Hukum Keluarga Islam di Indonesia
( Dr. H. A. Kumedi Ja'far, S.Ag., M.H.)
Hafid Salafudin
222121096(HKI 4C)
Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta, Indonesia
Abstract:
Buku yang berjudul Hukum Keluarga Islam Di Indonesia ini ditulis oleh Dr. H. A. Kumedi Ja'far, S.Ag., M.H. membahas tentang hukum-hukum dalam keluarga Islam khsususnya yang ada di Indonesia. Buku ini adalah salah satu buku yang mengupas secara singkat dan padat persoalan-persoalan hukum yang berkembang seputar kehidupan keluarga mulai dari hukum seputar perkawinan, perceraian, kewarisan, wasiat sampai pada perwakafan dalam kajian keindonesiaan. Tujuan dari penulisan ini supaya mempermudah dalam memahami tentang hukum-hukum yang ada dalam keluarga Islam di Indonesia dan sebagai pegangan bagi para mahasiswa dan dosen, khususnya lingkungan Fakultas Syari'ah dan Hukum, serta bagi para pembaca umumnya. Dengan adanya penulisan ini diharapkan bisa membantu mempermudah memahami tentang hukum-hukun dalam keluarga lslam di Indonesia secara jelas dan ringkas, mengingat literatur tentang Hukum Keluarga Islam di Indonesia di kalangan masyarakat masih relatif terbatas, maka diharapkan buku ini dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan dan sebagai pedoman belajar sehingga dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Keywords: Perkawinan ; Perceraian ; Waris ; Wasiat ; Wakaf ;
Introduction
Islam adalah agama yang komprehensif, tidak hanya mengatur persoalan ibadah saja, tapi Islam juga menjembatani aspek sosial antar manusia, begitu juga dalam permasalahan yang berhubungan dengan aspek kehidupan. Dalam hal ini, hukum memegang peranan penting dalam mengatur ketertiban sosial. Akan tetapi, keberadaan hukum itu sendiri tidak dapat sepenuhnya dilepaskan dari persoalan-persoalan yang menggelapkan fungsi hukum itu sendiri yang paling utama. Sama di Indonesia, hingga saat ini masih memiliki banyak permasalahan hukum yang belum terselesaikan. Masalah hukum di Indonesia tidak hanya terkait dengan penegakan hukum, tetapi terkadang dengan produk hukum itu sendiri. Tujuan mendasar dari hukum adalah untuk meningkatkan ketertiban, kepastian hukum dan keadilan dalam masyarakat sehingga orang, tanpa memandang golongannya, merasa terlindungi dan terlindungi hak-haknya.
Hukum keluarga merupakan bagian dari hukum perorangan, sedangkan hukum keluarga diartikan sebagai seperangkat peraturan tentang kekerabatan dan kekerabatan karena perkawinan (perkawinan, pengasuhan orang tua, perwalian, pengampuan, ketidakhadiran). Dan dalam sebuah hubungan keluarga tersebut pastinya juga melibatkan peran hukum keluarga yang mencoba mengatur sebuah hubungan antar keluarga tersebut agar mendapat jaminan hidup yang baik dari keluarga mereka. Karena meskipun semua orang menginginkan hubungan keluarga yang terjalin harmonis dan bahagia pada kenyataannya tidak jarang ada beberapa konflik yang berhubungan dengan anggota keluarga sendiri sehingga memerlukan peran hukum keluarga untuk mengatasi konflik tersebut.
Hukum Perkawinan
Pengertian dan Hukum di Lakukannya Perkawinan
Perkawinan dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah an-nikah. An-Nikah yang bermakna al-wat'u dan ad-dammu wa at-tadakhul, kadangkala juga disebut dengan ad-dammu wa al-jam'u yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad. Bahkan perkawinan dalam literatur fiqh disebut dengan dua kata nikah dan zawaj. Kedua kata ini yang biasa dipakai dalam kehidupan sehari-hari dan banyak terdapat dalam al-Qur'an maupun hadis Rasulullah Muhammad saw.
