Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Apakah Malam Belajar Setelah Sibuk Seharian?

3 Desember 2023   17:53 Diperbarui: 6 Desember 2023   13:38 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (shutterstock via kompas.com)

Dua artikel saya sebelumnya sudah mempermasalahkan kesibukan murid les yang seabrek, salah satunya adalah kerja kelompok, sehingga les privat pun menjadi tiada.

Tapi ternyata tidak berhenti rasa penasaran yang berkecamuk di dada.

Les privat batal di malam hari dengan alasan mayoritas capek. Lalu malamnya, apa yang dikerjakan sang anak?

Saya ragu kalau mereka belajar secara mandiri di rumah di malam hari. Sedangkan untuk les privat saja tidak mau, apalagi belajar sendiri tanpa pengawasan orangtua sama sekali.

Beberapa murid les menunjukkan kemalasan dalam belajar, jadi wajar kalau keraguan belajar di malam hari menyeruak.

Ambil contoh, M, laki-laki, peserta didik kelas sembilan SMP. Dia sering membatalkan les dengan mayoritas alasan capek karena sibuk seharian di sekolah.

Apakah dia belajar di malam hari sendiri tanpa les dengan saya? 

Saya meragukan itu, karena saya sudah sangat mengenal M. Saya sudah mengajar les privat kepada M sejak dia berstatus murid SD. Sudah bertahun-tahun saya mengajarnya.

"Untuk ujian akhir semester saja, saya harus memaksa dia untuk belajar, karena dia malah sengaja tidur. Tidak mau belajar," kata E, bibi M, adik dari ibunya M.

Dan M, waktu saya tanya bagaimana cara dia belajar di malam hari, dia bilang, "Saya hanya lihat gambar dan baca sekilas keterangan gambar di bawahnya."

Saya cuma bisa tepok jidat mendengarnya.

Saya mencermati lesunya peserta didik di sekolah dan murid-murid les, yang berimbas pada enggannya atau malasnya belajar selama bertahun-tahun, khususnya malas belajar di malam hari.

Berdasarkan pengamatan, saya menyimpulkan ada tiga penyebab mengapa anak malas belajar khususnya di malam hari setelah sibuk seharian (di luar alasan capek):

1. Anak tidak punya tujuan yang jelas dalam bersekolah

Tujuan itu tidak mesti berupa cita-cita. Bisa saja anak rajin belajar di saat malam karena ingin memberikan nilai-nilai yang memuaskan kepada orangtuanya.

Atau bisa saja ingin menunjukkan pada teman-temannya kalau dia bisa menguasai mata pelajaran-mata pelajaran di sekolah.

Tapi tak bisa disangkal kalau cita-cita menjadi motor penggerak yang paling mujarab dalam mendorong motivasi belajar, meskipun badan lelah sekalipun.

Mengenai ini, saya jadi teringat salah seorang murid les di masa lampau.

W, anak perempuan, pelajar di salah satu SMP Negeri favorit di Samarinda. Kalau tidak salah, saya mulai mengajar les privat di rumah W saat W berada di kelas delapan SMP.

Saat pertama kali mengajar, W terlihat biasa-biasa saja di mata saya, Seperti murid les lainnya yang beranjak remaja dan sedang labil-labilnya karena perubahan secara fisik dan mental.

Ternyata saya keliru.

W bukan hanya cerdas, tapi dia juga rajin, dan bercita-cita ingin menjadi seorang dokter kelak. 

"Kenapa ingin jadi dokter?" tanya saya.

"Kelihatan keren kalau jadi dokter. Pakai baju putih. Pintar lagi...," jawab W lugas.

"W mengidolakan dokter T, dokter keluarga kami," S, ibu W yang saat itu juga mendengar pertanyaan saya ikut menimpali, "W senang sama dokter T. Katanya dokter T pintar, ramah, dan keren. Makanya dia mau jadi dokter seperti dokter T."

