Mohon tunggu...
AKIHensa
AKIHensa Mohon Tunggu... Penulis - PENSIUNAN sejak tahun 2011 dan pada 4 Mei 2012 menjadi Kompasianer.

KAKEK yang hobi menulis hanya sekedar mengisi hari-hari pensiun bersama cucu sambil melawan pikun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Reuni

22 Agustus 2020   15:48 Diperbarui: 22 Agustus 2020   20:17 571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika mendengar kabar bakal ada Reuni Akbar SMA, aku seperti ingin berteriak gembira. Bukan apa-apa, jika benar Reuni itu terlaksana maka aku sangat berharap bertemu dengan Intan Permatasari.

Tiga Puluh Sembilan tahun yang lalu sejak lepas dari SMA sebuah Kota kecil di lereng Gunung Ciremai, aku sudah tidak pernah bertemu dengan Intan. Tidak terasa sudah hampir empat dasa warsa aku meninggalkan Kota kelahiranku.

Selama itu hanya pada saat Hari Lebaran saja aku menyempatkan berkunjung ke sana sekedar untuk bersilaturahmi dengan para kerabat dari Ibuku.

Pada saat Lebaran itu kadang-kadang aku sempat bertemu juga dengan teman dan sahabat lama baik saat SMP maupun SMA. 

Namun selama itu pula aku belum pernah sekalipun berjumpa lagi dengan Intan Permatasari.

Sempat suatu hari saat mudik Lebaran tiga tahun yang lalu aku mendengar kabar tentang Intan. Ketika itu aku bertemu dengan Diana teman sebangkunya saat SMA dulu.

"Hensa bagaimana kabarmu?" Tanya Diana.

"Alhamdulillah baik. Diana, sungguh kamu terlihat awet muda. Kamu masih kelihatan cantik," kataku. 

Diana hanya tertawa mendengar pujianku. Mungkin maklum karena dulu aku terkenal sebagai pria perayu ulung.

"Hensa tahun lalu aku bertemu dengan Intan lho," kata Diana.

"Oh iya. Bagaimana dia kabarnya, dimana sekarang tinggalnya, anaknya sudah berapa?" Tanyaku bertubi-tubi.

Diana kembali tertawa mendengar pertanyaan beruntunku yang heboh itu. 

"Sabar pertanyaannya satu-satu," Kata Diana kalem sambil tertawa. 

"Saat itu Intan juga sempat tanya kamu. Aku bilang Hensa sekarang tinggal di Jawa Timur. Sudah punya dua putra. Intan juga bilang ingin ketemu kamu," kata Diana.

Mendengar ini aku merasakan rasa haru berarti Intan masih ingat padaku. 

"Kukira dia sudah lupa padaku," kataku bergumam.

"Hensa mana mungkin dia melupakanmu. Kamu kan cowok pertama yang berani mengutarakan cinta padanya." Suara Diana menegaskan bahwa Intan tidak mungkin melupakanku.

"Ya tapi sampai sekarang Intan belum pernah mengucapkan balasan apapun terhadap perasaanku sampai akhirnya kami berpisah untuk melanjutkan studi masing-masing," kataku dengan nada pasrah.

Diana sebagai teman dekat Intan pasti tahu betul rahasia perasaan Intan dan semua yang menyangkut aku dan Intan. 

"Hensa tahu tidak sampai saat ini Intan belum menikah," suara Dina memecahkan suasana. Aku sangat terkejut mendengar berita ini.

"Diana, kenapa Intan belum menikah?"

"Aku juga tidak tahu. Sebagai wanita yang karirnya sukses mungkin Intan sudah agak sulit menemukan teman dalam pergaulan yang setara dengannya."

Intan Permatasari bekerja di sebuah Perusahaan Ekspor-Impor di Jakarta. Dia memegang jabatan yang sangat penting dalam perusahaannya, demikian Diana menceritakan karir Intan saat ini.

"Hensa saat ini Intan masih cantik seperti dulu. Kabar baik lainnya dia kirim salam untukmu dan keluarga." Kata Diana.

"Terima kasih Diana," kataku.

