Penanda digital letak lantai yang dilewati sudah menunjukkan angka sepuluh. Suara ting juga sudah berbunyi. Pintu otomatis yang terbuka membuat kedua pasang kaki itu melangkah keluar dari dalam lift.
Meski pun apartemen adahal hunian yang harganya bisa dikatakan mahal, tapi, sebenarnya tetap saja mempunyai kekurangan. Salah satunya adalah kurangnya interaksi antar sesama penghuni. Mereka—di sana lebih suka hidup secara individual. Tak ayal jika suasana koridor tampak begitu sepi. Apa lagi jika ditambah angin semilir yang berhembus. Mencekam.
“Oppa[8], kamarku nomor berapa?” tanya Samantha.
“Aigo[9]! Bahkan aku lupa memberitahumu. Apartemenmu nomor 982, Sam,” jawab Jae Woon.
“Baguslah, sebentar lagi kita sampai.” Samantha tersenyum lega sambil mengedarkan pandangannya pada masing-masing pintu apartemen. Melihat nomor yang tertempel di sana.
Dari kejauhan, terlihat sesosok lelaki dengan postur kurus serta tinggi kira-kira 180 senti meter tengah berdiri dengan kepala yang menunduk. Saat melihatnya, Samantha bergidik, lantas menggamit tangan Jae Woon erat. Ia takut jika lelaki yang dilihatnya itu adalah lelaki yang mempunyai maksud jahat.
“Kau kenapa? Seperti melihat hantu saja,” tanya Jae Woon.
“Aku melihat seorang lelaki, dan tiba-tiba saja aku bergidik,” jelas Samantha dengan pandangan yang mengarah ke lelakinya. Bibirnya bergetar hebat. Ia ketakutan.
“Mana? Dari tadi aku tidak melihat siapa-siapa di koridor ini.” Jae Woon memastikan setelah mengedarkan pandangannya mencari sesosok lelaki yang digambarkan Samantha barusan. Terbelalak. Gadis itu pun mengembalikan pandangannya lagi ke depan. Dan, memang sesosok lelaki yang dilihatnya tadi tidak ada. Ia semakin bergidik.
“Aku… aku tadi melihatnya di sana. Sungguh,” yakin Samantha lirih. Telunjuknya serasa bergetar saat ia menunjuk arah depan dengan asal.
“Apa kau masih lelah karena perjalananmu sampai-sampai berhalusinasi seperti ini, heum?”