Mohon tunggu...
Gandis Octya Prihartanti
Gandis Octya Prihartanti Mohon Tunggu... Human Resources - A curious human

Manusia yang sedang menumpang hidup.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Separated Identity [Chapter 1: Myth?]

29 Mei 2016   12:20 Diperbarui: 29 Mei 2016   13:02 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

              Jam lima pagi. Suasana ruang tunggu bandara Incheon masih tampak lengang. Seorang lelaki bertopi tengah menguap sembari melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Saat orang lain larut dalam mimpi indahnya di peraduan yang nyaman, ia sudah dihadapkan pada sebuah kegiatan yang membosankan—menunggu.

             Berhubung lelaki itu hanya tertidur dua jam saja, ia terkantuk-kantuk, dan hampir saja terjatuh dari kursi. Tapi, ia buru-buru menyetabilkan diri, lalu memerhatikan ke sekeliling. Sungguh, ia tidak mau melewatkan momen saat melihat orang yang ditunggunya dari kejauhan.

            Sam, batinnya riang. Sesaat kemudian, lelaki itu berdiri dari duduknya, lantas menghampiri.

Gadis itu tampak cantik dengan balutan mantel berwarna coklat selutut serta boot-nya yang hampir bersentuhan dengan bagian bawah pakaian hangatnya. Pesonanya tidak berhenti sampai di situ. Ia tampak begitu menggemaskan di mata si lelaki. Ia meneriakkan nama lelakinya sembari menggerakkan tangan kanannya ke dua arah dengan cepat. Sementara tangan kirinya tengah memegang tangkai pegangan koper.

            “Bagaimana perjalananmu? Menyenangkan?” Seseorang yang menghampiri gadis itu menggenggam tangannya erat.

“Aku tidak biasa melakukan penerbangan malam hari seperti ini. Kurang menyenangkan.” Gadis itu mengeluh. Wajahnya sedikit cemberut. Lelaki di hadapannya hanya tersenyum tipis, lantas merangkulnya.

            “Mianhae[1], permintaanku yang mendadak membuat perjalananmu seperti ini,” sesal lelaki itu pada gadis yang kini masih berada dalam rangkulannya. Mereka melangkahkan kaki pelan-pelan.“Gwaencanayo[2].” Sebuah jawaban disertai tatapan teduh, lelaki itu dapatkan. Namun, ia tidak menanggapi, dan lantas merubah fokus pandangannya ke bawah. Astaga! Kenapa ia baru sadar jika sedari tadi gadisnya menyeret koper lucu yang nampak berat itu?“Kemarikan kopermu. Biar aku bawakan.” Tangan kekar lelaki itu meraih benda berwarna peach dari tangan kiri gadis yang dipanggilnya Sam dengan cepat.

Gadis yang sedikit lebih pendek dari lelakinya itu pun tersenyum manja. Kemudian, sang lelaki mendecak. Mengerti benar apa kemauan tersirat gadisnya. Praktis, lelaki itu membelakanginya lalu berjongkok. “Kau masih tampak mengantuk. Aku tidak mau kau terjatuh karena langkah serampanganmu itu. Lagi pula, hobimu tidur, kan?” Lelaki pemilik nama Jae Woon itu mengejek.“…..” Tidak ada jawaban dari Samantha. Rupanya gadis itu sudah tertidur. Benar-benar, hobi tidurnya mampu membuatnya tertidur dalam waktu yang begitu cepat, apa lagi di gendongan lelakinya. Bukankah terasa sangat ‘nyaman’?  ***   Kamar bergaya klasik dengan penerangan lampu yang terang, kini tengah didiami Samantha. 

Di atas ranjang mewah bernilai jutaan won, ia masih tertidur pulas. Sementara itu, Jae Woon serta kedua orangtuanya menjadikan seorang gadis blasteran Korea-Kanada sebagai topik utama pembicaraan.  “Aku tidak menyangka hubunganmu dengan Samantha sudah sejauh ini,” sanjung pria paruh baya dengan secangkir teh hangat di tangan kanannya. Terduduk di sofa ruang tengah dengan gradasi warna coklat dan merah marun. “Waktu berjalan begitu cepat,” tambahnya. “Ini berkat appa[3]yang sempat bekerjasama dengan calon mertuaku. 