Itulah kabar terakhir tentang Intan Permatasari. Ah aku jadi ingat saat aku mengutarakan cintaku padanya. Intan bagiku adalah sahabat di Sekolah maupun di luar Sekolah.

Dia teman grup belajarku. Setiap ada PR Matematika, Goniometri, Ilmu Ukur Ruang, Ilmu Pesawat Mekanika, Kimia, Fisika, Biologi, Intan adalah jagoannya. Gadis ini juara di kelasku.

Aku bersyukur bisa bersahabat dengannya. Akupun bersyukur diantara teman prianya, Intan lebih percaya padaku. Mungkin karena aku ini orangnya polos dan agak sedikit religius entahlah.

Jika pada saat ada acara sekolah yang diselenggarakan malam hari maka aku selalu diminta untuk menemaninya. Begitupula Ibunya tampak lebih sering menitipkannya kepadaku agar ditemani saat pulang.

Sejak kelas tiga SMP kami memang sudah bersahabat. Banyak teman pria yang lain berusaha untuk mendekati Intan namun selalu dengan halus Intan menghindarinya.

Setiap ada teman pria yang mendekatinya maka Intan selalu bercerita kepadaku. Hingga pada suatu kesimpulan sesungguhnya Intan sedang mengharapkan pria mana. Apakah ini saatnya aku harus maju "menembaknya" mengutarakan isi hati.

Saat kelas tiga SMA itulah aku memutuskan untuk mengutarakan cintaku kepada Intan. Saat itu baru saja kami menerima pengumuman kelulusan Ujian Akhir SMA.

Kami keluar dari Ruangan Pertemuan itu setelah pengumuman kelulusan para murid. Berjalan menuju sebuah tempat yang bernama Samoja Opat yang ada di seberang jalan depan Sekolahku.

Tempat ini penuh dengan rindang pepohonan. Aku dan Intan sering datang ke tempat ini hanya untuk sekedar ngobrol santai.

Siang itu kamipun menuju ke sana hanya sekedar ingin mengukir nama-nama kami pada sebuah pohon di situ.

Intan + Hensa, demikian dua nama itu terukir di batang sebuah pohon besar. Lalu kami duduk di atas sebuah batu menghadap ke arah Sekolahku.

"Intan tahun depan kita sudah meninggalkan SMA tercinta kita ini. Kamu mau kuliah dimana?" Tanyaku.

"Hen rencanya aku ingin kuliah di Yogya. Di sana ada Om Budi, adik Ibu. Kalau Hensa rencana kuliah dimana?" Intan balik bertanya sambil memandangku.

"Aku mungkin kuliah di Bogor. Aku suka pelajaran kimia. Di sana ada Perguruan Tinggi Kimia mungkin aku kuliah di sana," kataku.

"Hensa, nanti kita berjauhan ya. Aku di Yogya dan kamu di Bogor," suara Intan pelan. Aku melihat wajah gadis ini kelihatan murung. Aku juga merasakan suasana kesedihan tergambar dalam wajah Intan.

"Aku kalau kangen gimana?" Suara Intan pelan. Aku tertegun tidak bisa bicara.

"Kita bisa berkirim surat atau telepon ya Hen!" Kembali suara Intan seperti tersekat di kerongkongan.

"Intan saat-saat seperti ini aku merasakan kesedihan. Yang aku takutkan selama ini ternyata terjadi. Kita nanti akan berpisah."

"Iya Hensa. Walaupun nanti kita jauh tapi hati kita tetap dekat."  

"Intan! Maukan mendengarkan apa yang selama ini aku rasakan?" Akhirnya aku mulai membuka kata untuk curahan hati ini.

Mendengar ini Intan hanya menatapku tajam. Aku juga memandang gadis cantik ini. Mata indahnya dan wajah cantiknya dengan rambut hitam panjang sebatas bahu itu benar-benar memukauku. Kami hanya bisa saling berpandangan.

"Intan selama ini ternyata aku sangat mencintaimu!" Kataku tegas.

Aku lihat Intan hanya tertunduk. Beberapa saat kami terdiam. Tidak ada jawaban dari bibir mungil gadis ini. Aku melihat Intan mulai terisak. Titik air matanya mulai membasahi pipinya.

Siang itu begitu hening. Hanya angin semilir menerpa dedaunan rindang di Samoja Opat itu. 

Peristiwa itu begitu berkesan bagiku walaupun hingga saat ini aku tidak pernah mendengar sepatah katapun jawaban dari Intan.

Sejak lulus SMA dan melanjutkan kuliah di Bogor kemudian selama 30 tahun ini aku menghabiskan kehidupanku di sebuah Kota Pesisir Jawa Timur. Kota ini sudah seperti tempat kelahiran keduaku. Kota tempat aku menggapai semua masa depanku.

Intan Permatasari walaupun tidak bisa begitu saja aku lupakan namun di Kota ini aku merasa lebih realistis menjalani kehidupanku. Aku sangat tenteram bahagia bersama keluarga.

Kabar tentang Reuni Akbar Lintas Angkatan mulai tahun 1961 sampai tahun terakhir benar-benar acara yang sangat aku nantikan hanya dengan satu harapan yaitu bertemu dengan Intan Permatasari.

Reuni Akbar ini seakan membuka kembali lembaran-lembaran lama. Aku sungguh sungguh ingin menghadiri acara reuni ini maka segera saja mengatur jadwal kerjaku agar pada hari H Reuni tersebut benar-benar tidak berbenturan dengan tugas-tugas Kantor.

Hari yang ditunggu itu akhirnya datang juga. Kegiatan Reuni dimulai dengan acara jalan sehat Sabtu pagi dilanjutkan dengan Bazar serta pertandingan Final Basket antar SMA/SMK.

Aku sendiri tidak bisa mengikuti acara-acara tersebut. Aku baru bisa hadir pada malam Minggunya yaitu acara Malam Temu Kangen.

Malam itu aku melangkah dengan penuh harapan ingin ketemu dengan Intan Permatasari. 

Memasuki Gerbang Sekolah sudah banyak para alumni. Mereka mungkin angkatan yang muda-muda karena tidak ada yang mengenaliku.

Ketika tiba-tiba seseorang memanggilku. Ternyata disana sudah berdiri Diana sambil melambaikan tangannya. Aku segera menghampiri Diana. Kami saling bersalaman.

"Hensa baru datang ya. Tadi pagi tidak ikut jalan sehat?" Tanya Diana.

"Iya. Oh ya teman-teman yang lain mana?" Tanyaku sambil melihat ke sekiling ruangan.

Tiba-tiba muncul berbarengan Dony, Kadir, Agus, Neni, Eli, Bunga namun tidak ada Intan Permatasari.

Kemanakah kamu Intan. Setelah ngobrol-ngobrol kangen akhirnya mereka, teman-temanku itu pamit padaku karena kebetulan mereka adalah Panitia pada acara ini.

Aku berjalan menuju Panggung yang megah di tengah-tengah antara Aula dan lapangan terbuka. Udara malam itu sangat sejuk dan langit cerah penuh Bintang.

Berjalan sendiri melintasi koridor melewati kelas-kelas yang dulu pernah menjadi tempatku belajar. Lalu aku kembali lagi menuju arah panggung dimana acara puncak Temu Kangen dilangsungkan.

Belum sampai sisi Panggung aku melihat seorang wanita duduk sendirian kebetulan di sebelahnya juga ada kursi kosong.

Aku seperti mengenal betul siapa wanita itu. Menggunakan gaun berwarna hitam rambut panjang sebatas bahu dengan perawakan semampai. Ya Allah tidak salah lagi, dia Intan Permatasari. Aku menghampirinya setengah berlari.

"Intan!" Panggilku. Wanita itu menoleh dan menatapku sambil tersenyum.

"Hensa!" Katanya membalas sapaanku. Sambil tersenyum memandangku.

Aku duduk di sampingnya. Intan masih cantik seperti dulu. Masih terbayang saat dia mengenakan seragam putih abu-abu. Ya wanita di depanku ini Intan Permatasari.

"Aku sengaja datang ke reuni ini semata-mata hanya karena ingin bertemu denganmu!" Kata Intan. Mendengar ini aku tersenyum.

"Kamu sudah punya putra berapa?" Tanya Intan.