Dalam pengertian majaz, nikah diistilahkan dengan akad, di mana akad merupakan sarana diperbolehkannya bersenggama. Karena nikah adalah akad, maka pernikahan didefinisikan sebagai suatu akad yang sangat kuat (mitsaqan ghalidhan) untuk memenuhi perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Adapun istilah akad nikah diartikan sebagai perjanjian suci untuk mengikatkan diri dalam perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita guna membentuk keluarga bahagia dan kekal.
Dengan demikian. Perkawinan adalah akad/perjanjian yang menghalalkan pergaulan, membatasi hak dan kewajiban, serta sikap tolong menolong antara seorang pria dan seorang wanita yang keduanya bukan muhrim. Sehingga terbentuklah fungsi masing-masing pihak sebagai akibat dari adanya ikatan lahir batin, serta terjadi pertalian yang sah antara seorang pria dan seorang wanita dalam waktu yang lama dan hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat berdasarkan saling meridhai dengan upacara ijab dan qabul serta dihadiri oleh para saksi dan para tamu undangan sebagai lambang dari adanya kesepakatan kedua mempelai.
Dalam hal menetapkan hukum suatu perkawinan terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama, namun dalam perkembangannya dapat berubah berdasarkan ahkam al-khamsah (hukum yang lima) menurut perubahan keadaan, yakni di antaranya:
1.Nikah wajib, yaitu nikah yang diwajibkan bagi orang yang telah mampu yang akan menambah takwa, selain itu nikah juga wajib bagi orang yang telah mampu yang akan menjaga jiwa dan menyelamatkannya dari perubatan haram.
2.Nikah haram, yaitu nikah yang diharamkan bagi orang yang mengetahui bahwa dirinya tidak mampu melaksanakan hidup berumah tangga, baik lahir seperti memberi nafakh, pakaian, tempat tinggal, dan lain-lain, maupun kewajiban batin seperti menggauli (mencampuri) istri.
3.Nikah sunnah, yaitu nikah yang disunnahkan bagi orang-orang yang sudah mampu tetapi ia masih mampu mengendalikan dirinya (nafsunya) dari perbuatan haram.
4.Nikah mubah, yaitu nikah bagi orang-orang yang tidak berhalangan untuk menikah dan dorongan untuk menikah juga belum membahayakan dirinya, sehingg ia belum wajib menikah.
Rukun dan Syarat Perkawinan
Menurut jumhur ulama bahwa rukun adalah hal-hal yang harus dipenuhi untuk terlaksana hakekat, baik yang merupakan bagian maupun di luar itu. Sementara syarat adalah sesuatu yang harus ada, tetapi tidak termasuk bagian hakikat. Untuk lebih jelasnya tentang rukun dan syarat perkawinan, kiranya dapat dikemukakan berikut ini:
a.Calon Suami, syaratnya antara lain:
1)Beragama Islam
2)Bukan mahram dari calon istri
3)Tidak terpaksa dan atas kemauannya sendiri
4)Tidak sedang ihram
b.Calon Istri, syaratnya antara lain:
1)Beragama Islam
2)Tidak ada halangan syara', yakni tidak sedang bersuami, bukan mahrom, dan tidak sedang dalam iddah
3)Merdeka, tidak terpaksa dan atas kemauannya sendiri
4)Tidak sedang berihram
c.Wali, syaratnya antara lain:
1)Laki-laki
2)Melihat dan mendengar
3)Baligh
4)Kemauan sendiri (tidak dipaksa)
5)Berakal dan tidak sedang berihram
d.Saksi, syaratnya antara lain:
1)Laki-laki
2)Adil
3)Baligh
4)Dapat melihat dan mendengar
5)Berakal
6)Tidak dipaksa dan tidak sedang berihram
7)Memahami bahasa yang digunakan dalam ijab kabul
e.Shigat (ijab-kabul), syaratnya antara lain:
1)Shighat harus dengan bahasa yang dapat dipahami oleh orang-orang yang melakukan akad, penerima akad, dan saksi.
