Pil Pahit Keserakahan
Masih ingat betul, bagaimana pertama kali ia mengenal Doni waktu itu. Tidak banyak omon-omon, tatapan matanya selalu dingin, terkadang humoris, dan setiap ucapannya yang keluar selalu hal-hal penting saja.
Rojak merasa kehadiran Doni membawa keberuntungan. Sebab sudah 1 tahun sebanyak 2 kali Rojak mengalami penolakan lamaran di perusahaan plat merah yang ia geluti sekarang. Akan tetapi Rojak terkejut, bagaimana mungkin dalam satu hari yang cukup singkat ia sudah bergabung di perusahaan yang terkenal super ketat itu. Hanya dengan sebuah percakapan, sederhana.
"Langsung saja ya. Mas Rojak dan Mas Doni selamat bergabung. Dan untuk Mas Doni tetap di sini dulu, dan Mas Rojak kembali ke meja resepsionis, lalu minta diantar ke bagian Surat Menyurat dan Dokumentasi."
Pria itu kemudian berdiri dari kursi hitam yang bisa berputar-putar, lalu menyalami kami berdua.
"Terima kasih, Pak," ucap kami berdua serentak.
Di sela-sela jam istirahat Rojak penasaran dengan orang yang baru dikenalnya itu. Ia berusaha menghubungi Doni. Kemudian bertemu di sebuah pantri tak jauh dari ruang kerja Doni, yang juga bersebelahan dengan ruang Pak Salim kepala divisi yang menerimanya bekerja.
"Beliau pasti bapakmu?"
Doni menggeleng.
"Pasti pamanmu?"
Doni masih menggeleng.
"Haaa! Pasti masih sanak keluarga?"
Doni menjawab kali ini. "Pak Salim dulu sempat jadi atasan bapakku?"
Rojak terkejut mendengar itu. Ia kemudian mendekatkan tubuhnya.
"Dulu bapakmu tangan kanannya Pak Salim!," tukas Rojak.
Dengan tatapan dingin Doni berkata lirih. Kali ini sangat lirih. Seperti berbisik. "Bapakku tidak lama di bagian ini. Dan tentang Si Burhan itu, berhati-hatilah kepadanya."
Lagi-lagi Rojak terkejut, bagaimana mungkin baru pertama kali bekerja langsung ditempatkan dengan seseorang yang menurut Doni mengkhawatirkan. Di benak Rojak ingin sekali memohon untuk pindah bagian, tetapi ia urungkan keinginan itu. Lagi pula tidak baik baru pertama masuk kerja sudah berani menolak perintah. Apalagi mengingat ia punya 3 tanggungan cicilan dan 2 anak yang masih kecil-kecil. Rojak memilih jalur aman saja.
Tiga bulan bekerja, sedikit demi sedikit mulai tampak watak asli Burhan persis seperti yang diceritakan Doni tempo itu. Sikap Burhan terkadang mencla-mencle dan itu membuat Rojak merasa tidak nyaman. Akan tetapi, oleh karena Burhan adalah senior, Rojak hanya bisa diam. Upah dari tempat Rojak bekerja memang tidak besar, tetapi kalau hanya untuk kebutuhan satu bulan Rojak pikir cukup-cukup saja.
Satu hal dari sosok Burhan yang kerap membuatnya kesal. Ketika Burhan diam-diam keluar dari kantor, kemudian tiba-tiba saja muncul tapi dalam bentuk sebuah pesan singkat. Suatu siang setelah jam istirahat Burhan tidak kembali ke kantor. Burhan punya seribu alasan. Salah satu alasan yang sering digunakan yaitu, keperluan rapat orang tua wali di sekolah anaknya. Padahal Rojak tahu, Burhan pergi ingin bertemu rekanan untuk membocorkan dokumen penawaran. Agar rekanan menang tender.
Malam itu sepulang kerja Rojak tampak gelisah. Hingga pada suatu ketika ia menghubungi Doni dan menemuinya di sebuah warkop tepi kota.
"Aku tak mau menerima sebuah informasi yang masih remang-remang?" ujar Doni tenang.
"Begini, dua dokumen penawaran dengan nilai hampir ratusan juta kerap menghilang misterius di atas mejaku pada hari Burhan tidak berada di kantor. Aku hafal betul kapan surat masuk dan kapan surat itu keluar semua ada catatannya," terang Rojak.
"Oke, kupastikan dulu ceritamu kali ini benar. Besok siang saat jam istirahat datanglah ke paman siomay dekat pertigaan jalan arah perusahaan."
Rojak mengernyit.
"Sudahlah, nanti kau mengerti. Kau terima saja pil pahit yang diberikan paman siomay itu sebelum jam istirahat selesai."