Ya, bisa dikatakan juga kalau appa yang mempertemukan jodohku.” Jae Woon tidak berniat mengiyakan perkataan ayah barusan, tapi, memberikan semacam reviewperjalanan cintanya. Seorang ibu berambut sebahu hanya tersenyum menanggapi perkataan anak pertamanya. “Keputusanmu untuk membawa Samantha ke Korea juga sangat tepat,” komentar seseorang yang paling cantik sekarang. “Lagi pula, orangtua mereka sudah menaruh kepercayaan penuh padaku. Jadi, lebih baik dia di sini agar jarak dan pekerjaanku tidak akan jadi masalah pada hubungan kami lagi,” ujar Jae Woon. Ayahnya lalu meletakkan cangkir teh di atas meja, menanggapi perkataan sang anak. 

“Bagus, kau sudah jadi lelaki sejati rupanya,” sanjung pria yang kumisnya sedikit basah karena minuman beraroma wangi itu. Kemudian, ia melanjutkan perkataannya. “Lalu, bagaimana dengan apartemen yang akan dia tempati?  “Tenang saja, apartemennya sangat nyaman. Letaknya juga strategis,” jelas Jae Woon. Ia terdiam sejenak, lalu menampakkan ekspresi seperti telah mengingat sesuatu.  “Tidak hanya itu, desainnya berkonsep Elektik. Tepat di apartemen Sam juga, angle pemandangannya terlihat indah. Aku yakin dia akan betah tinggal di sana,” tambah Jae Woon yang membuat perkataannya semakin panjang—dengan penuh keyakinan. Kedua orangtuanya mengangguk setuju atas pilihan anaknya tersebut. Mereka pun kembali menikmati teh hangat beserta makanan ringan pelengkapnya.            

Dari tangga porselen yang mengkilap, tampak seorang gadis sedang menuruni anak tangganya satu persatu. Jae Woon yang menyadari hal itu, lantas berdiri, dan menyambutnya dengan senyum lebar. Akhirnya, gadis yang sedari tadi dibicarakan, terbangun. Bahkan, ia sudah terlihat segar setelah mengganti mantelnya dengan kaus lengan panjang berwarna putih serta jeansberwarna abu-abu yang nampak pas di kaki jenjangnya.  “Sejak kapan kau bangun? Bahkan kau sudah mandi.” Jae Woon meremehkan. Ia mengangkat kedua tangannya ke udara serta membalik punggung tangan. Samantha mendecak sinis, melewati lelakinya begitu saja lantas menyapa calon mertuanya dengan ramah sembari membungkukkan badan.  “Annyeonghasimnikka![4]” sapa Sam. 

Pasangan suami-isteri itu tersenyum. Setelah itu, ia mendekat ke arah ibu Jae Woon, terduduk di sampingnya. Sementara itu, Jae Woon hanya membalikkan tubuh, dan tetap berada pada posisinya yang beberapa langkah dari tangga. “Anak perempuan eomma[5]sudah cantik. Bagaimana kuliahmu, sayang?” tanya wanita itu seraya membelai lembut rambut panjang Samantha. Samantha terkekeh sekilas. “Karena eomma tidak punya anak perempuan, makannya aku cantik. Sejauh ini lancar-lancar saja. Semoga aku bisa segera menyelesaikannya.”

            “Lusa sudah harus kuliah lagi, ya?” Ibu sedikit kecewa. “Jae Woon juga cepat sekali mengurus kepindahanmu.” Samantha mengangguk dan menarik kedua sudut bibirnya. Tercipta sebuah lengkungan senyum yang manis di sana.

            Anak pertama keluarga Choi itu berdehem dan terkesan membesar-besarkan suaranya. Bahkan, ia mengepalkan tangan kanannya di depan mulut. Persis seperti seseorang jika sedang batuk. Ah, sebenarnya, apa maksudnya?

            “Bahkan, pernikahan kami pun tidak akan lama lagi.”

            Pernikahan. Sebenarnya gadis bermaga Kim itu masih malu-malu membicarakannya—di hadapan orangtua lelakinya atau bahkan orangtuanya sendiri. Dua puluh tahun. Pun tidak membuatnya berpikiran untuk segera merencanakan perayaan janji sehidup semati itu.

