"Nanti kan jodoh datang sendiri Bapak, yang jelas Wawan hendak bertanggungjawab atas apa yang telah Wawan lakukan, kasihan Nia hidup di lingkungan keluarga seperti itu. Nggak tega juga dengan Sari yang selalu menerima kekerasan fisik dari suaminya. Bagaimana jadinya mental Nia ketika dewasa kelak". Wawan melanjutkan argumennya.
"Nia tidak berdosa apa-apa Bapak, Ibu. Bagaimanapun Nia adalah darah daging saya. Maka izinkan Wawan merawat Nia". Lanjut Wawan memohon dengan sopan.
"Bagaimana ini Bu? Anakmu semata wayang semakin aneh-aneh saja". Tanya Bapak Wawan kepada istrinya.
"Wawan ada benarnya Pak, Nia tidak berdosa apa-apa, berhak dikasihi seperti anak pada umumnya. Kasihan Nia hidup dalam keluarga yang penuh pertengkaran". Ibu Wawan menerima.
Begitulah, sebulan setelahnya, Sari datang ke rumah Wawan menyerahkan Nia yang berusia satu setengah tahunan. Sari datang dengan wajah lebam, beberapa bekas luka tertinggal di wajah dan lengannya.
"Yaa Tuhan, Sari.........". Gumam Wawan dengan mata berkaca-kaca.
Ibunya Wawan juga sama, tidak bisa menyembunyikan iba, menangis tanpa suara. Bagaimanapun ia adalah juga seorang perempuan. Sementara Bapak Wawan diam membisu, menyembunyikan dan menahan gejolak dalam hatinya.
Begitulah, bagi Wawan Nia adalah segalanya, dimatanya Nia adalah Sari yang kini entah di mana keberadaannya.
"Ayah!!! Nia nggak bisa tidur, ingin segera bermain dengan kupu-kupu". Keluh Nia suatu malam.
"Sayang, Nia harus tidur, biar sehat dan besuk pagi bisa bermain dengan kupu-kupu sepuasnya. Ayo sini, ayah bacakan dongeng agar Nia bisa segera terlelap". Jawab Wawan lembut seraya mengambil buku dongeng di rak dekat tempat tidur.
"Syahdan suatu hari sebutir telur burung rajawali jatuh dan akhirnya sampai ke pojok suatu kandang tempat seekor ayam sedang mengerami telur-telurnya. Telur rajawali itu ikut di erami induk ayam. Akhirnya setelah tiba waktunya telur burung rajawali itu menetas bersama telur-telur ayam. Waktu berlalu, anak rajawali itu dengan sendirinya mulai mengalami kerinduan untuk terbang sesuai dengan nalurinya, dan berkata kepada ibunya, sang ayam,Â