Penanganan limbah padat blotong dan abu ketel bisa dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan kompos yang berguna untuk pupuk organik tanaman tebu.
Bagaimanakah proses pembuatan kompos dari bahan limbah tersebut? Mari kita simak uraian berikut ini.
Karakter Limbah Padat Pabrik Gula
Beberapa Pabrik Gula (PG) telah memanfaatkan blotong dengan menyebarkan ke lahan tebu sebagai sumber bahan organik dengan dosis berkisar antara 40 -- 60 ton per hektar.
Masalah utama pada aplikasi blotong ke lahan adalah ketersediaan blotong dan biaya aplikasinya karena kebutuhan pemberiannya yang dalam jumlah besar seperti biaya angkut dan penyebarannya di lahan tebu.
Sehubungan dengan permasalahan yang dihadapi tersebut maka diperlukan teknologi untuk mengubah limbah organik pabrik gula menjadi pupuk organik yang siap pakai dengan memiliki nilai-nilai lebih yang tidak terdapat pada blotong tanpa pengomposan. Pupuk organik  ini biasa disebut dengan kata Kompos.
Limbah padat pabrik gula yang berupa ampas tebu, blotong dan abu ketel mengandung sebagian unsur hara yang diserap tanaman tebu dari tanah.
Limbah tersebut berpotensi digunakan kembali sebagai sumber organik tanah melalui suatu proses, sehingga dapat dikembalikan ke lahan pertanian dengan aman.
Ampas tebu sebagai sumber organik memiliki komposisi yang didominasi oleh unsur carbon dalam bentuk selulosa, hemiselulosa dan lignin. Kadar Carbon sebesar 38,5 persen dan Nitrogen sebesar 0,29 persen.
Komposisi Carbon tinggi namun kadar Nitrogen amat rendah, sehingga ampas memiliki nisbah C/N yang sangat tinggi yaitu 137,5. Dengan komposisi ratio karbon terhadap nitrogen yang tinggi tersebut, maka ampas tebu sangat beresiko mengganggu tanaman apabila diberikan langsung pada tanaman.
Blotong, khususnya blotong sulfitasi lebih sesuai karakternya untuk digunakan sebagai bahan utama pupuk organik. Hal ini disebabkan nisbah C/N yang cukup ideal sekitar 30 -40, walaupun terdapat variasi untuk masing-masing pabrik gula antara 25 -- 80.