            “Dasar kau ini! Apa kau tidak tahu jika dia malu, heum?” Pria paruh baya itu mengakhiri ketidak-nyamanan Samantha yang terdiam seketika saat anaknya membicarakan tentang pernikahan. Warna kulit putih susu milik Samantha memerah. Persis seperti kepiting rebus.

            “Lagi pula, Samantha masih semester lima. Umurmu juga masih dua puluh tiga. Belum ideal untuk anak laki-laki menikah,” peringat ibu Jae Woon, yang membuat putranya tersudut. Ia sadar jika keinginannya memang terlalu cepat. Tapi, Jae Woon melakukannya semata-mata agar segera mempunyai ikatan dengan gadisnya. Dengan begitu, resikonya untuk kehilangan menjadi lebih kecil, bukan?

            Mereka semua terdiam. Wanita paruh baya itu akhirnya berinisiatif untuk menghidupkan suasana kembali. “Kau belum sarapan, kan? Jae Woon-ah[6], kajja[7]temani dia,” tanyanya pada Samantha, lantas mengalihkan pandangan pada anak laki-lakinya.

Jae Woon mengangguk, lantas meraih pergelangan tangan Samantha—menggandengnya menuju ruang makan.

            Selepas menghabiskan sarapannya, mereka bergegas pergi. Kebetulan sekali, cuaca yang cerah juga mendukung. Tujuan pertama yang ingin mereka kunjungi adalah pantai di mana Jae Woon menyatakan cintanya pada Samantha.

            Di pantai itu terdapat sebuah mitos, yaitu jika sepasang kekasih mengukir namanya pada sebuah batang pohon Cyclobalanopsis, dan saat mereka kunjungi lagi masih utuh, berarti cinta mereka akan abadi. Sebaliknya, jika ukiran nama tersebut hilang, dipercayai akan ada hal buruk yang akan menimpa hubungan mereka.

***

            “Pantai ini tidak banyak berubah,” komentar seorang gadis dengan kunciran braid menyamping saat merasakan angin yang berembus sepoi-sepoi sembari merentangkan kedua tangan.

            “Kau benar.” Seseorang di dekatnya mengiyakan. Samantha membuka kedua matanya, lantas menoleh.

            “Oh, ya, apa kau lupa tentang mitos di tempat ini?” tanya Samantha antusias. Sebuah senyum tipis terulas di bibir Jae Woon. Ia menggeleng pelan, lalu menggandeng tangan Samantha menuju letak Cyclobalanopsis di mana mereka mengukir nama.

            Dari banyaknya pohon yang berjejer, Jae Woon tidak begitu kesulitan menemukan sebuah pohon yang terasa spesial itu. Ia menalikan sebuah pita berwarna pink pada batangnya. Mereka beruntung, pita itu masih berada di sana. Itu tandanya, pita itu bisa menjadi petunjuk.

            “Itu pohonnya!” seru Samantha sambil menunjuknya.

            “Aku yakin nama kita masih ada. Bukankah aku begitu menyayangimu, nona Samantha?” Jae Woon tersenyum nakal. Namun, sang nona justru mengerucutkan bibir. Ia pun melepaskan gandengannya, dan berlari meninggalkan lelakinya untuk lebih dulu menuju sebuah pohon yang bahkan bisa membuatnya kegirangan.

            Ekspresi wajah Samantha yang mulanya ceria, seketika berubah. Bercampur kaget dan kecewa. Melihatnya, Jae Woon segera berlari kecil. Padahal, sebelumnya, ia berjalan santai dengan melipat tangannya di dada.

            “Kau kenapa, Sam?” Jae Woon menatap gadisnya khawatir saat berhasil berada di sampingnya.

            “…..” Tidak ada jawaban. Jae Woon menghela napas, lantas memerhatikan batang pohon Cyclobalanopsis itu. Setelahnya, ia memicingkan mata. Kedua nama mereka yang ditulis secara berurutan ke bawah serta disatukan oleh lambang hati, kini terlihat kacau karena ada goresan-goresan yang tidak teratur menutupinya.