2)Shighat harus jelas dan lengkap
3)Shighat harus bersambung dan bersesuaian
Berdasarkan uraian tersebut di atas jelas bahwa perkawinan (akad nikah) yang tidak memenuhi syarat dan rukunnya, maka menyebabkan perkawinan tersebut tidak sah.
Tujuan dan Hikmah Perkawinan
Perkawinan merupakan tujuan syariat yang dibawa Rasulullah, yaitu penataan hal ihwal manusia dalam kehidupan dunia dan akhirat. Perkawinan bertujuan untuk membentuk perjanjian (suci) antara seorang pria dan seorang wanita yang mempunya segi-segi perdata, yakni kesukarelaan, persetujuan kedua pihak dan kebebasan memilih. Bahkan tujuan perkawinan dalam Islam selain untuk memenuhi kebutuhan hidup jasmani dan rohani manusia, juga sekaligus untuk membentuk keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan dalam menjadikan hidupnya di dunia, serta mencegah perzinaan agar tercipta ketenangan dan ketentraman jiwa. Untuk lebih jelasnya tentang tujuan perkawinan, secara rinci kiranya dapat dikemukakan berikut ini:
1)Memperoleh kehidupan (rumah tangga) yang sakinah mawaddah wa rahmah
2)Mendapatkan keturunan/regenerasi (reproduksi)
3)Pemenuhan Kebutuhan Biologis
4)Menjaga Kehormatan (diri sendiri, anak, dan keluarga)
5)Ibadah kepada Allah
Hikmah perkawinan:
1)Terhindar dari perbuatan yang haram (perzinahan)
2)Tersalurnya naluri seks secara halal
3)Terciptanya kebahagiaan dan ketenangan jiwa
4)Terhindar dari penyakit kelamin
5)Terwujudnya semangat kerja untuk mencari rizki yang halal
6)Terciptanya rasa tanggung jawab terhadap keluarga dan masyarakat
7)Terjalinnya hubungan silaturahmi di antara keluarga dan masyarakat.
Asas dan Prinsip Perkawinan
Apabila diteliti secara seksama dalam pandangan yuridis (Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974) tentunya terdapat asas-asas yang fundamental dalam perkawinan yaitu:
a.Asas Sukarela, dalam hal ini perkawian bertujuan membentuk keluarga yang tentram dan bahagia, untuk itu suami dan istri perlu saling membantu dan saling melengkapi satu sama lain.
b.Asas Monogami, dalam hal ini seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
c.Asas Partisipasi Keluarga dan Dicatat, dalam hal ini perkawinan merupakan peristiwa yang penting, oleh karena itu partisipasi orang tua diperlukan dalam hal pemberian izin serta harus dicatat menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
d.Asas Perceraian Dipersulit, dalam hal ini karena perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, maka perceraian harus dipersulit, sebab perceraian merupakan perbuatan halal namun dibenci oleh Allah Swt.
e.Asas Kematangan Calon Mempelai, dalam hal ini calon suami dan istri harus sudah matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, sehingga dapat mewujudkan tujuan perkawinan yaitu membentuk keluarga ruamh tangga yang bahagia dan kekal.
f.Asas Memperbaiki Derajat Kaum Wanita, dalam hal ini kedudukan istri adalah seimbang dengan kedudukan suami, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat.