Tentu saja saya sangat senang mengetahui hal tersebut. Sangat jarang saya menemukan generasi muda dengan cita- cita yang kuat seperti W. Rata-rata hanya bercita-cita tapi ngasal; atau cuma lihat kerennya aja, tapi tidak bisa memberi alasan logis kenapa memilih cita-cita tersebut.

Waktu saya bertanya pada M ketika dia masih berstatus murid SD beberapa tahun yang lalu, dia menyebutkan polisi, pilot, dan dokter.

Ketika saya bertanya saat ini, dia menyebut pemain bulutangkis sebagai cita-citanya.

M dulu sempat kecanduan gim online di smartphone. Sekarang sudah tidak, karena ada pembatasan penggunaan HP dari orangtuanya. Sayangnya, M tetap malas belajar karena tidak tahu tujuan dia bersekolah

2. Kalaupun punya tujuan, anak tidak tahu langkah-langkah untuk mencapai tujuan itu

Cita-cita sudah setinggi langit, tapi tidak tahu bagaimana untuk meraihnya.

Tragis?

Yah, bisa dibilang begitu.

Seperti contoh M tadi di poin pertama. Waktu dulu ketika masih berstatus murid SD, M ingin menjadi pilot. Sayangnya dia malas belajar. Sewaktu saya mengatakan kalau untuk menjadi seorang pilot, dia harus menguasai Matematika, IPA, Bahasa Inggris, dan Bahasa Indonesia sebagai syarat minimal, M mundur teratur.

Alasannya? Karena, selain tidak suka belajar, dia benci belajar Matematika, IPA, dan Bahasa Inggris

M beralih cita-cita ke polisi. Saya pun mengatakan syarat minimal yang persis sama dengan syarat minimal menjadi pilot.

Cita-cita M beralih kembali. Menjadi dokter. "Kalau dokter, syarat minimalnya lebih ringan kan?" tanya M.

"Malah lebih berat syarat minimalnya. Lebih berat daripada syarat minimal menjadi pilot dan polisi. Paling berat," jawab saya.

Miris melihat kebanyakan murid les hanya bercita-cita tinggi, tapi tidak tahu langkah-langkah untuk mencapai cita-cita tersebut. Yang paling parah, kalau tidak mau melakukan langkah-langkah tersebut, seperti yang M lakukan.

Berbeda dengan W. Dia fokus dengan cita-citanya. Menjadi dokter. Dia tahu, IPA dan Matematika adalah syarat mutlak untuk menjadi dokter. Bahasa Inggris juga menjadi keharusan.

"Dokter T bilang, buku-buku kedokteran hampir sebagian besar berbahasa Inggris. Jadi wajib harus bisa bahasa Inggris," kata W.

Makanya W, atau lebih tepatnya ayah dan ibu W meminta saya untuk mengajar les bahasa Inggris kepada W beberapa tahun yang lalu.

W rajin belajar. Langkah-langkah untuk menjadi dokter adalah menguasai IPA, Matematika, dan Bahasa Inggris. Meskipun begitu, W juga tidak mengabaikan mata pelajaran-mata pelajaran lainnya karena semuanya penting juga demi memperoleh ranking atau peringkat yang terbaik di kelas.

Selain itu, W disiplin dalam belajar. Meskipun baru jam lima sore tiba di rumah dari sekolah, pada jam tujuh malam, dia tetap les dengan saya. Memang ada hari-hari dia tidak les karena kecapekan, tapi itu jarang terjadi.

Tidur jam sembilan malam dan bangun pagi jam tiga atau empat.

"W suka belajar pagi-pagi sekali. Lebih segar katanya," kata S, ibu W.

Langkah disiplin dalam mengatur waktu. Saya acungi jempol untuk W.

3. Anak tidak mau berproses panjang untuk mencapai tujuan

Menjamurnya penggunaan smartphone yang semakin masif mungkin sangat mempengaruhi budaya "instan" di zaman ini.

Hampir setiap orang menginginkan hidup seperti mudahnya mengakses smartphone.