             “Kau terlalu percaya diri!” umpat Samantha dengan nada datar. Jae Woon mendecak, lalu meraih gadis yang mengumpatinya barusan ke dalam pelukan dada bidangnya.

             “Ini hanya sekadar mitos. Meski pun aku seorang entertainer, tapi hubungan kita selama ini baik-baik saja, kan?” tenang Jae Woon seraya mengelus punggung kepala Samantha lembut. Gadis itu hanya bergumam. Menampakkan kepasrahannya.

            Mereka terdiam cukup lama. Samantha sendiri masih terlalu syok atas apa yang terjadi. Ia merasa kalau ini akan lebih menyakitkan; karena hubungannya dengan Jae Woon akan hancur, bahkan saat jarak dengan kekasihnya itu tidak berbeda negara seperti sebelumnya.

             “Ayo kita pergi dari sini.” Samantha menarik pergelangan tangan lelakinya dengan paksa. Sebenarnya, pantai adalah salah satu tempat favoritnya. Tapi, ternyata mitos itu sudah benar-benar mengganggu pikirannya. Entahlah, seorang gadis blasteran Korea-Kanada yang biasanya selalu berpikiran rasional, tiba-tiba saja dibuat kalut oleh sebuah mitos.

***

            Kedua pasang kaki itu, kini tengah melangkah guna mengelilingi tiap sudut sebuah tempat di mana bangunanannya didominasi oleh warna putih dengan jumlah tiap lantainya berkisar enam. Dan, tempat itu adalah kampus baru Samantha.

            Sabtu sore. Tidak banyak aktifitas yang terjadi. Akhir pekan membuat kampus dengan grade tinggi itu, menjelma seperti rumah kosong yang ditinggal penghuninya.

            Dan, hal yang kurang disukai Samantha adalah letak kelas jurusannya yang berada di lantai enam, serta koridor panjang yang harus ia lewati. Bukan perkara imej horor yang melekat. Tapi, hanya karena sebuah alasan klasik.

            “Koridor, ya? Seperti dalam drama saja. Terjadi sebuah pertemuan antara murid baru dengan primadona kampus ketika melewatinya. Mereka dipertemukan dengan ketidaksengajaan, menabrak satu sama lain. Lalu, si primadona itu akan membantu mengumpulkan buku-buku milik si murid baru. Setelahnya, mereka pun berkenalan, dan berakhir dengan terjalinnya sebuah hubungan. Jika hal itu terjadi padaku, bagaimana? Aku akan bersaing dengan Choi Jae Woon menjadi seorang aktris,” oceh Samantha menyuarakan imajinasinya dengan senyuman-senyuman tidak jelas. Jae Woon hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala, tidak habis pikir dengan ucapan gadisnya.

            Yah, setidaknya juga Jae Woon merasa lega karena guyonan-guyonannya tadi berhasil membuat Samantha melupakan pikiran negatif tentang retaknya hubungan mereka.

***

            Penanda digital letak lantai yang dilewati sudah menunjukkan angka sepuluh. Suara ting juga sudah berbunyi. Pintu otomatis yang terbuka membuat kedua pasang kaki itu melangkah keluar dari dalam lift.

             Meski pun apartemen adahal hunian yang harganya bisa dikatakan mahal, tapi, sebenarnya tetap saja mempunyai kekurangan. Salah satunya adalah kurangnya interaksi antar sesama penghuni. Mereka—di sana lebih suka hidup secara individual. Tak ayal jika suasana koridor tampak begitu sepi. Apa lagi jika ditambah angin semilir yang berhembus. Mencekam.

            “Oppa[8], kamarku nomor berapa?” tanya Samantha.

            “Aigo[9]! Bahkan aku lupa memberitahumu. Apartemenmu nomor 982, Sam,” jawab Jae Woon.

            “Baguslah, sebentar lagi kita sampai.” Samantha tersenyum lega sambil mengedarkan pandangannya pada masing-masing pintu apartemen. Melihat nomor yang tertempel di sana.

            Dari kejauhan, terlihat sesosok lelaki dengan postur kurus serta tinggi kira-kira 180 senti meter tengah berdiri dengan kepala yang menunduk. Saat melihatnya, Samantha bergidik, lantas menggamit tangan Jae Woon erat. Ia takut jika lelaki yang dilihatnya itu adalah lelaki yang mempunyai maksud jahat.

