju, lalu menangkap kupu-kupu, itu kupu-kupunya sudah menungguku". Rengek Nia manja.
Wawan melihat keluar rumah melalui jendela kaca, ia melihat kupu-kupu beterbangan, sesekali bergantian menghinggapi bunga-bunga di halaman rumah.