DALAM HENING KU MELANGKAH
 Karya: Maria
Langit merah jingga itu seperti gambaran sempurna dari perasaan yang bergolak dalam hati Lara, seperti ombak yang tidak pernah berhenti menghantam  jiwanya. Usianya yang baru 17 tahun tampak terlalu muda untuk memikul beban yang terasa begitu berat. Dunia remajanya, yang seharusnya penuh dengan tawa dan kebebasan, kini terasa seperti sebuah labirin yang tak pernah memberi jalan keluar. Setiap pintu yang terbuka, hanya memperlihatkan kebingungannya lebih dalam.
Dulu, Lara adalah gadis ceria yang tak pernah memikirkan masa depan. Tertawa tanpa beban bersama teman-temannya, hidup terasa sederhana dan penuh warna. Namun kini, semuanya berubah. Dunia yang dulu begitu terang kini menyelimuti dirinya dalam kegelapan keraguan, setiap pilihan terasa seperti tebing yang harus dilalui tanpa petunjuk arah.
 Di kamarnya yang sempit, Lara sering duduk memandangi bintang-bintang yang bersinar redup, bertanya-tanya dalam hati,
 "Apa yang sebenarnya aku inginkan? Dan Ke mana aku harus melangkah?"
Ketakutan merayap dalam setiap ruang hatinya. Ketakutan bukan hanya soal kegagalan, tetapi juga tentang kehilangan dirinya yang dulu. Dia merasa seperti ada bagian dari dirinya yang menghilang, dan ia tak tahu bagaimana cara menemukannya Kembali.
     Sekolah yang seharusnya menjadi tempat untuk ia menggali potensi dirinya  kini menjadi medan pertempuran bagi Lara. Teman-temannya tampak begitu yakin dengan tujuan hidup mereka. Mereka berbicara tentang ujian, tentang jurusan kuliah, tentang masa depan yang mereka rencanakan. Sedangkan Lara, bagai daun yang tertiup angin, tak tahu ke mana harus mengarah. Bahkan Santi, sahabat yang dulu selalu ada untuknya, kini semakin menjauh. Dunia mereka berubah tanpa bisa mereka hindari.
Pada suatu pagi, ketika mereka duduk di bangku panjang di depan kelas, Lara melihat Santi tertawa lepas dengan teman-teman barunya. Tawa itu seperti jarum yang menusuk, semakin memperdalam jarak di antara mereka. Ketika Santi akhirnya mendekatinya, suasana menjadi canggung.
"Ra, kita perlu bicara,"
kata Santi dengan serius.
Lara memandangnya bingung.
"Ada apa, San?"
Santi menarik napas panjang.
 "Aku merasa kita semakin jauh. Kamu sibuk belajar, aku sibuk dengan kegiatan baru. Rasanya aneh, Ra. Aku nggak mau kita jadi asing."
Lara terdiam, merasakan hal yang sama, tapi tak tahu harus berkata apa.
 "Aku juga merasa begitu, San. Kadang aku merasa kita punya dunia masing-masing sekarang."
"Aku nggak mau kehilangan kamu, Ra,"
 jawab Santi dengan suara bergetar.
"Tapi kita berubah. Dunia kit ajadi  berubah kita sudah tidak seperti yang dulu."
Lara menundukkan kepala, air mata hampir jatuh.
"Aku takut kehilangan semuanya, San. Masa kecil kita, kebebasan itu, bahkan kamu. Semua itu terasa menjauh."
Santi tersenyum, meski senyum itu penuh kesedihan.
"Aku paham, Ra. Aku juga takut. Tapi mungkin inilah yang namanya tumbuh dewasa. Perubahan itu menakutkan, tapi kita nggak bisa menghindarinya. Yang penting, kita tetap saling mendukung meskipun jalan kita berbeda."
Percakapan itu seperti pintu yang terbuka lebar bagi Lara. Malam itu, ia menulis di buku hariannya:
 "Perubahan memang sulit, tetapi itu bagian dari hidup. Aku tak bisa terus hidup di masa lalu. Masa kecilku adalah bagian dari diriku, tetapi aku harus melangkah maju. Aku mungkin tak tahu apa yang menanti di depan, tetapi aku tahu aku tidak sendiri."
Â
Lara mulai menerima kenyataan. Tumbuh dewasa berarti melepaskan beberapa hal, tetapi juga menerima hal-hal baru. Ia berusaha untuk tetap terhubung dengan Santi meskipun mereka tidak lagi memiliki dunia yang sama. Mereka berubah, tapi Lara sadar bahwa itu tak berarti mereka harus kehilangan satu sama lain
     Hari-hari berlalu dengan cepat, dan Lara mulai menemukan keberanian untuk menghadapinya. Ia berhenti berharap agar semuanya tetap sama seperti dulu. Ia berusaha untuk berbicara lebih banyak dengan teman-temannya, dan meskipun ia merasa terasing dalam beberapa momen, ia belajar bahwa perubahan tidak selalu berarti kehilangan. Ia juga mulai lebih banyak meluangkan waktu untuk dirinya sendiri, membaca buku-buku yang selama ini ia abaikan dan menulis lebih banyak di buku hariannya.
Waktu pun berlalu begitu cepat, tak terasa lara sudah berada di tahap hari pertama ia di universitas itu seperti angin segar yang menyapanya. Lara merasa seperti sebuah halaman kosong yang siap diisi, tetapi juga takut bahwa halaman itu akan terisi dengan keraguan dan ketakutan yang sama. Kampus yang luas dan ramai membuatnya merasa kecil, seperti seseorang yang tersesat di tengah keramaian. Setiap gedung tampak menjulang tinggi, menatapnya dengan tajam, seolah menantangnya untuk menghadapinya. Di ruang kelas, ia bertemu dengan berbagai orang baru, masing-masing membawa cerita dan ambisi mereka sendiri. Meski begitu, di tengah keramaian itu, ia masih merasa sedikit canggung.
Di tengah semua itu, seorang gadis berambut pendek mendekatinya.Â
"Hai, aku Maya. Kamu baru ya, di sini juga?"
Lara tersenyum canggung.Â
"Iya, aku Lara. Kamu ambil jurusan apa?"
"Psikologi," jawab Maya dengan senyuman lebar.
 "Aku suka belajar tentang manusia dan pikirannya. Kalau kamu?"
"Pendidikan Bahasa dan Sastra," jawab Lara pelan.Â
Â
Percakapan itu berkembang, dan Maya menjadi teman pertama Lara di kampus. Mereka sering berbagi cerita, dari tugas kuliah hingga impian masa depan. Maya yang ceria dan penuh energi membantu Lara untuk lebih terbuka dan merasa lebih nyaman. Meskipun mereka berbeda, hubungan mereka tumbuh dengan indah, seperti bunga yang berkembang perlahan di tengah kesulitan.
Suatu hari, di kantin kampus, Maya bertanya,Â
"Lara, kenapa kamu tertarik dan memilih jurusan  Sastra? "
Lara terdiam sejenak, lalu menjawab,
 "Karena menulis adalah cara aku untuk memahami diriku sendiri. Kadang, aku nggak bisa mengungkapkan perasaanku dengan kata-kata, tapi dengan menulis, semuanya jadi lebih jelas."
Maya mengangguk pelan.
 "Aku suka cara kamu berpikir. Kadang kita memang butuh cara berbeda untuk memahami hidup."
Â
Lara tersenyum, merasa sedikit lebih percaya diri dengan pilihannya. Namun, meskipun ia sudah mulai merasa lebih baik, dunia kampus masih terasa asing baginya. Setiap hari, ia merasakan tekanan untuk menyesuaikan diri dengan harapan-harapan yang tak pernah ia buat untuk dirinya sendiri.
Hari-hari di kampus terus berlalu, dan Lara mulai menikmati dunianya. Ia bergabung dengan klub sastra, menghadiri seminar, dan bahkan memenangkan lomba menulis cerita pendek. Dalam tulisan-tulisannya, ia menemukan cara untuk menyalurkan perasaan dan pikirannya yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ia mulai merasa lebih bebas, meskipun tetap ada rasa takut yang mengintai.
     Suatu hari, ia mengikuti lomba karya tulis tingkat nasional dengan tema "Perubahan dan Harapan di Era Modern." Minggu-minggu penuh kerja keras mengasah ide dan memperbaiki draf, akhirnya membawa hasil. Ketika namanya diumumkan sebagai juara pertama, Lara hampir tidak percaya. Saat ia naik ke panggung, air mata haru mengalir.
"Tulisan ini lahir dari pergulatan batin saya sebagai remaja yang mencari jati diri," ujarnya dalam pidatonya. "Saya berharap cerita ini bisa menjadi suara bagi mereka yang merasa takut akan perubahan."
Malam itu, saat pulang dengan penghargaan di tangannya, orang tua Lara menyambutnya dengan pelukan hangat dan merasa bangga pada pencapaian anaknya.
"Kami bangga padamu, Nak," kata ibunya dengan mata berbinar.
Ayahnya langsung memotong pembicaraan ibu,
"Kamu sudah membuktikan bahwa impian bisa tercapai dengan kerja keras. Teruslah menulis, Lara. Dunia membutuhkan cerita-cerita seperti milikmu."
Â
Lara menatap bintang-bintang di langit dari jendela kamarnya malam itu. Perjalanan hidupnya baru saja dimulai. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk terus menulis, menyampaikan suara-suara yang belum terdengar, dan membagikan harapan bagi dunia.
Langit yang indah di kampus, memantulkan warna jingga yang hangat, mengingatkan Lara akan perjalanan panjang yang masih menunggunya. Namun, dengan teman-teman baru, impian yang semakin jelas, dan hati yang lebih kuat, ia siap melangkah maju, meninggalkan jejak di setiap langkah yang diambil.
Hari-hari di kampus terus berlalu, dan setiap pagi Lara merasa seperti memasuki dunia baru. Dunia yang penuh dengan kebingungannya sendiri, namun juga penuh dengan kemungkinan yang tak terhingga. Meskipun ia sudah mulai merasa lebih nyaman dengan dirinya dan pilihannya, ada kalanya ia merasa terperangkap dalam keraguan, bertanya-tanya apakah jalannya benar atau jika ia telah membuat pilihan yang salah. Namun, ada sesuatu yang membuatnya terus maju---sesuatu yang lebih kuat daripada rasa takut atau ketidakpastian.
Suatu sore, ketika ia sedang duduk sendirian di taman kampus, menulis di buku hariannya, seorang teman sekelas bernama Dimas mendekatinya. Dimas adalah seorang mahasiswa yang sangat pintar, selalu terlihat penuh percaya diri dan mempunyai pemikiran yang tajam. Selalu menjadi pusat perhatian di kelas, Dimas tampaknya tak pernah ragu tentang apa yang ia inginkan dari hidupnya.
"Hai, Lara," kata Dimas dengan senyum ramah.
 Kamu lagi menulis lagi? Apa yang sedang kamu kerjakan?"
Â
"
Lara tersenyum kecil, menutup bukunya sejenak.
"Iya, aku lagi coba menulis cerita pendek untuk tugas sastra. Kadang aku merasa tulisan ini jadi cara aku memahami dunia sekitar."
Dimas duduk di sampingnya dan memandang dengan penuh perhatian.
 "Aku selalu kagum dengan caramu menulis, Lara. Kamu punya cara yang unik dalam merangkai kata-kata. Seperti ada sesuatu yang ingin kamu ungkapkan lewat tulisan-tulisan itu, ya?"
Lara terdiam sejenak. Selama ini, ia menulis untuk dirinya sendiri, untuk menemukan jawaban atas segala kebingungannya. Namun, mendengar pendapat Dimas membuatnya sadar bahwa tulisan-tulisannya mungkin memang memiliki arti lebih dalam, tidak hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk orang lain.
Â
"Iya, aku rasa menulis itu seperti semacam pelarian bagiku," jawabnya pelan. "Kadang dunia di luar sana terlalu berisik, dan menulis membuatku bisa mendengar suara hatiku lebih jelas."
Dimas mengangguk paham.Â
"Menulis memang bisa jadi cara untuk menemukan kedamaian. Tapi ingat, menulis juga bisa menjadi cara untuk menemukan dirimu yang sebenarnya. Kadang, kita harus berani mengungkapkan perasaan yang kita sembunyikan."
Â
Kata-kata Dimas itu menancap dalam di hati Lara. Ia sadar bahwa selama ini, ia terlalu banyak menutupi perasaannya sendiri. Ia sering merasa takut untuk menghadapi kenyataan tentang dirinya, tentang perasaannya yang kompleks, tentang ketakutan dan keraguannya.
Hari-hari berlalu, dan Lara mulai lebih terbuka dengan dirinya sendiri. Ia semakin sering menulis, semakin sering mengungkapkan segala rasa yang selama ini ia sembunyikan dalam hatinya. Ia mulai menulis cerita-cerita yang lebih dalam, yang tidak hanya bercerita tentang kehidupannya tetapi juga tentang orang lain yang mungkin merasa seperti dirinya---orang-orang yang merasa terperangkap dalam kebingungan dan ketakutan, orang-orang yang belum menemukan suara mereka.
Di sisi lain, hubungan Lara dengan Maya semakin dekat. Maya yang ceria dan selalu mengingatkan Lara untuk tidak terlalu keras pada diri sendiri. Mereka sering berbagi cerita tentang kehidupan, tentang impian dan ketakutan masing-masing. Lara merasa lebih hidup dan berani menghadapi ketidakpastian karena ada teman yang selalu mendukungnya. Mereka menghabiskan waktu bersama di kafe kampus, berbicara tentang segala hal, dari tugas kuliah hingga masa depan yang mereka impikan.
Suatu hari, Maya berkata dengan serius,
"Lara, aku selalu lihat kamu punya potensi besar. Kamu hanya perlu percaya pada dirimu sendiri. Jangan biarkan ketakutan itu menghalangi langkahmu."
Â
Lara menatap Maya dengan penuh rasa terima kasih.
 "Terima kasih, Maya. Aku merasa beruntung bisa punya teman seperti kamu. Kadang aku merasa seperti aku berjalan sendirian dalam dunia yang besar ini."
Maya tersenyum lembut.
"Kamu nggak pernah sendirian, Lara. Kita semua punya jalan yang berbeda, tapi kita tetap bisa saling mendukung."
Lara merenung sejenak. Kata-kata Maya memberikan kekuatan baru baginya. Mungkin selama ini ia terlalu sering merasa kesepian dalam perjalanan hidupnya. Tapi kenyataannya, ia tidak pernah benar-benar sendirian. Ada teman-teman, ada orang-orang yang peduli, bahkan jika kadang mereka berada di jalan yang berbeda.
Pada suatu malam yang cerah, Lara mendapat kabar dari panitia lomba karya tulis tingkat nasional. Tulisan yang ia kirimkan dengan tema "Perubahan dan Harapan di Era Modern" berhasil meraih penghargaan. Ketika namanya diumumkan sebagai pemenang, rasa bangga dan haru begitu memenuhi dirinya. Seakan-akan, semua kerja keras, keraguan, dan ketakutan yang ia hadapi selama ini menjadi sebuah kemenangan besar.
Di panggung, Lara mengucapkan pidatonya dengan penuh perasaan.
"Tulisan ini lahir dari perjalanan batin saya yang penuh kebingungan, ketakutan, dan harapan. Saya percaya, setiap perubahan membawa peluang, dan dalam setiap ketidakpastian, ada kekuatan yang bisa ditemukan. Semoga tulisan ini bisa memberikan harapan bagi mereka yang merasa terperangkap dalam dunia yang terus berubah."
Dengan penghargaan itu, dengan teman-teman yang mendukung, dan dengan hati yang lebih kuat dari sebelumnya, Lara siap menghadapi semua yang ada di depannya. Ia tahu bahwa setiap langkah kecil yang diambil, setiap keputusan yang dibuat, adalah bagian dari perjalanan yang lebih besar, yang membentuknya menjadi siapa dirinya.
Langit senja yang memantulkan warna jingga yang hangat, kembali mengingatkan Lara akan perubahan dalam hidupnya. Perubahan yang dulu menakutkan, kini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari dirinya. Ia telah belajar untuk menerima perubahan, untuk melepaskan yang lama dan menyambut yang baru, untuk tidak lagi takut melangkah ke arah yang belum pasti.
Dengan harapan yang semakin jelas, Lara tahu bahwa ia tidak hanya sedang menulis kisah hidupnya, tetapi juga sedang menciptakan masa depannya. Setiap langkah yang diambil adalah bukti bahwa meskipun dunia terus berubah, ia tetap bisa menjadi pengarang cerita hidupnya sendiri.
Dunia yang luas penuh haru dan jemu,
Tapi kini, berubah menjadi labirin semu,
Pintu-pintu terbuka, namun semua sudah berlalu,
Dan aku terjebak di antara bayang-bayang masa lalu.
Â
Di balik jendela, bintang bersinar terang
Namun semua yang ku lihat sudah usang,
Tanya-tanya yang tak terucap padaku
Seperti cermin yang memantulkan diriku,
                         TAMAT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H