"Kelihatan keren kalau jadi dokter. Pakai baju putih. Pintar lagi...," jawab W lugas.
"W mengidolakan dokter T, dokter keluarga kami," S, ibu W yang saat itu juga mendengar pertanyaan saya ikut menimpali, "W senang sama dokter T. Katanya dokter T pintar, ramah, dan keren. Makanya dia mau jadi dokter seperti dokter T."
Tentu saja saya sangat senang mengetahui hal tersebut. Sangat jarang saya menemukan generasi muda dengan cita- cita yang kuat seperti W. Rata-rata hanya bercita-cita tapi ngasal; atau cuma lihat kerennya aja, tapi tidak bisa memberi alasan logis kenapa memilih cita-cita tersebut.
Waktu saya bertanya pada M ketika dia masih berstatus murid SD beberapa tahun yang lalu, dia menyebutkan polisi, pilot, dan dokter.
Ketika saya bertanya saat ini, dia menyebut pemain bulutangkis sebagai cita-citanya.
M dulu sempat kecanduan gim online di smartphone. Sekarang sudah tidak, karena ada pembatasan penggunaan HP dari orangtuanya. Sayangnya, M tetap malas belajar karena tidak tahu tujuan dia bersekolah
2. Kalaupun punya tujuan, anak tidak tahu langkah-langkah untuk mencapai tujuan itu
Cita-cita sudah setinggi langit, tapi tidak tahu bagaimana untuk meraihnya.
Tragis?
Yah, bisa dibilang begitu.
Seperti contoh M tadi di poin pertama. Waktu dulu ketika masih berstatus murid SD, M ingin menjadi pilot. Sayangnya dia malas belajar. Sewaktu saya mengatakan kalau untuk menjadi seorang pilot, dia harus menguasai Matematika, IPA, Bahasa Inggris, dan Bahasa Indonesia sebagai syarat minimal, M mundur teratur.
Alasannya? Karena, selain tidak suka belajar, dia benci belajar Matematika, IPA, dan Bahasa Inggris