Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Perpustakaan di Negeri +62: Antara Impian dan Realitas

30 Desember 2024   09:27 Diperbarui: 31 Desember 2024   16:32 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi perpustakaan (Sumber: KOMPAS.COM/ANASTASIA AULIA)

Saya suka pergi ke perpustakaan karena saya seakan menemukan "dunia baru" yang beraneka ragam. Saya bisa melanglang buana ke berbagai negara tanpa batas ruang dan waktu. Saya bisa menyelami kedalaman berpikir para tokoh nasional dan internasional dari berbagai buku yang bernas.

Hanya disayangkan, sayang seribu sayang, jam layanan perpustakaan tidak bersahabat untuk semua warga. Jam layanan yang terbatas hanya sampai sore hari yaitu pada pukul 16.00 WITA untuk hari Senin sampai Kamis; dan pada pukul 15.00 WITA di hari Jumat (jam layanan ini berlaku di perpustakaan kota Samarinda). Dan, semakin parah, jam layanan tutup di hari Sabtu, Minggu, dan hari libur nasional.

Perpustakaan Kota Samarinda dan Perpustakaan Provinsi Kalimantan Timur mempunyai jadwal jam layanan yang hampir serupa.

Warga yang mempunyai kesibukan di pagi dan siang hari, semisal bekerja, kuliah, sekolah, dan lain sebagainya, tentu saja akan menemui kesulitan mengunjungi perpustakaan, apalagi kalau tempat kerja, ruang kuliah, atau rumah jauh jaraknya dari perpustakaan.

Kemewahan penggunaan perpustakaan "kesannya" hanya untuk para warga yang "bebas" secara waktu di pagi dan siang hari.

Terkadang saya teringat masa lalu saat perpustakaan Provinsi Kalimantan Timur (kemudian di tulisan ini akan disebut perpusprov Kaltim) buka sampai malam hari, yaitu sampai jam 21.00 WITA.

Bukan hanya itu saja, hari Sabtu dan Minggu ketika itu perpusprov Kaltim buka juga. Kalau tidak salah, jam layanan buka juga sampai pukul 21.00 WITA. Cuma hari libur nasional menjadi pengecualian jam layanan perpusprov Kaltim tutup.

Ketika itu, saya sangat menikmati "kemewahan" tersebut. Apalagi saat itu saya lagi sibuk-sibuknya mengajar, sehingga hanya hari Sabtu dan Minggu yang tersisa sebagai hari-hari yang lowong dari rutinitas mengajar.

Hanya mendekam di kamar indekos bukanlah opsi yang menyenangkan. Hanya kesepian yang menemani. Saat itu, Perpusprov Kaltim bagaikan "surga" bagi saya dan mungkin juga bagi beberapa jomlo, serta orang-orang yang tidak tahu harus pergi kemana di hari Sabtu dan Minggu.

Melihat buku-buku yang tertata rapi di rak-rak adalah kenikmatan tersendiri. Buku-buku yang siap mengusir kepenatan setelah enam hari kerja dari Senin sampai Sabtu. Selain buku, surat kabar dan majalah juga siap menambah wawasan akan informasi terkini.

Meminjam buku juga menjadi "keharusan" bagi saya yang waktu itu mempunyai kebiasaan membaca buku sebelum tidur (sekarang saya lebih banyak mendengarkan siniar sebelum tidur).

Karena saya rutin mengunjungi perpusprov Kaltim, beberapa pustakawan mengenal saya. Tentu saja, bukan sekadar wajah, tapi nama saya juga terpatri dalam benak mereka.

"Beh, rajin kali kau, Ton. Gak malming kah?" kata Heru (bukan nama sebenarnya), salah seorang pustakawan yang berjaga di bagian penitipan barang, semisal tas, ransel, dan lain-lain.

"Gak, Pak. Malam minggu kelabu," kata saya sambil nyengir.

"Cepat-cepat cari calon. Supaya ada temannya," kata Gunawan (nama samaran), sesama pustakawan yang bertugas di bagian yang sama malam itu.

Saya cuma tersenyum mendengarnya. 

Bagi saya, keakraban itu menunjukkan kedekatan dengan para pengunjung perpustakaan untuk datang lagi dan lagi. 

Malam yang sunyi tidak sesepi yang terlihat.

Dari kedekatan tersebut, saya jadi bisa mengorek keterangan dari para pustakawan tentang "dinas malam".

"Memangnya ada shift malam ya, Pak?" tanya saya pada suatu malam.

"Gak ada sebenarnya," jawab Heru, "Ini dihitung lembur. Bagi siapa yang mau aja."

"Apa gak capek?" tanya saya lagi.