            “Kau kenapa? Seperti melihat hantu saja,” tanya Jae Woon.

            “Aku melihat seorang lelaki, dan tiba-tiba saja aku bergidik,” jelas Samantha dengan pandangan yang mengarah ke lelakinya. Bibirnya bergetar hebat. Ia ketakutan.

           “Mana? Dari tadi aku tidak melihat siapa-siapa di koridor ini.” Jae Woon memastikan setelah mengedarkan pandangannya mencari sesosok lelaki yang digambarkan Samantha barusan. Terbelalak. Gadis itu pun mengembalikan pandangannya lagi ke depan. Dan, memang sesosok lelaki yang dilihatnya tadi tidak ada. Ia semakin bergidik.

            “Aku… aku tadi melihatnya di sana. Sungguh,” yakin Samantha lirih. Telunjuknya serasa bergetar saat ia menunjuk arah depan dengan asal.

           “Apa kau masih lelah karena perjalananmu sampai-sampai berhalusinasi seperti ini, heum?”

            Sementara Jae Woon membuka pintu apartemen yang terkunci, Samantha terus mengedarkan pandangannya pada sepanjang koridor, bahkan langit-langit juga dengan hati-hati. Seperti film horor yang sering ia tonton, kadangkala saat melihat langit-langit, hantu itu akan terlihat. Terlihat dengan wajah yang sangat menyeramkan sedang memperhatikan gerak-gerik ketakutan kita!

            “Sam, ayo masuk.” Ajakan Jae Woon menyadarkan Samantha dari ketakutannya. Ia lantas berlari ke dalam apartemen. Jae Woon hanya bisa mengembuskan napas berat. Pertama, tentang mitos di pantai itu. Kedua, tentang sesosok lelaki yang dilihatnya di koridor tadi. Bagaimana bisa seorang Samantha yang selalu berpikiran rasional kalah begitu saja dengan hal-hal yang belum tentu kebenarannya?

            Jae Woon menekuk lutut di hadapan gadisnya yang sedang menyandarkan tubuh di sofa. “Are you okay?” Samantha hanya mengangguk.

           “Kau lapar?” Jae Woon melayangkan pertanyaan keduanya. Kembali, Samantha hanya mengangguk tanpa berniat mengalihkan pandangannya ke lelaki itu.

          “Biar aku saja yang beli. Kau tunggu disini saja, ya?”

          “Aku ikut.” Samantha menegakkan tubuh dengan cepat, lantas menggenggam pergelangan tangan aktor itu, mencegahnya pergi. Lelaki itu refleks menoleh dan membalikkan badan.

          “Apa yang kau takutkan? Oh, ayolah, bahkan, kau tidak takut menonton film horor sendirian.” Jae Woon melepaskan genggaman tangan gadisnya perlahan, lalu memakai kacamata dan topi lagi untuk menyamarkan wajahnya.

            Samantha mendengus. Ia terpaksa membiarkan Jae Woon pergi. Ia juga menggerutui dirinya sendiri yang tidak membeli makanan saat perjalanan pulang saja. Sekarang, karena kebodohannya itu, ia harus sendirian.

            Samantha beranjak dari sofa untuk mengunci pintu, lalu memerhatikan ke sekeliling ruangan. Ia menghela napas. Sesosok lelaki tadi setidaknya tidak muncul tiba-tiba di hadapannya. Setelah itu, ia mulai mengecek satu persatu ruangan. Bahkan, sekarang ia sudah tersenyum puas atas pilihan lelakinya. Ruangan bergaya Elektik nampaknya sudah menghilangankan ketakutannya dengan cepat.

            Dari dapur, Samantha beranjak ke jendela ruang tengah. Ia membuka tirainya lebar-lebar, dan membuka jendela dengan dua daun itu. Ia menghirup udara sore dengan angin semilir yang seakan membelai lembut wajahnya. Namun, semakin lama angin semilir itu berubah menjadi angin kencang yang terkesan membawa pertanda akan datangnya bencana. Seketika, Samantha membuka mata. Lantas, ia tertarik untuk merubah fokus pandangannya ke bawah.

            Dan, sesosok lelaki yang berdiri di dekat pohon Palmsukses membuatnya terkaget. Lelaki itu mengarahkan pandangannya ke atas dan menatap tajam Samantha. Ia bergidik karena lelaki itu berpakaian serba hitam. Membuat kedua tangannya bergetar dan kakinya seolah terpaku di sana. Tidak ada yang bisa ia lakukan saat itu. Bahkan, bibirnya terasa kelu saat akan berucap.

            Tuhan, tolong lindungi aku, Samantha membatin seraya menutup kedua mata erat. Hatinya juga tidak berhenti merapal doa-doa. Tidak lama setelah itu, irama angin perlahan kembali seperti semula. Kedua tangan Samantha juga berhenti bergetar. Keadaan sudah tenang.

            Apa yang sebenarnya terjadi? tanyanya linglung setelah membuka kedua mata, kemudian menutup kembali jendela dengan cepat. Banyak pertanyaan yang muncul di pikirannya sekarang.

            Apa pikiranku sudah teracuni oleh film horor? Apa dia hantu? Aku selalu berpikiran rasional. Tidak, dia bukan hantu! Tapi, bagaimana aku bisa berhalusinasi? Aku baik-baik saja.

***

            Baiklah, Samantha terdiam sejak ia membukakan pintu untuk Jae Woon, yang keluar untuk membeli makanan. Sekarang, ia hanya mengaduk-ngaduk makanannya dengan malas sambil sesekali memasukkannya ke dalam mulut. Raut wajahnya nampak murung. Jae Woon mengernyitkan dahi. Tidak mengerti apa yang sebenarnya membuat gadisnya itu kalut. Mitos? Hantu? Rasanya tidak mungkin. Ia masih tetap memegang pendiriannya jika Samantha adalah gadis yang selalu berpikiran rasional.

            “Apa yang kau pikirkan? Kau membuatku khawatir saja,” kata Jae Woon, memulai perbincangan. Samantha menghela napas sejenak sebelum menjawab pertanyaan. “Anniya.”

            “Apa kau masih memikirkan mitos itu? Atau… sesosok lelaki yang mungkin kau pikir adalah hantu?” Jae Woon mencoba menebak.

            Gadis yang masih mengaduk-ngaduk makanannya itu mengangkat wajahnya dan menatap lelaki di hadapannya tanpa minat. “Perasaanku tidak keruan. Entahlah, bagaimana tepatnya. Aku tidak bisa menjelaskannya.”

            “Baiklah, habiskan makananmu lalu kita pulang,” titah Jae Woon seraya memegang pipi Samantha. Gadis itu hanya mengangguk malas.

***

            “Jika tiba-tiba saja kita berpisah bagaimana?” Jae Woon bergumam dan membelalakkan kedua matanya. Merasa cukup kaget dengan pertanyaan itu.

            “Jangan anggap remeh mitos itu. Aku takut,” peringat Samantha. Akhirnya, Jae Woon pun menepikan mobil mewahnya di bahu jalan.

            “Apa aku terlihat tidak menyayangimu lagi?” tanya Jae Woon tanpa tedeng aling-aling terlebih dahulu. Ia melayangkan tatapan tajam ke arah Samantha.

            “Anniya, tapi—”

            “Lanjutkan.” Jae Woon menggenggam tangan Samantha erat seolah memberikan kekuatan pada gadisnya untuk berterus terang tentang semua yang membuat hatinya kalut sekarang.

             “Aku memang gadis yang selalu berpikiran rasional. Tapi, aku takut jika kehilanganmu. Sangat takut.” Samantha menatap lelakinya intens. Ingin meyakinkan Jae Woon jika perkataannya benar-benar serius dan harus dipercayai.

            Ada perasaan bersalah yang kini hadir di hati Jae Woon. Ia selalu bertumpu pada pikiran rasional Samantha, dan selalu menyalahkan gadisnya untuk tidak mempercayai mitos. Sekarang, ia sadar jika cinta mampu menumbangkan sebuah pikiran rasional.

            “Kita berdoa saja semoga tidak ada hal buruk yang akan menimpa hubungan kita.” Jae Woon meletakkan kedua tangannya di pundak Samantha. Menatapnya dengan pandangan yang dalam untuk meyakinkan gadisnya. Bahkan, ia sudah terlihat seperti seorang penghipnotis yang sedang memberikan sugesti.