Rojak mengangguk kali ini.
***
Menginjak tahun kedua Rojak bekerja, dan Burhan baru saja selesai cuti menghabiskan libur akhir tahun di Pulau Dewata. Burhan merasa ada yang aneh dari dalam diri Rojak. Lelaki 2 anak itu tidak pernah merengek soal keuangan. Burhan mulai curiga, jangan-jangan, di luar sana Rojak turut memainkan dokumen penawaran kepada rekanan, sehingga Rojak turut serta menerima jatah dari rekanan. Oleh sebab itu Burhan berniat membicarakan hal ini agar tidak ada dusta di antara mereka, sore selepas jam pulang kerja mereka bertemu.
"Kau tentu tahu berapa upah kita bekerja di sini, mana mungkin kita bisa bertahan lama dengan upah yang pas-pasan seperti itu," kata Burhan menerangkan.
"Tapi, aku tak mengerti, sebenarnya, apa maksudmu."
"Jangan terlalu polos kawan. Kita ini satu tim, sudah selayaknya saling mendukung satu sama lain."
Rojak mulai garuk-garuk rambut.
"Oke-oke, begini. Kau tahu kan surat nomor 007 itu."
Rojak mengangguk.
"Investornya dari negeri Singa. Kau pasti tahu nilai penawarannya fantastis. Kalau kita bisa memainkan nilai penawaran, pihak PT TIMTAM Timbul Tenggelam selaku eksekutor siap menyediakan kita tiket pulang-pergi Malaysia dan Thailand."
Rojak geleng-geleng dan tersenyum manis.
"Itu baru tiket, belum, dan yang lain-lainnya. Kau paham kan maksudku."
Rojak berkali-kali mengangguk sepakat.
Satu bulan kemudian surat penawaran itu lolos. Pihak rekanan menunaikan janjinya. Rojak tak jadi ikut berangkat ke Malaysia dan Thailand, terhalang oleh anak laki-lakinya, yang minta sunat.
"Payah sekali kau tak bisa ikut," ujar Burhan kesal sembari memberikan bingkisan oleh-oleh dari negeri seberang.
Lalu tak berselang lama, sesaat ia melempar sebuah amplop tebal ke atas meja di sebuah cafe yang saat itu sepi pengunjung.
"Sebanyak ini!" Rojak terhenyak. Tangannya bergetar.
"Seratus dua puluh juta," ujar Burhan mantap.
"Aku rasa tuyul saja kelabakan untuk mendapatkannya dalam satu malam!" timpal Rojak serak.
Kemudian Burhan melanjutkan lagi. "Dua ratus empat puluh juta untuk penawaran dengan nomor 015. Masih dengan investor yang sama. Kau loloskan juga. Nilai itu dua kali lipat dari penawaran sebelumnya. Bagaimana?"
Rojak mengangguk, dan tersenyum.
Tak berselang lama Burhan pamit. Seketika senyum palsu itu berubah kegelisahan yang tiada berujung. Sore yang yang menyesakan bagi Rojak.
***
Kali ini di tempat yang berbeda, di tengah malam buta masih di hari yang sama tepatnya di warkop tepi kota. Tujuh batang rokok terbaring menyala di lingkaran asbak yang masih mengeluarkan asap. Sesaat Doni datang dan mendaratkan tubuhnya di kursi minimalis.
"Ini kan yang kau minta!," ucap Rojak mengeluarkan amplop senilai seratus dua puluh juta.
Doni mengangguk lalu berkata. "Pil pahit itu besok bisa kau dapatkan lagi." Sambil memasukan amplop itu ke dalam tas selempangnya. Doni melanjutkan. "Seperti biasa, kau ambil di paman siomay langganan kita."
"Paman siomay itu entah kenapa begitu baik kepada kita. Ia rela pontang-panting demi pil pahit yang kita inginkan," tukas Rojak mengeluarkan napas panjang.
"Persisnya, aku tak ingin mengingat tahun kapan tragedi itu terjadi. Setiap kali aku mengingatnya, itu hanya akan membuat bara api di dalam tubuhku tak kunjung padam," ucap Doni bercerita sembari membetulkan posisi punggungnya lalu melanjutkan.
"Burhan dan bapaknya membuat persengkokolan. Kamu tentu tahu, divisi kita itu lahan basah. Pak Salim sebagai kepala divisi beserta bapakku, dulu adalah korban dari mulut busuk Burhan dan bapak nya. Hanya saja Pak Salim dimutasi lalu diganti bapaknya Burhan, sedang bapakku dipecat. Namun, semenjak bapaknya Burhan pensiun Pak Salim dikembalikan lagi ke divisi kita sekarang. Dan aku direkrut menggantikan posisi bapak yang sudah tidak mau lagi bekerja di perusahaan ini. Bapak lebih memilih menekuni dunia siomay."