Ingin nonton film, tinggal klik Netflix, Amazon Prime Video, Disney+ Hotstar, dan kawan- kawannya.

Mau main game online, tinggal masuk ke Google Play Store atau App Store. Telusur berbagai permainan, pilih salah satu atau salah dua, install, dan game pun ready untuk dimainkan.

Mau tahu jawaban PR sekolah yang rumit, tinggal tanya Mbah Google. Atur beres!

Sayangnya, hidup sukses tidak semudah klik-klik dan tanya Mbah Google. Tidak bisa dalam hitungan menit atau detik langsung pintar.

Ada proses panjang yang harus dilewati. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Hasilnya pun tidak bisa tertebak. Antara dua. Berhasil atau gagal.

Kalau berhasil, jangan terlena dan jumawa. Teruskan perjuangan. Kalau gagal, jangan putus asa, jangan patah semangat. Terus berusaha sampai keberhasilan itu menjadi nyata.

M tidak sabaran. Dia mau semuanya cepat selesai. Contohnya: dia hanya ingin jalan tol dalam mengarang. Setelah mengarang usai, tanpa memeriksa kembali, tanpa membaca ulang, tanpa editing, M langsung mengirim file karangan ke Google Classroom.

Menurut dia, yang penting cepat selesai. Bicara hasil baik atau tidak mengenai kualitas karangan, urusan belakang! Tidak penting!

Bagaimana orang tua mendidik putra-putri mengenai kewajiban belajar?

Adalah orangtua, ayah dan ibu, yang berperan sangat vital dalam pendidikan. Bukan sekolah. Jangan menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab mendidik anak pada sekolah karena itu tidak benar.

Orangtua harus menumbuhkan tanggungjawab putra-putri dalam belajar, khususnya di malam hari. Kewajiban belajar adalah koentji sukses anak jika ingin meraih mimpi.

Bagaimana orangtua mendidik putra-putri mengenai kewajiban belajar?

Ada tiga langkah yang bisa dilakukan:

1. Orangtua membimbing anak untuk menemukan tujuan yang jelas dalam bersekolah

Anak bukan orang dewasa dalam ukuran mini. Kebanyakan orang tua melakukan "pembiaran", tidak mengarahkan anak untuk menentukan tujuan hidup, karena menganggap anak bisa mencari sendiri tujuan kenapa dia bersekolah. Berdasarkan pengamatan, kebanyakan dari mereka menyerahkan urusan mendidik putra-putri kepada sekolah.

Sudah seharusnya orangtua membimbing anak untuk menemukan tujuan yang jelas dalam bersekolah.

Bicara dari hati ke hati, Buka wawasan sang anak bahwa bersekolah jangan karena terpaksa, tapi karena ada tujuan yang ingin dicapai kelak di masa depan saat dia, sang anak, dewasa.

W memutuskan untuk menjadi seorang dokter bukan tanpa alasan. Selain memang mimpinya, cita-citanya, dia juga ingin menyejahterakan orangtua.

Makanya dia memantapkan tujuan dengan menuliskan tekad di buku bahwa dia mau menjadi seorang dokter kelak.

Beruntungnya, W mempunyai orangtua yang mendukung cita-citanya.

"Saya akan bekerja sekuat tenaga, bersama suami; bekerja keras demi mewujudkan cita-cita W. Apa pun akan kami lakukan ...," kata S, ibu W yang berprofesi sebagai guru SD.

Tujuan jelas, anak pun bersemangat dalam bersekolah.

2. Orangtua mendidik putra-putri dalam menyusun langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut

Perbincangan antara orangtua dan anak perlu dilakukan untuk memetakan langkah-langkah yang harus dilaksanakan sang anak demi mencapai tujuan.

Langkah-langkah seperti disiplin diri, mulai bangun pagi alias mata melek sampai mata merem atau pergi tidur di waktu malam perlu diatur sedemikian rupa supaya hidup seimbang antara belajar, rekreasi, dan istirahat.

