"Alan aku mau ngomong jujur ya. Kamu itu masih kelihatan seperti pemuda dua puluhan. Bagaimana tadi aku melihat Intan begitu terpesona memandangmu," kembali suara tawa Kinanti menyinggung lagi momen Intan saat menjabat tanganku.
"Sudahlah Kinan. Kamu jangan mengolok-olokku seperti itu."
"Ok Boss. Tapi aku mau bertanya. Di Kampusmu pasti bukan Listya saja yang naksir kamu."
"Mana aku tahu, yang kutahu aku hanya cinta Listya saja."
Rumah Kinanti di Arcamanik itu bukan rumah yang asing. Namun Sabtu itu, saat pertemuanku dengan Kinanti di beranda rumahnya, benar-benar meninggalkan kesan yang sangat indah.
Walaupun hanya sebentar berbincang tapi telah membuka lagi lembar-lembar cerita lama bersama Kinanti.
Bagaimanapun juga Kinanti adalah bagian dari masa laluku selain Diana Faria. Bagaimana dengan Daisy Listya?
Dia belum merupakan bagian masa laluku dan aku berharap semoga saja Listya menjadi bagian dari masa depanku.
Senin pagi itu kegiatan rutinku menuju Kampus Dharmawangsa Dalam, kembali harus kujalani. Teringat Kinanti, ada rasa kangen karena di Bandung waktu itu bertemu hanya sebentar.
Dalam perjalanan menuju Kampus itu sebuah lagu yang dinyanyikan oleh Gya mengalun merdu dari sebuah Radio FM di mobil yang kukendarai.
Mendengar syair lagu ini aku teringat masa SMA dulu ketika Kinanti selalu ingin menjadikanku hanya seorang sahabat.Â