"Oh kalau begitu aku juga harus mengurangi konsumsi gula," kata Kinanti.
"Kalau Kinanti memang tidak perlu gula sama sekali. Tidak apa-apa, tanpa gula masih tetap manis," kataku bercanda.
"Nah mulai kelihatan lagi sisa-sisa SMA dulu," kata Kinanti sambil pura pura cemberut. Aku tertawa tergelak.
Dulu sewaktu SMA sebenarnya aku mengutarakan cintaku pada Kinanti benar-benar keluar dari lubuk hati ini.
Aku juga memaklumi saat Kinanti menolak dengan halus karena memang reputasiku yang buruk membuat Kinanti tidak percaya padaku.
 "Alan kau melamun lagi. Sudahlah masa-masa SMA lewat jauh dibelakang. Dulu aku hanya tidak menyukai perbuatanmu bukan tidak menyukai dirimu. Kau tetap sahabatku. Dulu juga hal ini aku sudah pernah mengatakan padamu," kata Kinanti.
"Ya Kinan dari dulu aku sudah menyadarinya dan aku sangat berterima kasih padamu. Aku tidak tahu apa jadinya andai saja waktu itu kau tidak menyadarkanku."
"Al sudah jangan berlebih-lebihan. Kita cerita yang lain saja. Oh ya kau belum kenal putri Si Mata Wayangku ya. Namanya Intan Permatasari. Dia sekarang masih di sekolah baru siang nanti pulangnya," kata Kinanti sambil mengambil foto di atas meja kecil yang penuh dengan hiasan.
Aku menerima foto itu. Intan Permatasari cantik seperti ibunya. Benar-benar Intan penuh pesona. Gadis yang sedang tumbuh beranjak dewasa.
"Intan Permatasari nama yang sesuai dengan orangnya. Cantik seperti ibunya dan aku yakin Intan juga cerdas," kataku memuji tulus.
Kinanti tertawa terlihat senang mendengar pujian untuk anak putrinya.