Prinsip perkawinan yang diformulasikan oleh Musdah Mulia ada empai hal, yaitu:
1)Prinsip Mawaddah wa Rahrnah (saling mencintai)
2)Prinsip Mu'asyarah bi al-Ma'ruf (berperilaku sopan dan beradab)
3)Prinsip Musawah (Saling melengkapi dan melindungi)
4)Prinsip Musyawarah (saling berdiskusi dan. Berkomunikasi secara efektif)
Lebih lanjut Khairuddin Nasution menjelaskan bahwa prinsip-prinsip perkawinan adalah sebagai berikut:
1)Musyawarah dan Demokrasi
2)Menciptakan rasa aman dan tentram dalam keluarga
3)Menghindari adanya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
4)Hubungan suami istri sebagai hubungan patner
5)Prinsip Keadilan
Wali dan Saksi dalam Pernikahan
Wali yang dimaksud disini adalah wali dalam perkawinan, yakni wali yang berhak menikahkan calon pengantin perempuan dengan calon pengantin laki-laki.Orang yang berhak menikahkan seorang perempuan adalah wali yang bersangkutan selama wali yang bersangkutan sanggup bertindak sebagai wali. Namun apabila wali yang bersangkutan tidak hadir atau tidak dapat bertindak sebagai wali, maka hak kewajibannya dapat berpindah kepada orang lain.
Dalam hal ini keberadaan seorang wali dalam akad nikah merupakan suatu keharusan dan tidak sah akad nikah yang tidak dilakukan oleh wali, sebab wali merupakan salah satu rukun nikah, oleh karenanya dalam akad perkawinan, wali dapat berkedudukan sebagai orang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dan dapat pula sebagai orang yang diminta persetujuannya untuk kelangsungan perkawinan tersebut. Hal ini berarti bahwa keberadaan wali dalam suatu perkawinan menjadi keharusan, terutama bagi perempuan yang masih kecil atau tidak sempurna akalnya. Berikut macam-macam wali:
a.Wali Nasab adalah wali nikah karena adanya hubungan keturunan (nasab) dengan wanita yang akan melangsungkan perkawinan.
b.Wali Hakim adalah wali nikah dari hakim atau gadai. Orang-orang yang berhak menjadi wali hakim adalah pemerintah, khalifah, penguasa, atau gadai nikah yang diberi wewenang dari kepala negara untuk menikahkan wanita yang berwali hakim.
c.Wali Tahkim adalah wali yang diangkat oleh calon suami dan atau calon istri. Cara pengangkatannya (cara tahkim) adalah calon suami mengucapkan tahkim kepada seseorang dengan suatu kalimat.
d.Wali Maula adalah wali yang menikahkan budaknya, yakni majikannya sendiri, seorang laki-laki boleh menikahkan perempuan yang berada dalam perwaliannya bila perempuan itu rela menerimanya, perempuan yang dimaksud di sini adalah hamba sahaya yang berada di bawah kekuasannya.
e.Wali Mujbir adalah seorang wali yang berhak menikahkan perempuan yang diwalikan diantara golongan tersebut tanpa menanyakan pendapat mereka lebih dahulu dan berlaku juga bagi orang yang diwalikan tampa melihat ridha tidaknya pihak yang berada di bawah perwaliannya.
f.Wali Adhal adalah wali yang tidak mau menikahkan wanita yang sudah baligh yang akan menikah dengan seorang pria sekufu.
Sedangkan Saksi menurut istilah adalah orang yang mempertanggung jawabkan kesaksiannya dan mengemukakannya di mana ia menyaksikan sesuatu/peristiwa yang orang lain tidak menyaksikannya. Dalam pelaksanaan perkawinan (akad nikah) harus dihadiri oleh saksi, sebab kehadiran saksi-saksi itu merupakan rukun dari perkawinan itu sendiri, sehingga apabila akad nikah tidak ada saksi-saksi, maka akad nikahnya tidak sah.
Kafa'ah dalam Perkawinan
Yang dimaksud dengan kafa'ah dalam perkawinan adalah keseimbangan dan keserasian antara calon suami dan istri sehinga masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan perkawinan atau dengan kata lain laki-laki sebanding dengan calon istrinya, sama dalam kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan derajat dalam akhlak serta kekayaan.
Apabila dalam perkawinan diharuskan adanya keseimbangan antara suami istri (sekufu), hal ini merupakan tuntutan wajar untuk tercapainya keserasian hidup berumah tangga. Sebab apabila tidak ada keserasian antara suami istri, biasanya akan akan sering terjadi perbedaan pandangan dan cara hidup yang mudah menimbulkan percekcokan, bahkan sering pula berakibat putusnya perkawinan. Berdasarkan dasar/ukuran yang dikemukakan oleh para ulama', semua sepakat menempatkan din (ketaatan beragama) sebagai dasar/ukuran kafaah yang utama bahkan menurut ulama Malikiyah, hanya inilah satu- satunya yang dapat dijadikan ukuran kafaah.
Hukum Perceraian
Pengertian Perceraian
Dalam konteks hukum Islam, perceraian diistilahkan "talak" atau "furqah". Adapun arti dari talak adalah membuka ikatan dan membatalkan perjanjian, sementara furqah artinya bercerai yaitu lawan dari berkumpul. Selanjutnya kedua kata ini dipakai oleh para ahli fiqh sebagai satu istilah yang berarti perceraian antara suami istri. Dengan demikian, talak adalah tindakan yang dilakukan kepada suami terhadap istri untuk bercerai, baik talak satu, dua dan tiga, talak ini hanya diucapkan dari suami kepada istri maka sahnya perceraian tersebut.
Sementara dalam perspektif yuridis, perceraian adalah putusnya suatu perkawinan dengan putusan hakim yang berwenang atas tuntutan salah seorang dari suami isteri berdasarkan alasan-alasan yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Secara normatif, talak dalam agama Islam merupakan perkara halal, namun sangat dibenci oleh Allah.
Sebab Sebab Putusnya Perkawinan
Pemutusan perkawinan tidaklah sesederhana seperti dalam pemutusan perjanjian biasa, yang ditetapkan lebih awal dalam isi perjanjiannya. Sebab putusnya ikatan perkawinan, prosedurnya maupun akibatnya pemutusannya, tidak ditetapkan oleh para pihak, melainkan hukumlah yang menentukannya. Perjanjian dalam perkawinan mempunyai karakter khusus, antara lain bahwa kedua belah pihak (laki- laki dan perempuan) yang mengikat persetujuan perkawinan itu saling mempunyai hak untuk memutuskan perjanjian berdasarkan ketentuan yang sudah ada hukum-hukumnya. Berdasarkan yuridiksi Indonesia, masalah perceraian. Diatur dalam Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan, didalamnya dijelaskan bahwa perkawinan dapat putus dikarenakan tiga hal, yaitu (1) Kematian, (2) Perceraian, dan (3) Atas Keputusan Pengadilan.
Faktor-faktor Penyebab Perceraian
Ada banyak faktor yang menyebabkan perceraian bisa menjadi sebuah keniscayaam dalam rumah tangga, yaitu:
a.Ketidakharmonisan dalam berumah tangga.
b.Krisis moral dan akhlak.
c.Perzinahan.
d.Pernikahan tanpa cinta.
Tata Cara Perceraian
Dalam tata cara perceraian terbagi kepada dua jenis, yakni cerai talak dan cerai gugat. Perceraian talak berlaku bagi mereka yang beragama Islam seperti yang disebutkan dalam Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang menyatakan bahwa seorang istri yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam yang akan menceraikan istrinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan istrinya disertai alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.
Akibat dari Perceraian
1)Terhadap anak-anaknya. Anak akan mengalami dampak psikis yang dalam akibat perceraian yakni anak kurang mendapatkan perhatian, kasih sayang, dan tuntutan pendidikan orang tua, terutama bimbingan ayah, karena ayah dan ibunya masing-masing sibuk mengurusi permasalahan mereka.
2)Terhadap harta bersama (harta yang diperoleh selama dalam perkawinan)
3)Terhadap mut'ah (pemberian bekas suami kepada bekas isterinya yang dijatuhi talak berupa benda atau uang dan lainnya).
Hukum Kewarisan
Bagi umat Islam, pembagian waris secara teknis telah diatur dalam ilmu fara'id, baik segi sistem kewarisannya (nizam al-irts), orang-orang yang berhak mewarisinya (al-warits), kadar warisan yang akan diterima oleh masing- masing ahli waris (al-furud al-muqaddarah), harta benda yang ditinggalkan oleh pewaris (al-muwarrits) seperti berupa uang, tanah, mobil, dan lain-lain yang disebut dengan al-irts, al-turts, al-mirats, al-mauruts, dan al-tirkah (maknanya semua sama, mutaradifat), orang yang terhalang hak warisnya (al-hijab), maupun orang-orang yang terlarang untuk menerima hak warisnya (mawani' al-irts).
Yang dimaksud dengan hak waris di sini yaitu suatu ketentuan bagian waris yang dituntut oleh ahli waris untuk mendapatkannya dari harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris. Hukum kewarisan Islam mengandung berbagai asas yang dalam beberapa hal berlaku untuk hukum kewarisan yang lain, yakni asas yang berkaitan dengan peralihan harta benda dari pewaris (al-muwarrits) kepada penerima waris (al-warits) yaitu asas ijbari, asas bilateral, asas individual, asas keadilan berimbang, dan asas semata akibat kematian.
Pembagian hak waris demikian ini adalah kontradiksi dengan nash tetapi maslahat menghendakinya, yaitu mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam memelihara tujuan-tujuan syari'at (maqashid al-syari'ah). Manfaat yang didapatkan dari penerapan formula hak waris tersebut adalah tercapainya prinsip keadilan. Sedangkan mudarat yang ditolaknya adalah terjadinya perselisihan dan putus silaturrahim dalam keluarga ahli waris.
Hukum Wasiat
Secara terminologis, wasiat yaitu pesan sesuatu kebaikan kepada seseorang untuk dilaksanakan/dijalankan sesudah meninggalnya. Batasan lain, wasiat yaitu suatu tasarruf terhadap harta peninggalan yang akan dilaksanakan sesudah meninggal yang berwasiat. Pada dasarnya, setiap orang berhak untuk mewasiatkan harta bendanya kepada siapa yang dikehendakinya, tetapi harus sesuai dengan aturan hukum yang mengaturnya. Adapun besaran harta yang boleh diwasiatkan oleh al- muwarrits kepada siapa orang yang dikehendaki selain ahli waris, yaitu tidak boleh lebih dari sepertiga (1/3) harta bendanya. Menurut pandangan para ulama', semua sepakat mengenai boleh seseorang berwasiat kepada siapa saja yang dikehendakinya, selain ahli waris.
Berdasarkan beberapa pandangan ulama, ditegaskan bahwa Jumhur fuqaha (dari empat mazhab) sekalipun berpandangan boleh berwasiat kepada selain ahli waris maksimal sepertiga dari harta al-muwarrits, dengan syarat diizinkan (disepakati) oleh ahli waris yang lain, tetapi stresingnya kepada sesama muslim, tidak boleh kepada orang non muslim. Sedangkan Abdul Wahab Khallaf dan Ibn Hazm mewajibkan untuk berwasiat (wasiat wajibah) kepada al- waritsun sekiranya al-muwarrits di saat mau meninggal dunia (sakarat al- maut) tidak berwasiat bagi ahli waris atau kerabat yang non muslim. Tampaknya pendapat Ibn Hazm dan Abdul Wahab Khallaf yang dipandang relevan dan kontekstual yang mewajibkan kepada al-muwarrits untuk berwasiat bagi ahli waris atau kerabat yang tidak mendapatkan warisan karena beda agama.