            “Don’t worry, Sam. That’s just a myth,” tenang Jae Woon. Samantha tersenyum, lalu memeluk seseorang di hadapannya dengan erat.

            Beberapa saat kemudian, mereka melanjutkan perjalanan lagi. Lagu-lagu bertempo slowyang Jae Woon putar melalui MP3 mobilnya, ikut membantu menenangkan pikiran Samantha. Perlahan, ia tertidur.

***

            Sepasang kekasih yang tengah dilanda konflik pikiran itu, kini tengah memejamkan kedua matanya di bawah shower yang memancarkan air hangat. Banyak hipotesis yang muncul di pikiran mereka. Samantha lebih menitik beratkan jika akan berpisah dengan kekasihnya lantaran mitos itu. Bagaimana tidak, Jae Woon adalah seorang entertainer. Kehidupannya erat dengan skandal. Kini, Samantha juga berpikir jika mungkin saja Jae Woon akan berselingkuh.

            Tidak berbeda jauh dengan Jae Woon. Ia berpikir jika Samantha dekat dengannya, bisa saja fans-nya yang terlalu fanatik ingin menghancurkan hubungan mereka. Semenjak Jae Woon menjadi seorang entertainer, memang Samantha sudah tinggal di Kanada. Bahkan, saat ia pergi ke Kanada, tidak ada wartawan infotainment yang mengetahuinya. Alhasil, hubungan mereka baik-baik saja sampai sekarang.

***

            Dini hari telah tiba, penghuni rumah mewah keluarga Choi sudah tidak menampakkan aktifitasnya lagi. Di beberapa ruangan seperti ruang tamu dan dapur, penerangannya juga sudah dimatikan. Semua orang yang ada di sana sudah terlelap. Terkecuali dua security yang tengah berjaga di pos kecil yang dibangun dekat gerbang utama. Sesekali mereka menegak secangkir kopi yang mereka tuang dari ketel berwarna emas. Udara malam itu cukup dingin.

            “Kehidupan keluarga Choi begitu baik. Berjalan lancar tanpa pernah mengalami pasang surut,” celetuk salah seorang security.

            “Iya, kau benar. Tapi, memang itu pantas untuk mereka. Meski pun mereka orang kaya, tidak pernah mereka berlaku sombong dan semena-mena.”

            Security bertubuh gempal itu bergumam setuju. Mereka menegak secangkir kopi yang ada di tangan mereka lagi. Rupanya, udara yang cukup dingin mampu mendinginkan kopi panas itu dengan cepat.

            Di balik semak-semak yang berjarak beberapa meter dari rumah keluarga Choi, nampak sesosok lelaki yang sedang memerhatikan rumah mewah itu. Matanya menyipit, terdapat sebuah dendam yang tersirat di sana. Lantaran ia mengenakan pakaian serba hitam, kedua security itu tidak menyadari keberadaannya. Baju hitam yang ia kenakan seolah kamuflase untuk menyamarkan diri. Seperti seekor bunglon yang berubah warna karena objek yang dihinggapinya.

            “Samantha Kim. Seorang gadis blasteran Korea-Kanada yang mempunyai kekasih seorang aktor. Tunggulah, aku akan membuat hubungan kalian lebih indah,” batin lelaki itu sembari terus menyeringai. Menampakkan wajah liciknya.

            Beberapa saat kemudian, lelaki itu membalikkan tubuh dan berjalan menjauhi rumah mewah itu. Entah bagaimana kepergiannya mampu mengundang angin kencang yang membuat kedua securityitu bergidik kedinginan. Mereka mengusap-ngusap lengan mereka dengan tangan yang saling bersilangan. Dahan dan ranting yang mulanya diam, bergerak ke arah dimana lelaki itu menjauh. Seakan alam tunduk padanya.


[1] Maaf

[2] Tidak apa-apa

[3] Ayah

[4] Selamat pagi (formal dan sopan)

[5] Ibu

[6] Suffiks –ya/-ah untuk sapaan akrab atau dari tua ke muda

[7] Ayo

[8] Kakak laki-laki

[9] Astaga

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun