"Aku suka cara kamu berpikir. Kadang kita memang butuh cara berbeda untuk memahami hidup."
Â
Lara tersenyum, merasa sedikit lebih percaya diri dengan pilihannya. Namun, meskipun ia sudah mulai merasa lebih baik, dunia kampus masih terasa asing baginya. Setiap hari, ia merasakan tekanan untuk menyesuaikan diri dengan harapan-harapan yang tak pernah ia buat untuk dirinya sendiri.
Hari-hari di kampus terus berlalu, dan Lara mulai menikmati dunianya. Ia bergabung dengan klub sastra, menghadiri seminar, dan bahkan memenangkan lomba menulis cerita pendek. Dalam tulisan-tulisannya, ia menemukan cara untuk menyalurkan perasaan dan pikirannya yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ia mulai merasa lebih bebas, meskipun tetap ada rasa takut yang mengintai.
     Suatu hari, ia mengikuti lomba karya tulis tingkat nasional dengan tema "Perubahan dan Harapan di Era Modern." Minggu-minggu penuh kerja keras mengasah ide dan memperbaiki draf, akhirnya membawa hasil. Ketika namanya diumumkan sebagai juara pertama, Lara hampir tidak percaya. Saat ia naik ke panggung, air mata haru mengalir.
"Tulisan ini lahir dari pergulatan batin saya sebagai remaja yang mencari jati diri," ujarnya dalam pidatonya. "Saya berharap cerita ini bisa menjadi suara bagi mereka yang merasa takut akan perubahan."
Malam itu, saat pulang dengan penghargaan di tangannya, orang tua Lara menyambutnya dengan pelukan hangat dan merasa bangga pada pencapaian anaknya.
"Kami bangga padamu, Nak," kata ibunya dengan mata berbinar.
Ayahnya langsung memotong pembicaraan ibu,
"Kamu sudah membuktikan bahwa impian bisa tercapai dengan kerja keras. Teruslah menulis, Lara. Dunia membutuhkan cerita-cerita seperti milikmu."
Â