"Putraku dua sekarang mereka sudah bekerja mungkin sebentar lagi aku mau menikahkan putra pertamaku."

"Berbahagialah Hensa. Sementara aku hingga saat ini masih sendiri." Suara Intan memendam kepedihan.

Aku melihat wajahnya penuh kesedihan. Wajah Intan masih cantik seperti dulu sama seperti ketika pada saat aku mengutarakan cintaku kepadanya.

Saat ini seakan aku sedang mengalami adegan ulang 39 tahun yang lalu. Aku lihat tiba-tiba Intan menangis tersedu lalu dia berkata dalam tangisnya.

"Hensa sebenarnya aku juga mencintaimu. Maaf sangat terlambat menjawab kata cintamu." Untaian kata Intan yang diucapkannya sambil masih menangis.

Aku hanya termenung mendengar pengakuannya.  Sementara itu di Panggung Temu Kangen baru saja disampaikan oleh MC bahwa lagu jadul berikutnya adalah Andaikan Kau Datang.

Sementara lagu itu mengalun, Intan masih terisak. Suasana yang mengharukan diringi alunan lagu Koes Plus itu. Kemudian dia menatapku tajam seakan-akan tatapan ini adalah yang terakhir kalinya.

"Maafkan Hensa, aku tidak bisa memberikan kebahagiaan untukmu," katanya pelan.

"Aku sekarang lega karena sudah bertemu denganmu dan aku berharap kamu sudah tahu isi hatiku juga mau mmemaafkanku." Kembali Intan berkata sambil berdiri menatapku.

"Hensa aku pamit dulu ya." Intan berpamitan sambil menatapku dengan tatapan yang berat. Tatap sejuk matanya masih seperti dulu. Intan berlalu meninggalkanku dengan isak tangisnya.

Saat itu aku benar-benar terpaku tidak bisa berbuat apa-apa setelah beberapa lama baru aku tersadar kalau Intan sudah pergi dariku.

Aku berlari mengejarnya sampai Pintu Gerbang Sekolah. Tidak ada. Mungkin masih di Tempat Parkir. Tidak ada satupun kendaraan yang keluar dari tempat parkir.

Intan telah pergi. Aku telah membiarkan dia pergi. Kenapa aku tidak menahannya. Malam itu sampai acara usaipun aku benar-benar tidak bisa menikmati kemeriahan Temu Kangen ini.

"Hai Hensa kenapa kamu kelihatan murung?" Suara Diana menyadarkanku dari kegundahan hati karena ditinggal Intan.

"Aku tadi bersama Intan Permatasari tapi dia pergi meninggalkanku," kataku menjelaskan.

"Intan Permatasari katamu Hensa?" Diana terheran-heran.

"Iya aku tadi berbincang, bernostalgia. Lalu Intan menyatakan cintanya kepadaku sambil minta maaf kalau cintaku baru terbalas sekarang."

Aku lihat Diana masih terbengong seperti orang yang benar-benar tidak percaya dengan ceritaku ini.

"Intan menangis tersedu dan berpamitan padaku. Aku tidak bisa mencegahnya pergi," kataku pelan penuh kegundahan.

Kembali aku melihat Diana hanya terheran-heran dan menarik nafas dalam-dalam.

"Hensa. Aku lupa memberitahumu." Kata Diana.

"Memberi tahu tentang apa Diana?"

"Memberitahu tentang Intan."

"Ada apa dengan Intan?"

"Intan sudah tiada setahun yang lalu karena menderita kanker kista ovarium." Diana menjelaskan dengan mata berkaca-kaca.

Mendengar ini aku hanya tertegun dan tidak percaya jika tadi aku memang benar-benar bertemu dengan Intan Permatasari. Sangat nyata aku berdialog dengannya.

Aku merasakan ada tepukan lembut dipunggungku. Ya tepukan dari Diana agar aku bisa tabah. Aku masih tertunduk sambil membayangkan saat tadi Intan mengatakan cintanya padaku.

Mendiang Intan Permatasari hadir dalam Reuni ini untuk menyatakan cintanya padaku. Ya ALLAH semoga Intan selalu mendapat perlindungan dan kedamaian di sisiMU.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun