Mohon tunggu...
AKIHensa
AKIHensa Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan sejak tahun 2011 dan pada 4 Mei 2012 menjadi Kompasianer.

Kakek yang hobi menulis hanya sekedar mengisi hari-hari pensiun bersama cucu sambil melawan pikun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Cerita di Beranda Rumah Kinanti Puspitasari

10 September 2020   15:55 Diperbarui: 10 September 2020   17:04 663
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Beranda Rumah (Sumber Foto Dekoruma.com)

Menghadiri Rapat Kerja di Jakarta pada hari Kamis dan Jumat adalah hal yang sangat menguntungkan karena Sabtu dan Minggunya aku bisa sowan menjenguk Ibu di Bandung sekalian kangen pulang kampung.

BACA JUGA : Ada Asa Tersisa di Bandara Juanda

Ada satu hal lagi yaitu aku ingin bertemu Kinanti. Aku sengaja tidak memberi kabar kepada Kinanti kalau Sabtu akhir bulan ini ke Bandung sekedar membuat kejutan kecil.

Benar saja, Kinanti terkesima ketika tiba-tiba aku sudah berdiri di depan pintu beranda rumahnya.

"Hai Alan wah kejutan.  Kamu kok tidak memberi khabar terlebih dulu!"  Kata Kinanti terlihat senang sambil memandangku tak berkedip.

Mata yang indah itu seolah berbicara rasa bahagia. Ya Kinanti memiliki mata yang indah. Salah satu yang aku kagumi dari kecantikan wanita ini adalah matanya yang teduh mendamaikan hati.

Sewaktu SMA dulu aku sangat mengagumi kecantikan Kinanti dan kepribadiannya yang lembut. Aku mencoba melakukan pendekatan untuk meraih cintanya.

Kinanti adalah gadis yang istimewa bagiku. "Cap playboy" Alan Erlangga saat itu yang telah merusak pendekatanku kepada Kinanti. Aku benar-benar ditolak mentah-mentah oleh Kinanti.

"Alan lebih baik kita bersahabat seperti selama ini," kata Kinanti saat itu. Aku pikir benar katanya lebih baik bersahabat.

Hubungan yang tulus tanpa pamrih adalah persahabatan. Hubungan yang tidak pernah berujung pada kebencian adalah persahabatan.

Cinta dan benci perbedaannya hanya tipis sekali dalam hubungan kekasih seperti sebuah kata bijak, Cintailah apa yg kau cintai sewajarnya, mungkin suatu hari ia akan menjadi sesuatu yang kau benci. Bencilah apa yang kau benci sewajarnya, mungkin suatu hari ia akan menjadi sesuatu yang kau cintai.

Kejadian penolakkan cintaku oleh Kinanti yang telah membuka mata hatiku. Aku tidak sakit hati padanya. Karena justru Kinanti yang telah menyadarkanku dari petualangan cinta yang liar.

Kinanti selalu mengingatkanku bahwa cinta itu sangat luhur dan terhormat jangan dikotori dengan nafsu.

"Ayo masuk Alan. Sorry rumah masih berantakan. Oh ya Bapak dan Ibu kemarin ke Jakarta dan anak putriku masih belum pulang sekolah."

"Kamu tidak ke Kampus?"

"Kalau hari Sabtu kebetulan jadwal Fakultas kosong.  Ngomong-ngomong ada acara apa nih ke Bandung?" Tanya Kinanti.

"Aku ada Raker di Jakarta Kamis dan Jumat kemarin ya sekalian saja ke Bandung sekalian bernostalgia."

"Bagaimana kabar tentang Listya?" Tanya Kinanti.

"Oh ya bulan yang lalu dia ke Kampus untuk mengurus rencana program spesialisasi Apoteker. Sempat juga bertemu denganku."

"Aku masih terpana dengan kecantikan dan kelembutan Listya."

"Listya menyampaikan salam untuk Bu Kinan. Katanya Bu Kinan sangat cantik berbahagialah Pak Alan dapat teman hidup seperti Bu Kinan."Kataku menyampaikan salam Listya untuk Kinanti apa adanya.

Mendengar hal itu kulihat Kinanti tertawa. Tawanya terasa ceria penuh bahagia.

"Alan menurutku, Listya itu mencintaimu seperti halnya kamu mencintainya. Aku bisa merasakan bagaimana perasaan hati seorang wanita." Kata Kinanti.

"Aku masih ingat waktu itu bagaimana tatapannya ketika kau memperkenalkanku padanya. Sebenarnya Listya sangat mengharapkanmu," kata Kinanti melanjutkan.

