Berbicara mengenai limbah pabrik gula (PG), maka dikenal ada tiga jenis limbah yaitu limbah padat, limbah cair dan limbah gas. Â
Semua jenis limbah tersebut sudah ditangani dengan baik oleh pabrik gula baik yang dikelola oleh swasta maupun BUMN.
Penanganannya sesuai dengan standar keamanan lingkungan yang diberlakukan oleh Kementerian Linkungan Hidup.
BACA JUGA : Sekilas tentang "Sweet Sugar" (4): Bioetanol dari Tebu
Dalam kesempatan pertama ini terlebih dulu akan dibahas dan diuraikan bagaimana penanganan untuk limah padat tersebut. Jenis limbah padat yang sangat serius harus ditangani adalah blotong dan abu ketel.
BACA JUGA : Sekilas tentang "Sweet Sugar" (6): Teknologi Pengolahan Air Limbah Pabrik Gula
Blotong adalah limbah berupa endapan dari hasil proses pemurnian nira di bagian proses klarifikasi bahan gula. Sedangkan abu ketel adalah padatan halus hasil pembakaran ketel di bagian Unit Boiler. Â Â
Sebenarnya ada ampas tebu yaitu sisa sisa dari proses pemerahan tebu di unit gilingan dimana tebu diambil niranya.Â
Juga daun tebu merupakan sisa bahan dari kegiatan tebang tebu di kebun. Namun kedua bahan ini langsung bisa digunakan sebagai hijauan untuk ternak.Â
Ampas tebu bisa digunakan sebagai bahan bakar untuk ketel uap selain sebagai substitusi untuk bahan kompos. Sedangkan daun dan pucuk tebu bisa dipakai sebagai hijauan pakan ternak.
Penanganan limbah padat blotong dan abu ketel bisa dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan kompos yang berguna untuk pupuk organik tanaman tebu.
Bagaimanakah proses pembuatan kompos dari bahan limbah tersebut? Mari kita simak uraian berikut ini.
Karakter Limbah Padat Pabrik Gula
Beberapa Pabrik Gula (PG) telah memanfaatkan blotong dengan menyebarkan ke lahan tebu sebagai sumber bahan organik dengan dosis berkisar antara 40 -- 60 ton per hektar.
Masalah utama pada aplikasi blotong ke lahan adalah ketersediaan blotong dan biaya aplikasinya karena kebutuhan pemberiannya yang dalam jumlah besar seperti biaya angkut dan penyebarannya di lahan tebu.
Sehubungan dengan permasalahan yang dihadapi tersebut maka diperlukan teknologi untuk mengubah limbah organik pabrik gula menjadi pupuk organik yang siap pakai dengan memiliki nilai-nilai lebih yang tidak terdapat pada blotong tanpa pengomposan. Pupuk organik  ini biasa disebut dengan kata Kompos.
Limbah padat pabrik gula yang berupa ampas tebu, blotong dan abu ketel mengandung sebagian unsur hara yang diserap tanaman tebu dari tanah.
Limbah tersebut berpotensi digunakan kembali sebagai sumber organik tanah melalui suatu proses, sehingga dapat dikembalikan ke lahan pertanian dengan aman.
Ampas tebu sebagai sumber organik memiliki komposisi yang didominasi oleh unsur carbon dalam bentuk selulosa, hemiselulosa dan lignin. Kadar Carbon sebesar 38,5 persen dan Nitrogen sebesar 0,29 persen.
Komposisi Carbon tinggi namun kadar Nitrogen amat rendah, sehingga ampas memiliki nisbah C/N yang sangat tinggi yaitu 137,5. Dengan komposisi ratio karbon terhadap nitrogen yang tinggi tersebut, maka ampas tebu sangat beresiko mengganggu tanaman apabila diberikan langsung pada tanaman.
Blotong, khususnya blotong sulfitasi lebih sesuai karakternya untuk digunakan sebagai bahan utama pupuk organik. Hal ini disebabkan nisbah C/N yang cukup ideal sekitar 30 -40, walaupun terdapat variasi untuk masing-masing pabrik gula antara 25 -- 80.
Komposisi blotong dipengaruhi oleh metode proses pemurnian nira yang dilakukan pabrik gula.
Proses karbonatasi mengakibatkan kadar kapur dalam blotong sekitar 35 % atau lebih, tetapi kadar bahan organiknya tidak begitu tinggi. Beberapa data menunjukkan komposisi blotong dari pabrik gula dengan proses pemurnian sulfitasi. Kadar Carbon sebesar 46,83 persen dan Nitroen sebesar 1,38 persen sehingga C/N ratio yang dikandung sebesar 35,75.
Memperhatikan komposisi blotong dan ampas tebu tersebut, maka tidak diragukan lagi bahwa bahan tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sumber organik tanah.
Tentu saja perlu melalui proses degradasi dan sintesis terlebih dahulu untuk mendapatkan bentuk sumber organik yang siap diaplikasikan ke lahan pertanian dan bermanfaat bagi kesuburan tanah.