"Kalau saya sih gak. Lagian, kan dapat uang lembur. Lumayan buat nambah penghasilan. Bisa buat uang jajan anak," kata Gunawan.

Yah, kebijakan yang baik buat pustakawan dan pengunjung perpustakaan. Pustakawan mendapat upah; pengunjung perpustakaan bisa berkunjung setelah pulang dari sekolah, kuliah, atau kerja.

Sayang sekali, kebijakan jam layanan di perpusprov Kaltim kembali ke "setelan pabrik". Jam layanan yang "bersahabat" dengan warga tidak bertahan lama. 

Kalau saja...

Yah, saya tidak tahu bagaimana evaluasi dari perpusprov Kaltim saat itu. Apakah jumlah pengunjung perpustakaan semakin meningkat, sama saja seperti jam layanan sebelumnya, atau malah semakin menurun? Mungkin ada penjabarannya di situs perpusprov Kaltim, meskipun saya ragukan itu.

Tapi saya merindukan jam layanan yang berlangsung sampai malam hari. 

Terkadang saya iri mendengar dari handai taulan yang pernah bepergian ke luar negeri atau pernah menetap dan belajar di sana. Cerita mereka tentang perpustakaan di negara maju yang membuat cemburu, khususnya mengenai jam layanan yang "memanjakan" warga. Kalau bicara jumlah koleksi buku sih sudah tidak heran.

Kalau saja perpustakaan buka sampai malam atau sampai 24 jam, kemungkinan orang tidak akan berbuat yang tidak-tidak, tapi malah pergi ke perpustakaan dan membaca buku.

Kalau saja perpustakaan buka setiap saat, kesempatan warga untuk belajar tidak mengenal batas waktu.

Kalau saja perpustakaan mempunyai cabang di beberapa kecamatan dan kelurahan, budaya membaca dan menulis akan tumbuh subur di bumi pertiwi ini.

Banyak angan-angan, apakah akan terjadi? Mungkin saja. Tidak ada yang mustahil, meskipun sepertinya tidak bisa terwujud dalam waktu dekat.

Ada 3 (tiga) impian saya yang berkaitan dengan perpustakaan:

1. Perpustakaan buka 24 jam

"Hah, gak salah?"

Yah, ini hanya impian. Daripada warga berbondong-bondong ke mal atau kafe untuk menyalurkan hobi berbelanja atau hasrat konsumtif; menimba ilmu di perpustakaan adalah salah satu hal terbaik yang bisa dipilih.

Melihat buku-buku berjejer rapi di rak-rak memanjang sudah menyegarkan mata saya, apalagi saat saya membaca buku-buku tersebut. 

Saya mendapat banyak pencerahan dengan membaca berbagai buku yang tersedia, mulai dari biografi sampai novel. Banyak pelajaran berharga yang saya dapatkan.

Apalagi dari beberapa biografi yang saya sudah baca. Saya melihat banyak tokoh-tokoh ternama, saat usia dini dan remaja, hidup mereka begitu pahit, tapi mereka tetap berjuang.

Tidak menyerah; jatuh berkali-kali, tapi bangkit terus-menerus; konsisten, sampai mereka mendapatkan hasil yang mereka dambakan.

Saya jadi merasa malu dengan diri saya sendiri yang baru beberapa kali gagal dan itu pun tidak separah yang dialami tokoh-tokoh ini.

Ibaratnya, buku-buku ini seperti menjadi obat. Mental healing. Mengobati mental yang mengalami gangguan. Daripada keleleran, bingung mau kemana, lebih baik ke perpustakaan.

Sayangnya, perpustakaan buka 24 jam hanya sebatas impian. Apakah bisa terwujud? Entahlah. 

2. Perpustakaan selalu memperbaharui koleksi buku fisik dan digital

Buku fisik yang mungkin menjadi persoalan.

Keterbatasan ruangan mungkin saja menjadi problem utama apabila terjadi penambahan koleksi buku fisik.

Sebenarnya, pembangunan lantai ke atas bisa menjadi pertimbangan, mengingat bentuk gedung yang seperti kubus atau kotak, seperti yang nampak pada perpusprov Kaltim.

Penambahan lantai akan menambah ruangan baru untuk menampung buku-buku teranyar. Sayangnya, tidak mudah mendapat pembiayaan untuk penambahan ruangan baru.

Untuk penambahan buku digital bisa dikatakan tidak ada masalah yang berarti karena baik perpus kota Samarinda maupun perpusprov Kaltim mempunyai aplikasi perpustakaan masing-masing.

Yang menjadi persoalan adalah tampilan buku digital yang tidak menyamankan mata. Masih dalam bentuk pdf. Semoga saja perpustakaan bisa menggunakan format buku digital yang lebih ramah mata di kemudian hari.