Aku termenung mencerna kata-kata Kinanti. Memang aku juga bisa merasakan cinta Listya. Semakin lama semakin kuat justru malah menjelang dia menikah.

Berarti yang dikatakan Amel, sahabatnya itu benar bahwa Listya menikah dengan Rizal bukan karena cinta tapi karena hutang budi orang tua Listya kepada keluarga Rizal.

Untuk memastikan hal ini aku harus bertanya kepada Listya. Nanti dulu jika itu harus dilakukan maka dibutuhkan keberanian ekstra.

Apakah aku cukup berani bertanya tentang hal yang sangat sensitif itu kepada Listya? Entahlah aku belum mau mencobanya. Namun tentang hal ini sementara tidak boleh diketahui dulu oleh Kinanti biar aku saja yang tahu.

"Hei kok malah melamun?" Suara Kinanti menyadarkanku dari lamunan sesaat itu.

"Kinan, bagaimana kalau sementara ini kita tidak bahas dulu soal Listya. Bagiku dia sudah bahagia dengan suaminya."

"Ya yang penting kamu juga tidak boleh kembali menutup diri. Buka hatimu untuk menerima cinta seseorang. Diana Faria sudah ada di masa lalu mungkin juga Daisy Listya." Kinanti berkata sambil menatapku.

"Kinan sebenarnya aku ingin jujur kalau aku masih berharap kepada Listya. Aku tidak tahu mengapa begitu."

Aku menjelaskan kepada Kinanti bahwa ada yang aneh karena cintaku semakin bersemi. Harapan itu semakin tumbuh ketika Listya mau melanjutkan ke program spesialis Apoteker. Tentu aku sering bertemu dengannya.

Apalagi ketika dia menginginkan aku kembali membimbingnya sebagai Dosen, aku merasakan kebahagiaan.

Sungguh aku membayangkan setiap hari selalu bertemu Listya yang menjadi mahasiswi bimbinganku. Berbincang berdiskusi bercanda seperti dulu lagi, alangkah bahagia.  Walaupun realitanya Listya sudah menjadi milik Rizal suaminya.

Mendengar perkataanku tadi kulihat Kinanti terdiam membisu. Aku melihat wajahnya muram tapi hanya beberapa saat saja Kinanti terlihat kembali ceria.

Pada usia yang ke 45 ini Kinanti masih tetap cantik walaupun kini sudah memiliki putri yang berusia remaja. Memiliki wajah khas Sunda dengan kulit kuning langsat.

Matanya yang indah dan senyumnya yang ramah menambah karakter kecantikannya semakin sempurna.

Wanita diciptakan Allah untuk cantik dan kecantikan yang sejati adalah kecantikan yang bisa dirasakan dengan hati.

Wanita tidak boleh menyalahi kodratnya untuk cantik. Nah pagi ini Kinanti benar-benar alami dengan pakaian rumah seadanya tapi tetap sopan, wajah ovalnya tanpa make up terbalut jilbab.

Aku teringat saat Kinanti remaja SMA dulu. Gadis ceria yang cerdas, cantik, ramah penuh dengan pesona. Rasanya tidak percaya dalam situasi seperti ini aku kembali bertemu dengannya.

"Aku kan pernah bilang jika kita kehilangan satu harapan maka biarkan kita tumbuhkan seribu lagi harapan jika seribu harapan juga hilang maka kita tumbuhkan lagi sejuta harapan. Tiada harapan yang boleh padam dari hati kita." Kata Kinanti.

"Ya Kinan aku tidak pernah lupa kata-katamu. Manusia harus terus memiliki harapan, " kataku.

"Namun tetap kita harus berpijak pada realita. Kita tetap jalani hidup ini apa adanya. Rasa ikhlas dalam hati untuk selalu menerima takdirNya adalah kesempurnaan manusia sebagai hambaNya," kembali Kinanti berfilosofi. 

Mendengar ini aku kembali termenung teringat masa-masa SMA. Hanya Kinanti yang selalu memberi pencerahan seperti ini.

"Ya Kinan aku sangat bersyukur memiliki sahabat sepertimu. Sejak dulu kamu adalah satu-satunya teman wanitaku yang selalu mengingatkanku." Kataku.

"Aku juga selalu teringat bahwa Kinanti adalah satu-satunya gadis yang berani menolak cinta seorang playboy urakan seperti Alan Erlangga ini. Satu-satunya gadis yang telah menyadarkanku dari petualangan yang menyesatkan." Aku berkata penuh kesungguhan namun disambut dengan tawa Kinanti.

"Ah Alan sudahlah. Masa lalu masa SMA dulu sudah ada di belakang sana. Aku hanya seorang sahabat yang mencoba mengingatkan kekeliruan jalan yang kau tempuh. Aku bersyukur ternyata Alan Erlangga mau mendengar dan mengikuti apa yang ku katakan." Kata Kinanti bijak.

"Terima kasih Kinan. Kejadian waktu itu telah membuat mataku terbuka. Wanita adalah mahluk Allah yang harus dicintai bukan disakiti. Ketika aku mencintai Diana Faria sepenuh hati ternyata Allah mengambilnya mungkin untuk memberi pelajaran padaku. Wah wah wah kok jadi serius begini?" kataku mencairkan suasana. 

Kulihat Kinanti tersenyum lembut sambil menatapku penuh arti.

"Alan sampai aku lupa menawarkan minum. Mau minum apa?"  

"Apa saja Bu Kinanti, yang penting tidak pakai gula," kataku.

"Alan sedang diet ya?" Tanya Kinanti.

"Tidak juga hanya mengurangi konsumsi gula saja. Kata dokter pada usia kita ini harus mengurangi konsumsi gula," kataku.

"Oh kalau begitu aku juga harus mengurangi konsumsi gula," kata Kinanti.

"Kalau Kinanti memang tidak perlu gula sama sekali. Tidak apa-apa, tanpa gula masih tetap manis," kataku bercanda.

"Nah mulai kelihatan lagi sisa-sisa SMA dulu," kata Kinanti sambil pura pura cemberut. Aku tertawa tergelak.

Dulu sewaktu SMA sebenarnya aku mengutarakan cintaku pada Kinanti benar-benar keluar dari lubuk hati ini.

Aku juga memaklumi saat Kinanti menolak dengan halus karena memang reputasiku yang buruk membuat Kinanti tidak percaya padaku.

 "Alan kau melamun lagi. Sudahlah masa-masa SMA lewat jauh dibelakang. Dulu aku hanya tidak menyukai perbuatanmu bukan tidak menyukai dirimu. Kau tetap sahabatku. Dulu juga hal ini aku sudah pernah mengatakan padamu," kata Kinanti.

"Ya Kinan dari dulu aku sudah menyadarinya dan aku sangat berterima kasih padamu. Aku tidak tahu apa jadinya andai saja waktu itu kau tidak menyadarkanku."

"Al sudah jangan berlebih-lebihan. Kita cerita yang lain saja. Oh ya kau belum kenal putri Si Mata Wayangku ya. Namanya Intan Permatasari. Dia sekarang masih di sekolah baru siang nanti pulangnya," kata Kinanti sambil mengambil foto di atas meja kecil yang penuh dengan hiasan.

Aku menerima foto itu. Intan Permatasari cantik seperti ibunya. Benar-benar Intan penuh pesona. Gadis yang sedang tumbuh beranjak dewasa.

"Intan Permatasari nama yang sesuai dengan orangnya. Cantik seperti ibunya dan aku yakin Intan juga cerdas," kataku memuji tulus.

Kinanti tertawa terlihat senang mendengar pujian untuk anak putrinya.

"Anak putriku ini sangat protektif sekali. Aku selalu dilindungi secara berlebihan. Setiap ada lelaki yang datang ke rumahku, Intan selalu bertanya apakah itu pacar Ibu?"

"Bagus dong. Itu cinta seorang putri kepada Bunda tercinta."

"Memang ada teman-teman dosen yang masih jomblo yang mencoba mendekatiku. Paling tidak sudah tiga orang dan aku selalu meminta pendapat putriku. Ternyata Intan tidak merestui," kata Kinanti.

"Lalu kau sendiri bagaimana? Apakah ada yang sudah menawan hatimu?" Tanyaku serius.

Heran aku tidak tahu kok tiba-tba saja ada rasa cemburu dari nada pertanyaanku itu.

"Entahlah Al. Bagiku semuanya aku serahkan kepada Intan. Kebahagiaanku adalah kebahagiaan Intan. Saat ini aku hanya mengharapkan kedamaian dan ketenteraman hati".

"Benar Kinan." Rasanya lega belum ada lelaki yang membuat Kinanti jatuh cinta.

"Kadang-kadang saat aku sendiri dan teringat mendiang suamiku saat itu aku merasa sendiri. Lho Alan sekarang malah aku yang jadi sensitif begini, sorry," kata Kinanti mencoba tersenyum tapi aku melihat ada setitik air mata di sudut matanya.

"Tidak apa-apa Kinan. Kita adalah orang-orang yang sedang diuji olehNya sebagai hamba yang harus merasakan kehilangan orang yang dicintainya." Kataku sok bijak.

Mengobrol di Rumah Kinanti memang mengasyikkan sampai tidak terasa hari semakin siang.