Abu Ketel adalah bahan potensial lain selain blotong dan ampas tebu. Abu ketel juga merupakan limbah PG yang bermanfaat sebagai bahan baku kompos. Abu ketel bermanfaat dalam desain komposisi bahan kompos sehingga dapat diperoleh kadar C/N yang optimal dan pengkayaan mineral serta mikro elemen yang berasal dari tanaman tebu.
Ditinjau dari aspek unsur mikronya, penambahan abu ketel ke dalam blotong sebagai bahan baku kompos akan memperkaya unsur kalium karena kadar kalium dalam abu ketel realtif tinggi yaitu 7,1 persen.
Prinsip Dasar Proses Pembuatan Kompos
Proses pembuatan pupuk organik atau kompos adalah proses biokimia yang dilakukan oleh mikroba. Maka mutlak kaidah mikrobiologis harus dipenuhi dalam proses pembuatannya.
Berbeda dengan proses kimia, proses mikrobiologis terjadi terutama karena peran mikroba sehingga kondisinya harus diupayakan agar aktivitas mikroba optimum.
Disamping itu species mikroorganisme yang digunakan juga turut menentukan kecepatan degradasi dan hasilnya proses pengomposan.
Proses pembentukan pupuk organik dimotori oleh mikroba yang mendegradasi bahan organik seperti hemisellulosa, sellulosa, protein menjadi CO2 + H2O + energi.
Senyawa hasil degradasi dan sebagian energi tersebut digunakan untuk pembentukan sel baru dan sebagian energi dilepas berupa panas.
Selanjutnya terbentuk senyawa kompleks yang stabil berupa kompleks ligno protein sellulosa yang dinamakan humus.
Berdasarkan skema proses pengomposan, maka terlihat adanya peran mikroba, kondisi lingkungan (air, temperatur, oksigen/udara) serta komposisi bahan.Â
Pemahaman yang mendasar pada prinsip pengomposan merupakan hal mutlak diperlukan untuk menghasilkan mutu kompos yang berkualitas. Udara, air, nutrisi dan suhu secara bersama menghasilkan pengomposan yang baik.
Peran Mikroba. Mikroba yang digunakan sebagai organik dekomposer dalam proses pengomposan antara lain jenis bakteri, actinomycetes dan yeast.
Namun mengingat bahwa komponen utama sebagai sumber karbon dalam bahan kompos adalah sellulosa maka peran jenis mikroba pemecah sellulosa sangatlah besar.
Makin besar daya urai sellulosa mikroba, maka makin cepatlah proses pengomposan selesai. Beberapa jenis mikroba pemecah sellulosa yang dapat  digunakan antara lain Trichoderma sp, Cellulomonas sp, Bacillus sp, Clostridium sp, Actinomyces sp, Streptomyces sp. Sementara yeast Saccharomyces sp berfungsi untuk mengurai gula dalam blotong.
Kondisi lingkungan. Kondisi lingkungan tumbuh mikroba sangatlah berperan dalam mempercepat proses pengomposan.
Adapun beberapa faktor lingkungan yang berpengaruh adalah kadar air, oksigen dan temperatur.
Dekomposisi bahan oleh mikroba akan terjadi secara optimal pada kadar air 50 % - 60 %. Apabila kadar air berkurang dari 50 %, maka proses pengomposan akan berjalan lambat. Pada kadar air dibawah 30 % reaksi dekomposisi yang terjadi sangat lambat dan kurang dari 20 % akan menghentikan reaksi dekomposisinya.
Sebaliknya pada kadar air terlalu tinggi akan membuat bahan menjadi kompak dan mengurangi rongga udara sehingga membatasi akses oksigen/udara ke mikroba.
Kebutuhan oksigen untuk dekomposisi secara teoritis bervariasi antara 1 g oksigen sampai 4 g oksigen per gram bahan organik.
Proses dekomposisi akan terjadi lebih cepat dengan adanya oksigen, sehingga proses aerobik lebih dikembangkan dalam proses pengomposan modern secara komersial dengan berbagai modelnya, baik dengan system ventilasi maupun dengan sistem aerasi paksaan.
Waktu selesainya pengomposan hanya kurang dari 12 hari. Sedangkan proses dekomposisi dengan metode pembalikan tumpukan memerlukan waktu 4 -- 5 minggu. Pada proses anaerobik dekomposisi terjadi lebih lambat.
Temperatur sebagai salah satu faktor lingkungan juga mempengaruhi kecepatan pengomposan. Temperatur optimum dinyatakan oleh beberapa ahli terjadi pada suhu 55 derajat Celcius. Temperatur ini merupakan kondisi optimum untuk efektivitas mikroba thermofilik yang memiliki reaksi dekomposisi yang cepat.
Namun demikian profil temperatur pada suatu tumpukan kompos menunjukkan peningkatan temperatur sampai 70 derajat Celcius. Pada penggunaan bahan kotoran ternak, temperatur yang cukup tinggi ini diklaim sebagai kondisi hygienis untuk membunuh mikroba pathogen yang berasal dari kotoran tersebut.
Komposisi Bahan. Proses pengomposan juga dipengaruhi oleh komposisi bahan, yang secara tidak langsung menggambarkan ketersediaan macam nutrisi yang ada pada bahan kompos.
Mikroba pada prinsipnya memerlukan carbon, nitrogen, phosphate, hidrogen dan oksigen serta mikro elemen untuk pembentukan sel dan energi. Parameter penting dalam nutrisi bahan untuk pengomposan adalah nisbah C/N.
Pada bahan dengan carbon yang tinggi tetapi kadar nitrogen sangat rendah menghambat pembentukan sel mikroba. Proses pengomposan pada nisbah C/N lebih besar dari 80 membuat tidak terjadinya reaksi dekomposisi bahan pengomposan atau kalaupun terjadi akan berlangsung sanat lambat sekali.
Kondisi optimum yang mendukung dekomposisi bahan kompos secara cepat adalah nisbah C/N sekitar 30 -- 40. Kadar nitrogen bahan pengomposan biasanya bervariasi antara 0,5 -- 0,9 %.
Dalam pengomposan bahan limbah padat PG, komposisi bahan didesain untuk mendekati komposisi ideal nisbah C/N sekitar 30. Komposisi bisa bervariasi tergantung kondisi bahannya misalnya blotong : abu : ampas = 8 : 3 : 1 atau blotong : abu = 8 : 2. Apabila dikehendaki kadar humus yang relatif tinggi bisa digunakan bahan ampas lebih banyak.
Penambahan ampas ke dalam komposisi bahan akan meningkatkan kadar humus dan dapat menekan kehilangan N selama pengomposan.
Komposisi yang digunakan akan menentukan dosis decomposer dan lamanya proses pengomposan serta mutu kompos yang dihasilkan.
Semakin tinggi kandungan ampas dalam bahan semakin tinggi nisbah C/N bahan. Sebaliknya semakin tinggi abu akan membuat nisbah C/N semakin rendah.
Tingkat nisbah C/N awal pengomposan yang optimal adalah sekitar 30 dan nisbah C/N akhir pengomposan dikehendaki sekitar 15 -- 17.
Mengingat nisbah C/N blotong dari tiap PG tidak sama dan bervariasi antara 25 -- 80, sehingga perlu didesain komposisinya sesuai dengan nisbah C/N blotong PG yang bersangkutan.
Dengan kondisi tersebut, proses pengomposan berlangsung dalam waktu sekitar 2-3 minggu. Namun tanpa adanya dekomposer proses pengomposan berlangsung lebih lambat hingga mencapai 10 -- 11 minggu.
Penurunan nisbah C/N dan lepasnya CO2 merupakan salah satu indikator yang dipercaya selama proses pengomposan.
Konklusi dari ulasan ini adalah limbah padat PG dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan kompos dengan prospek yang sangat baik.
Pembuatan kompos dari limbah padat PG selain bermanfaat karena produk yang dihasilkan dapat digunakan untuk sumber bahan organik tanah juga merupakan upaya nyata untuk meningkatkan kemampuan lahan kering dalam menahan air.
Daftar Pustaka
Goya, S. S.K. Dhull dan K.K. Kapoor. 2005. Chemical and biological changes during composting of different organic wastes and assessment of compost maturity Bioresource Tehnology, 96 (14) : 1584 -- 1591. Â
Karama,S. 2000. Pengelolaan Limbah Organik Untuk Melestarikan Program Ketahanan Pangan. Semiloka Maporina tanggal 6 September 2000 di Malang. Jawa Timur.
Kurniawan,Y dan E.Premono, 2000. Kompos dan Manfaatnya bagi Tanah dan Tanaman. Gula Indonesia Volume XXV/3. Ikatan Ahli Gula Indonesia IKAGI.
Kurniawan,Y dan Prihastuti, 2000. Daur Ulang Sumber Organik di Pabrik Gula. Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia Pasuruan. Unpublish.
Kurniawan, Y. 2000 Kajian Teknologi Pembuatan Pupuk Organik di Pabrik Gula dan Permasalahannya. Makalah disampaikan di Lembaga Pendidikan Perkebunan Yogyakarta 20-21 September 2000.
Meunchang, S. S. Panichsakpatana dan R.W. Weaver. 2005. Co-composting of filter cake and bagasse; by-products from a sugar mill. Bioresource Technology. 96 (4) : 437 -- 442.
Pavoni,J.L, J.E. Heer and D.J.Hogerty, 1975. Handbook of solid waste disposal : Material and Energy Recovery : 7 -- 56.
Prihastuti dan Y. Kurniawan, 1999. Penggunaan Vinase terolah secara anaerobik sebagai sumber mikroba dalam perombakan ampas tebu. Bulletin P3GI No. 152 Juli 1999. Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia. Pasuruan.
Richard, T. 2000. The compost process. Cornell composting. Resource operator's faet sheets.
Sutisha, G.C. and L. Devarajan, 2007. Effect of amandment on window Composting of sugar industry pressmud. Waste management. 27 (9) : 1083 -- 1091.
Tisdale, S.L. dan W.L.Nelson, 1960. Soil fertility and fertilizers. The Mc Millan Co. New York : 53 -- 63 ; 250 -- 252.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H