Hukum Perwakafan
Wakaf adalah suatu harta atau benda yang tetap zatnya atau tahan lama yang dilakukan seseorang dengan cara memisahkan sebagian hartanya yang diserahkan kepada orang atau Nazir (penjaga wakaf) atau badan pengelola untuk diambil manfaatnya atau hasilnya demi kepentingan umum sesuai dengan syariat Islam.
Sedangkan wakaf bertujuan untuk memberikan manfaat atau faedah harta yang diwakafkan kepada orang yang berhak dan dipergunakan sesuai dengan ajaran syariah Islam. Hal ini sesuai dengan fungsi wakaf mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum
Rukun dan Syarat Wakaf
Dalam berwakaf terdapat beberapa rukun yang harus dipenuhi, diantaranya yaitu:
1)Al-Waqif, yaitu orang yang berwakaf.
2)Al-Mauquf, yaitu benda yang diwakafkan.
3)Al-Mauquf 'alaihi, yaituorang yang menerima manfaat wakaf.
4)Sighah yaitu lafadz atau ikrar wakaf.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam wakaf:
a.Syarat Waqif
Orang yang berwakaf disyaratkan cakap hukum (ahliyah), yakni kemampuan untuk melakukan tindakan tabarru (meilepaskan hak milik untuk hal-hal yang bersifat nirlaba atau tidak mengharapkan imbalan materil).
b.Syarat Al-Mauquf (Benda yang Diwakafkan)
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan syarat benda wakaf. Namun, mereka sepakat dalam beberapa hal, seperti benda wakaf harusalah benda yang boleh dimanfaatkan menurut syariat (mal mutaqawwim), benda tidak bergerak, jelas diketahui bendanya, dan merupakan milik sempurna dari wakif.
c.Syarat Al-Mauquf 'alaihi
Orang yang menerima wakaf dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu tertentu (mu'ayyan) dan tidak tertentu (ghaira Mu'ayyan). Yang dimaksud tertentu ialah jelas orang yang akan menerima wakaf itu, apakah perorangan atau kelompok.
d.Syarat Sighah
1)Ucapan harus mengandung kata-kata yang menunjukan kekal (ta'bid).
2)Ucapan direalisasikan tersebut harus dapat segera (tanjiz), tanpa disangkutkan atau digantunggkan kepada syarat tertentu.
3)Ucapan tersebut bersifat pasti.
4)Ucapan tersebut tidak diikuti oleh syarat yang membatalkan.
Kesimpulan
Hukum keluarga Islam di Indonesia mengatur berbagai aspek yang berkaitan dengan keluarga seperti perkawinan, perceraian, kewarisan, wasiat, dan perwakafan. Perkawinan merupakan tujuannya agar terbentuk keluarga yang harmonis dan bahagia. Terdapat rukun dan syarat yang harus dipenuhi agar perkawinan sah seperti kehadiran wali dan saksi. Perceraian dapat terjadi karena talak dari suami atau melalui pengadilan. Ada berbagai faktor penyebab perceraian seperti ketidakcocokan dan perselingkuhan. Kewarisan diatur dengan sistem pembagian waris sesuai dengan hubungan kekerabatan. Setiap orang berhak berwasiat untuk harta yang akan ditinggalkan.
Perwakafan bertujuan memberi manfaat kepada orang lain dengan melepaskan hak milik atas sebagian harta. Terdapat rukun dan syarat wakaf seperti orang yang berwakaf, benda yang diwakafkan, dan orang yang menerima manfaatnya. Secara keseluruhan, buku ini memberikan pemahaman yang mendalam mengenai berbagai aturan hukum dalam kehidupan keluarga menurut ajaran agama Islam, mulai dari pembentukan keluarga hingga perceraian dan warisan bagi keturunan. Pemahaman ini penting bagi umat Islam dalam membina hubungan keluarga yang sesuai syariat Islam.
Bibliography
Kumedi Ja'far. Hukum Keluarga Islam di Indonesia. Bandar Lampung: Arjasa Pratama, 2020.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H