Orangtua juga harus membimbing anak perihal berbagai aktivitas, baik itu aktivitas sekolah maupun aktivitas luar sekolah, yang mendukung tercapainya tujuan.

Jangan sampai memilih aktivitas yang malah menjauhkan sang anak dari tujuannya, dari cita-citanya.

W, karena sudah menetapkan tujuan ingin menjadi seorang dokter, mengatur jadwal sehari-harinya dengan sangat ketat. Dia tidak mengikuti ekskul, selain pramuka, yang dilakukan di hari Sabtu kala itu.

"Saya pikir ekskul-ekskul itu tidak berhubungan langsung dengan cita-cita saya. Bukan berarti tidak penting, tapi saya ingin mengejar pencapaian tujuan," kata W.

Untuk menjaga kesehatan, W berjalan kaki saat sore hari. Bagi dia, itu sudah cukup untuk menjaga kebugaran tubuh. Seperti ada kalimat yang saya pernah baca entah dimana yang berbunyi, "Sukses ada polanya; Gagal juga ada polanya."

Perencanaan langkah-langkah sangat penting untuk mencapai kesuksesan.

3. Orangtua mendidik anak perihal proses panjang untuk mencapai tujuan

Serba cepat.

Dua kata yang menggambarkan zaman ini, di mana dunia seakan berada dalam genggaman tangan. Dengan satu-dua sentuhan jari, seakan solusi terhidang untuk memecahkan masalah setiap insan.

Kemudahan mengakses internet melalui gawai tidak bisa disamakan dengan meraih kesuksesan. Tetap harus ada upaya keras dalam tindakan nyata secara konsisten dalam keseharian.

W selalu rajin belajar sejak usia dini. Tak heran kalau dia selalu meraih peringkat pertama sejak Sekolah Dasar.

Di SMP, W mempunyai beberapa kompetitor yang juga tidak kalah rajin, tapi W tetap meraih ranking satu di kelas.

Sampai puncaknya, beberapa tahun yang lalu, W meraih nilai ujian Nasional (UN) SMP yang tertinggi di tingkat kota Samarinda.

Tentu saja saya ikut bangga telah menjadi guru W.

W mendapat beasiswa dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Timur (Kaltim) untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) atau Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).

Pemprov Kaltim memberi dua pilihan: sebuah SMA Unggulan di Samarinda atau sebuah SMA Unggulan di kota tertentu yang sudah dipilih Pemprov di pulau Jawa.

W memilih SMA unggulan di pulau Jawa. Tanpa berpikir lama.

"Saya ingin mandiri. Di sana juga tinggal di asrama, Jadi tidak ada biaya untuk indekos," kata W.

"Saya dan suami sebenarnya merasa berat melepaskan W sekolah di pulau Jwa. tekadnya sudah bulat. Lagipula, dia ingin melanjutkan pendidikan selepas tamat SMA di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Harapannya, akan lebih mudah lulus FKUI jika tamat SMA di pulau Jawa," kata S, ibunda W.

Sejak usia dini sudah ditanamkan pendidikan agama dan moral yang baik, serta nilai kesuksesan diperoleh dari proses panjang. Walhasil, anak menjadi pribadi yang tangguh di masa depan.

Tujuan, langkah, proses

Secapek apa pun, sesakit apa pun, kalau anak sudah menetapkan tujuan dia bersekolah, sudah menuliskan langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut, dan sabar dalam berproses panjang, maka belajar di saat malam hari tidak akan menjadi beban, tapi menjadi kesukaan, karena menjadi jalan untuk meraih impian.

Kiranya apa yang tertuang di mari bisa bermanfaat bagi Anda, khususnya bagi orangtua yang mendapati motivasi belajar anak yang sangat rendah terutama di malam hari.

Tujuan, langkah, dan proses adalah tiga koentji untuk mendobrak kemalasan dalam belajar.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun