Keterbatasan ruangan mungkin saja menjadi problem utama apabila terjadi penambahan koleksi buku fisik.
Sebenarnya, pembangunan lantai ke atas bisa menjadi pertimbangan, mengingat bentuk gedung yang seperti kubus atau kotak, seperti yang nampak pada perpusprov Kaltim.
Penambahan lantai akan menambah ruangan baru untuk menampung buku-buku teranyar. Sayangnya, tidak mudah mendapat pembiayaan untuk penambahan ruangan baru.
Untuk penambahan buku digital bisa dikatakan tidak ada masalah yang berarti karena baik perpus kota Samarinda maupun perpusprov Kaltim mempunyai aplikasi perpustakaan masing-masing.
Yang menjadi persoalan adalah tampilan buku digital yang tidak menyamankan mata. Masih dalam bentuk pdf. Semoga saja perpustakaan bisa menggunakan format buku digital yang lebih ramah mata di kemudian hari.
3. Pemerintah membuka banyak perpustakaan di berbagai kelurahan dan kecamatan
Dari beberapa artikel di Kompasiana yang sempat tayang, ada yang menarik seputar perpustakaan di berbagai negara maju yang tersebar cukup merata di beberapa titik di kota-kota tersebut.Â
Tak heran, minat baca warga-warga di negara-negara tersebut sangat tinggi.Â
Bagaimana dengan di Indonesia? Jumlah perpustakaan tidak banyak di Indonesia. Bahkan di kota-kota besar sekalipun, jumlah perpustakaan bisa dihitung dengan jari dan kebanyakan berada di pusat kota.
Tentu saja, jumlah perpustakaan yang minim dan berada di pusat kota menjadi masalah serius, apalagi bagi warga yang tinggal jauh dari pusat kota alias di pinggiran kota.Â
Seperti contohnya diri saya sendiri.Â
Saya tinggal di pinggiran kota. Untuk mencapai perpusprov Kaltim, dengan mengendarai sepeda motor andalan, saya membutuhkan waktu sekitar 30 menit kalau kondisi arus lalu lintas ramai lancar. Kalau macet dan padat merayap, bisa dipastikan waktu tempuh bisa lebih lama.Â