"Jadi, sosok yang memberiku pil pahit itu bapakmu?"
Doni mengangguk. Tak berselang lama bunyi dering singkat keluar dari ponselnya. Ia membaca dengan seksama, lalu mengatakan. "Pesan dari Bapak, semua berkas sudah lengkap. Besok pagi bisa diambil di tempat biasa."
"Secepat itu!" Rojak terhenyak.
"Ya! Secepat kau mendapatkan amplop seratus dua puluh juta tadi," timpal Doni lirih.
Rojak menggeleng, ia merasa seperti bekerja untuk sebuah agen rahasia.
"Sampai jumpa besok pagi. Malam ini kita tidur nyenyak," ujar Doni sangat dingin.
Begitulah mereka berpisah malam itu. Malam yang tampak suram. Tanpa bulan, tanpa bintang.
***
Pagi itu cuaca sangat cerah. Secerah wajah Rojak saat menerima pesan masuk yang dikirim Burhan pagi-pagi sekali bahwa amplop dari dokumen 015 sudah bisa dicairkan. Di kursi tempatnya bekerja sesaat Rojak memikirkan rencana-rencana yang akan diwujudkan jika amplop itu betul-betul tiba. Ia menarik tangannya, diliriknya benda melingkar di pergelangannya itu, pukul sembilan lebih tiga puluh menit, setengah jam lagi Burhan tiba. Namun, kali ini Burhan datang lima belas menit lebih cepat dari perkiraan Rojak.
"Aih, kabar bahagia kawan," kata Burhan dengan wajah berseri-seri. Sembari merapikan jaket kulitnya di pipa gantungan lemari.
Rojak mengusap-usap telapak tangan tanda sudah tidak sabar lagi menerima amplop fantastis itu. Burhan masih menenteng tas selempang yang terlihat gemuk lalu duduk tepat di depan meja milik Rojak.
"Kapan tiket pesawat ke Paris kau urus kawan," sergah Rojak senyum-senyum.
"Sabar-sabar. Kau harus tahu ini. Pihak rekanan menambah 60 juta dari nilai yang kita mainkan itu."
"Mantap!!!" timpal Rojak. Melanjutkan. "Dan aku juga bawa sesuatu yang mungkin bisa membuatmu..." belum selesai Rojak berkata sembari membuka resleting tas punggung hitam, sesaat 2 orang berseragam rapi lengkap dengan laras panjang masuk. Dan 4 orang berjaket hitam dengan logo huruf kapital BAR, lengkap bersarung tangan putih dengan postur tinggi-tinggi.
"Selamat pagi Bapak-Bapak. Kami dari Badan Anti Rasuah, menerima informasi jika di ruangan ini sedang terjadi transaksi terlarang."
Burhan tampak panik dan berusaha menyembunyikan amplop tebal itu.
"Betul, Bapak yang bernama Burhan?" tanya salah satu petugas.
"Benar Pak," jawab Burhan. Lalu melanjutkan. "Tapi... saya tidak sendiri Pak, ini teman saya juga ikut terlibat." Dengan jari telunjuk yang gemetar mengarah ke Rojak.
Sesaat petugas mengeluarkan beberapa berkas yang di dapat dari tas punggung milik Rojak tadi, lalu mengatakan. "Di beberapa berkas yang kami terima, hanya nama Bapak yang tercantum di kertas ini," terang petugas sembari menunjukan salah satu berkas ke arah Burhan.
"Tapi ia juga turut menerima amplop itu, Pak!" teriak Burhan geram.
Tak berselang lama, Doni turut memasuki ruangan, kemudian menyerahkan amplop 120 juta kepada petugas BAR.
Sesaat Burhan bangkit, kemudian menghampiri Doni dengan mata melotot.
"Ternyata kau dalangnya, balas dendam rupanya!" ujar Burhan lirih.
"Andai Bapakku dan Pak Salim bersalah, tempat mereka tidak di sini," balas Doni dengan tangan mengarah keluar ruangan berdiri tegak Bapaknya dan Pak Salim turut menyaksikan penangkapan.
Burhan terhenyak, seperti mengingat kembali ke masa itu.
"Keserakahan menutup hatimu," ucap Doni sangat pelan.
Burhan tertunduk.
"Kalau saja dari awal ia tidak macam-macam, maka jalan mulus menyertai hingga ia pensiun," kata Doni setengah berbisik di samping Rojak.
Burhan serasa minum pil pahit melihat berkas demi berkas masuk ke dalam koper milik petugas BAR. Sesaat ia digelandang menuju mobil rantis.Â
TAMAT
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H