Ketika terdengar suara deru sepeda motor berhenti dan aku melihat seorang gadis memarkir sepeda motor di teras depan rumah itu.

Aku mencoba menebak inilah Intan Permatasari. Gadis yang cantik tinggi semampai ibarat bunga sedang tumbuh ranum yang kelak menjadi rebutan kumbang di sekitarnya.

"Nah ini Intan!" Seru Kinanti sambil mengenalkannya padaku.

"Oh ini Intan, ternyata lebih cantik orangnya daripada fotonya," kataku bercanda. Intan tersenyum menawan sambil menjabat tanganku.

"Ternyata Om Alan juga ganteng lho seperti dibilang Ibu," kata Intan polos.

"Hah Ibumu bilang begitu?" Tanyaku pura-pura kaget.

"Iya Om Ibu sering cerita punya sahabat baik namanya Om Alan. Orangnya baik dan ganteng nanti suatu hari aku akan dikenalkan Ibu," kata Intan.

Maka kamipun tertawa sehingga ruang tamu itu penuh dengan canda ria. Perkenalan yang sangat mengesankan. Intan berpamitan meninggalkan kami berdua.

"Alan! Lihat. Anakku naksir kamu lho. Kamu itu masih digandrungi anak-anak ABG mangkanya aku yakin Listya itu cinta sama kamu," kata Kinanti sambil tertawa.

"Kinan. Jangan ngawur." Kataku protes dan Kinanti tertawa tergelak.

Listya, namanya terdengar lagi dalam perbincangan ini. Kinanti begitu yakin kalau Listya mencintaiku. Apakah ini harapan? 

Aku tidak akan menyimpannya di tempat yang tinggi agar nanti jika jatuh tidak bertambah sakit. Namun aku harus mengakui bahwa Listya selalu di hatiku.

"Alan aku mau ngomong jujur ya. Kamu itu masih kelihatan seperti pemuda dua puluhan. Bagaimana tadi aku melihat Intan begitu terpesona memandangmu," kembali suara tawa Kinanti menyinggung lagi momen Intan saat menjabat tanganku.

"Sudahlah Kinan. Kamu jangan mengolok-olokku seperti itu."

"Ok Boss. Tapi aku mau bertanya. Di Kampusmu pasti bukan Listya saja yang naksir kamu."

"Mana aku tahu, yang kutahu aku hanya cinta Listya saja."

Rumah Kinanti di Arcamanik itu bukan rumah yang asing. Namun Sabtu itu, saat pertemuanku dengan Kinanti di beranda rumahnya, benar-benar meninggalkan kesan yang sangat indah.

Walaupun hanya sebentar berbincang tapi telah membuka lagi lembar-lembar cerita lama bersama Kinanti.

Bagaimanapun juga Kinanti adalah bagian dari masa laluku selain Diana Faria. Bagaimana dengan Daisy Listya?

Dia belum merupakan bagian masa laluku dan aku berharap semoga saja Listya menjadi bagian dari masa depanku.

Senin pagi itu kegiatan rutinku menuju Kampus Dharmawangsa Dalam, kembali harus kujalani. Teringat Kinanti, ada rasa kangen karena di Bandung waktu itu bertemu hanya sebentar.

Dalam perjalanan menuju Kampus itu sebuah lagu yang dinyanyikan oleh Gya mengalun merdu dari sebuah Radio FM di mobil yang kukendarai.

Mendengar syair lagu ini aku teringat masa SMA dulu ketika Kinanti selalu ingin menjadikanku hanya seorang sahabat. 

Sekian lama bersamamu

Kau selalu menyenangkan

Kuberikan perhatian

Dalam setiap kesempatan

Kurasakan ada sesuatu

Yang kubaca dari setiap tatap matamu

 

Jangan kau pernah menduga

Aku mengharapkan kau jadi milikku

Itu tak mungkin terjadi

Sungguh aku tak menginginkan

Yang kuinginkan kau jadi sahabatku

Semoga kau mengerti

 

Perhatian yang kau beri

Tak kan pernah kulupakan

Tapi jangan kau artikan

Kuinginkan sesuatu yang lebih

Kurasakan ada sesuatu

Yang kubaca dari setiap tatapan matamu

 

Jangan engkau pernah menduga

Aku mengharapkan kau jadi milikku

Itu tak mungkin terjadi

Sungguh aku tak menginginkan

Yang kuinginkan kau jadi sahabatku

Semoga kau mengerti

 

Menduga....

Itu tak mungkin terjadi..

Sungguh aku tak menginginkan

Yang kuinginkan engkau jadi sahabatku

Semoga kau mengerti

@hensa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun