Kemudian Burhan melanjutkan lagi. "Dua ratus empat puluh juta untuk penawaran dengan nomor 015. Masih dengan investor yang sama. Kau loloskan juga. Nilai itu dua kali lipat dari penawaran sebelumnya. Bagaimana?"
Rojak mengangguk, dan tersenyum.
Tak berselang lama Burhan pamit. Seketika senyum palsu itu berubah kegelisahan yang tiada berujung. Sore yang yang menyesakan bagi Rojak.
***
Kali ini di tempat yang berbeda, di tengah malam buta masih di hari yang sama tepatnya di warkop tepi kota. Tujuh batang rokok terbaring menyala di lingkaran asbak yang masih mengeluarkan asap. Sesaat Doni datang dan mendaratkan tubuhnya di kursi minimalis.
"Ini kan yang kau minta!," ucap Rojak mengeluarkan amplop senilai seratus dua puluh juta.
Doni mengangguk lalu berkata. "Pil pahit itu besok bisa kau dapatkan lagi." Sambil memasukan amplop itu ke dalam tas selempangnya. Doni melanjutkan. "Seperti biasa, kau ambil di paman siomay langganan kita."
"Paman siomay itu entah kenapa begitu baik kepada kita. Ia rela pontang-panting demi pil pahit yang kita inginkan," tukas Rojak mengeluarkan napas panjang.
"Persisnya, aku tak ingin mengingat tahun kapan tragedi itu terjadi. Setiap kali aku mengingatnya, itu hanya akan membuat bara api di dalam tubuhku tak kunjung padam," ucap Doni bercerita sembari membetulkan posisi punggungnya lalu melanjutkan.
"Burhan dan bapaknya membuat persengkokolan. Kamu tentu tahu, divisi kita itu lahan basah. Pak Salim sebagai kepala divisi beserta bapakku, dulu adalah korban dari mulut busuk Burhan dan bapak nya. Hanya saja Pak Salim dimutasi lalu diganti bapaknya Burhan, sedang bapakku dipecat. Namun, semenjak bapaknya Burhan pensiun Pak Salim dikembalikan lagi ke divisi kita sekarang. Dan aku direkrut menggantikan posisi bapak yang sudah tidak mau lagi bekerja di perusahaan ini. Bapak lebih memilih menekuni dunia siomay."
"Jadi, sosok yang memberiku pil pahit itu bapakmu?"