3. Pemerintah membuka banyak perpustakaan di berbagai kelurahan dan kecamatan

Dari beberapa artikel di Kompasiana yang sempat tayang, ada yang menarik seputar perpustakaan di berbagai negara maju yang tersebar cukup merata di beberapa titik di kota-kota tersebut. 

Tak heran, minat baca warga-warga di negara-negara tersebut sangat tinggi. 

Bagaimana dengan di Indonesia? Jumlah perpustakaan tidak banyak di Indonesia. Bahkan di kota-kota besar sekalipun, jumlah perpustakaan bisa dihitung dengan jari dan kebanyakan berada di pusat kota.

Tentu saja, jumlah perpustakaan yang minim dan berada di pusat kota menjadi masalah serius, apalagi bagi warga yang tinggal jauh dari pusat kota alias di pinggiran kota. 

Seperti contohnya diri saya sendiri. 

Saya tinggal di pinggiran kota. Untuk mencapai perpusprov Kaltim, dengan mengendarai sepeda motor andalan, saya membutuhkan waktu sekitar 30 menit kalau kondisi arus lalu lintas ramai lancar. Kalau macet dan padat merayap, bisa dipastikan waktu tempuh bisa lebih lama. 

Untuk sampai ke perpus kota Samarinda, memang lebih singkat, tapi juga tidak singkat-singkat amat. Butuh waktu sekitar 20 menit. Tentu saja, syarat dan ketentuan berlaku. Arus lalu lintas ramai lancar.

Kalau waktu habis di jalanan, tentu saja itu akan menjadi pertimbangan bagi warga.

Daripada habis di jalanan, lebih baik menghabiskan waktu di rumah. 

Seandainya ada perpustakaan di berbagai kelurahan dan kecamatan, tentu saja akan sangat membantu para warga yang haus dan lapar akan ilmu pengetahuan serta hiburan yang menyehatkan.

Hiburan bukan monopoli televisi atau YouTube atau aplikasi video streaming semisal Netflix, Prime Video, Vidio, dan lain sebagainya. Buku-buku, terutama novel dan kumpulan cerpen bisa menjadi sarana hiburan yang menyegarkan dan menyehatkan untuk jiwa.

Saya pernah melihat pelang "perpustakaan" di salah satu kelurahan di Samarinda. Tapi perpustakaan terlihat "menyempil" tak kentara di pojokan gedung kelurahan, pintu tertutup, dan saya tidak bisa melihat ke dalam perpustakaan melalui jendela.

Entah jendela memakai kaca buram dimana hanya orang yang di dalam yang bisa melihat keluar; atau memang lampu di perpustakaan dalam kondisi padam.

Apakah perpustakaan di kelurahan tersebut untuk para warga atau hanya diperuntukkan bagi pegawai di kelurahan tersebut? Entahlah. 

Seandainya di kantor kelurahan dan kecamatan ada perpustakaan untuk para warga, tanpa melihat dimana mereka tinggal alias bebas bagi semua warga, alangkah bagusnya.

Warga tidak akan kesulitan lagi mengakses bacaan-bacaan dalam bentuk buku-buku fisik, karena pihak pemerintah sudah "mendekatkan" sumber bacaan tersebut pada warganya.

Dan alangkah lebih baik lagi jika pemerintah menyediakan sarana perpustakaan di setiap RT dan RW, supaya lebih memasyarakatkan budaya baca dan (syukur-syukur) budaya tulis di bumi pertiwi ini.

Jika ingin maju, maka...

Yah, negeri +62 adalah negeri yang besar dengan banyaknya gugusan pulau dan luasnya lautan. Belum lagi adanya sumber daya alam (SDA) melimpah yang terkandung di dalamnya. 

Sayangnya, kita terlena dengan luas wilayah dan kekayaan SDA, sampai malah mengabaikan sumber daya manusia (SDM). Terlihat dengan nyata, bagaimana kurikulum selalu berganti setiap pergantian menteri, tapi tetap saja pendidikan Indonesia sangat jauh atau malah semakin menjauh dari harapan.

Sudah saatnya pemerintah menciptakan pendidikan yang inklusif; yang sederhana; yang tidak memerlukan retorika janji-janji politik yang tidak membumi; yang dekat dengan warga. 

Perpustakaan, sarana sederhana, yang selama ini terkesan "eksklusif" dan jauh dari warga karena keterbatasan jumlah dan jam layanan. Sudah seharusnya pemerintah menyediakan jumlah perpustakaan yang memadai dan jam layanan yang bersahabat untuk semua warga. 

Dengan begitu, "Indonesia menjadi negara maju" tidak hanya sebatas impian belaka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun