Mohon tunggu...
Guy Kusnandar
Guy Kusnandar Mohon Tunggu... -

Menulis adalah kebutuhan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rumah Misterius

11 Februari 2012   06:51 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:47 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Chapter 1

17 Agustus 1985, sore itu Ferdi dan July basah kuyup diguyur hujan lebat di Gunung Gede ketika hendak turun kembali setelah merayakan hari kemerdekaan di pelataran Surya Kencana, Puncak Gunung tersebut.

Mereka terpisah di belakang rombongan teman-teman kampusnya yang lebih dulu turun ketika hujan masih rintik kecil. Ferdi dan July memang harus turun belakangan karena mendapat tugas merapihkan Tenda utama yang mereka telah gunakan sebelumnya.

Langit senja makin pekat menyongsong malam ditambah dengan awan hujan yang tebal menghitam mengguyur Gunung tersebut. Dalam pikirannya, Ferdi cemas pada kondisi July yang berjalan di depannya sambil menggigil kedinginan ditambah lagi beberapa kali dia terpeset saat menyelusuri jalur setapak yang basah dan mulai licin.

“July, kita cari tempat untuk bermalam aja, bahaya turun kalo hujan lebat gini”, “Iya mas, udah gelap juga, aku takut”, sahut July sambil menoleh pada Ferdi di belakangnya.

Kemudian mereka jalan perlahan bersama-sama dalam keadaan langit yang semakin gelap. Lampu sorot mulai digunakan Ferdi untuk menerangi jalan setapak di kaki Gunung yang kini tak lagi terlihat. Sesekali lampu diarahkan ke kiri dan kanan mereka mencari tempat yang mungkin dapat untuk berteduh sekaligus bermalam.

Dalam hati sebenarnya July sedang ketakutan namun seolah-olah dia merasa aman karena sedang bersama Ferdi, cowo incaran para mahasiswi fakultas ekonomi yang diam-diam dia taksir itu.

“Mas ! Kamu denger ga”, bisiknya sambil berhenti melangkah.
“Denger apah ?”
“Ada suara binatang buas”

Ferdi turut diam, mencari sumber suara yang dimaksudkan July itu. Matanya menatap tajam ke arah lampu sorot yang ditujunya.”Ga ada apa-apa”, katanya dalam hati.

“Yuk, kita jalan lagi pelan-pelan, hati-hati licin” suaranya mencoba menenangkan July yang semakin kencang memegang lengannya. Hujan terus mengguyur mereka seolah tak akan berhenti malam itu.

“AAAAaAakkk !!!”,
“Kenapa July ?”
“Ada putih-putih ditebing itu”, jawabnya gemetar

Sekonyong-konyong Ferdi menyorotkan lampunya ke arah yang dimaksud July, namun tidak ditemukan apa-apa kecuali pepohonan yang tumbuh sangat rindang.

“Ga ada apa-apa July, tenang yaa”
“Aku takut maaas” katanya semakin gemetaran.

Kini jalan menurun yang mereka lalui, tiba-tiba mendatar membuat mereka lebih waspada. Tanpa sengaja lampu sorot Ferdi menangkap sebuah rumah besar yang mewah di ujung jalan berkelok. Rumah itu tampak kokoh namun gelap gulita.

“Ada Rumah di depan kita, sebaiknya kita berteduh disana, besok pagi kita lanjutin turun yah”

July hanya mengangguk pelan, wajahnya terlihat pucat kedinginan dan rasa takut yang amat sangat. Jantung Ferdi berdegup kencang saat langkah mereka mulai memasuki halaman rumah itu.”Oooh, ini rumah tua bergaya eropa”, bisik suara hati Ferdi saat mengamati ornamen rumah tersebut dari halamannya dengan lampu sorot.

Rumah berlantai dua itu memiliki luas seribu meter persegi dengan masing-masing lima jendela besar yang terlihat di lantai dua dan lantai satu. Cat putihnya sudah tampak kotor berdebu dengan diselimuti sarang laba-laba hampir di semua sudut ornamennya. Pintunya besar dan kokoh terbuat dari kayu jati yang telah berwarna coklat tua kusam dengan bukaan kiri dan kanannya. Luas halamannya sekitar dua kali luas bangunan ditumbuhi pohon beringin besar dengan akar menjuntai ke bawah di pinggir-pinggir halamannya.

Kemudian Ferdi mengarahkan lampu senternya ke suara riak air yang terdengar dekat.”hmmm rupanya suara air itu dari kali Cibereum yang berada di bawah rumah” bisik hati Ferdi.

“Qu qu uu. QUuu” suara burung hantu terdengar jelas oleh mereka berdua yang masih berdiri mengamati sekeliling di dekat patung Aquarius berupa seorang wanita yang menuangkan air di tengah-tengah kolam yang tak lagi terawat itu.

“Suara apa, tadi mas?”,
“Burung Hantu”,
“Mas, Aku takuut”

July tertunduk sambil memejamkan mata berdiri bersembunyi di belakang Ferdi.

Tiba-tiba, “DARG !!” Petir menggelegar ditengah hujan lebat itu. Sedetik cahayanya sempat menerangi mereka yang basah kuyup di halaman rumah itu.
“AaaAaakq !” teriak July terkejut mendengar petir itu sambil memeluk Ferdi gemetar ketakutan.

“Kita masuk ke rumah itu sekarang ya” bisik Ferdi pelan di kuping July yang masih dalam pelukannya itu.
Perlahan July mengangkat wajahnya menatap Ferdi cemas sambil mengangguk pelan ragu-ragu. Kini kabut putih turun semakin tebal dan dingin, pakaian yang mereka kenakan basah kuyup tak lagi dapat menghangatkan tubuhnya.

Tanpa mereka sadari, pintu rumah itu terbuka pelan lalu seorang wanita tua renta yang bertubuh kecil dan bongkok mengenakan kebaya lusuh melangkah pelan mendekati mereka berdua yang masih berpelukan hujan-hujanan di halaman.

“Kenapa tidak masuk, Naaak?”, sapanya dengan suara serak bernada dingin.

Mendengar suara itu, mereka menoleh pada sumber suara sambil terbelalak kaget. Jantung Ferdi kini berdegup kencang masih tak percaya apa yang sedang dilihatnya itu. Seorang Nenek bertubuh kurus dan bongkok dengan ramput putihnya menjuntai menutupi separuh wajah seramnya, kini berdiri dan menyapa dihadapannya.”Bagaimana ada seseorang yang tinggal di tempat seperti ini?”, bisik hatinya heran.

“Nenek siapa?”
“Aku pemilik rumah ini, masuk laah” sahutnya sambil membalikan badan dan melangkah pelan menuju pintu yang telah terbuka menganga.

July menatap Ferdi dengan wajah takut menunggu reaksi Ferdi atas ajakan Nenek misterius itu.”Kita masuk aja yah, di luar kita bisa mati kedinginan” bisik Ferdi mesra sambil mengusap lembut air hujan di kening July. Lalu mereka perlahan mengikuti wanita tua itu dari kejauhan.

“Auuuuuuu, Wauw !”

“Mas, kata orang kalo suara anjing seperti itu tandanya dia melihat hantu ya?”
“Belum tentu” sahut Ferdi berbohong menenangkan gundah hati July

“Mas !, bukannya tadi rumah itu gelap gulita ??,..kok sekarang ada cahaya lampu remang-remang ??
“Iyaah, aneh ?,..mungkin Nenek itu yang menyalakannya” sahut Ferdi berlogika.

“KrEeeeeittt BRAK !!” Pintu menutup sendiri ketika mereka selangkah masuk ke dalam.

“HAH !” suara mereka berbarengan sambil menoleh ke belakang menatap pintu tersebut.

July spontan memegang lengan Ferdi dengan erat, mukanya kini tampak jelas pucat ketakutan serta menggigil kedinginan.

“Hangatkanlah tubuh kalian di perapian ituuu” suara wanita tua itu terdengar lagi tanpa menampakkan dirinya.

Ditengah rasa takut yang amat sangat mereka menoleh dan menatap heran pada api yang telah menyala di perapian yang berada sepuluh meter dari tempat mereka berdiri. Cahaya api itu sedikit banyak menerangi isi ruangan tersebut. Dua buah Kursi kulit besar tampak terletak menghadap perapian itu dengan sebuah jam kuno besar berdiri kokoh di samping perapian. Sarang laba-laba besar disetiap sudut ruangan juga terlihat jelas.

Ferdi perlahan melepaskan tas gunungnya dan meletakkan di samping Pintu yang baru saja menutup sendiri itu. Dia membuka tas tersebut lalu mengeluarkan handuk dan menyerahkannya pada July yang masih berdiri di dekatnya.

“Nih, keringin badan kamu”
“Aku harus ganti baju mas, tapi dimana ??” kata July merengek ketakutan sambil meraih handuk tersebut.

“Iyah, nanti kita cari kamar ya, aku mao calling anak-anak dulu” sahut Ferdi berbisik pelan sambil mencari HT nya di dalam tas.

“AH, PErfect !”
“Kenapa mas ?!”
“Batere nya habis !” sungut Ferdi sambil menatap HT digenggamannya.

Ferdi berjalan di depan July menelusuri lorong rumah itu mencari Kamar yang akan digunakan July berganti pakaiannya yang basah kuyup itu.

Satu-satunya penerangan yang digunakan menelusuri lorong yang gelap gulita itu adalah lampu senter yang dipegang Ferdi.

Kanan kiri lorong itu adalah pintu-pintu ruangan yang terlihat diselimuti sarang laba-laba menambah kesan angker mengenai ruangan dibalik pintu-pintu tersebut.

Lalu terdengar suara percakapan ketika mereka melewati pintu ke 3 sebelah kanan, suara laki-laki berbicara sesuatu. Tiba-tiba mereka mencium aroma harum yang terasa aneh di dalam rumah yang kotor penuh debu dan sarang laba-laba tersebut.

“Mas, kita ke perapian aja yuu, bulu kudukku merinding”
“Nanti kamu mau ganti pakaian dimana ?”, bisik Ferdi pelan memahami rasa takut July.

July tidak menghiraukan pertanyaan itu, dia menarik pelan tangan kiri Ferdi mengajak berbalik ke ruang tamu dimana perapian itu berada.”Hayooo”, bisiknya pelan.

Beberapa menit kemudian mereka tiba kembali ke perapian. “Aku ganti baju disini aja, mas Ferdi jangan liat ya”, kata July pelan sambil mendekat ke perapian dibalik bangku kulit besar yang menghalangi pandangan Ferdi.

Ferdi mengangguk patuh pada July, kemudian dia menuju tas gunung yang diletakkannya di dekat pintu utama. Dia mencoba kembali HT nya, kalau-kalau bisa digunakan meski dia mengetahui baterenya habis.

Namun 5 menit kemudian.

“AaaAaakkk !!!”
“Ada apa July”

July menangis dipelukan Ferdi dalam keadaan hanya mengenakan celana panjang dan bra yang kering. “Astagaa, dia telanjang”, bisik hati Ferdi saat memeluknya.

“Ada apa July”
“Add add ada laki-laki tanpa kepala di lorong itu, maaas” jawabnya sambil menangis masih memeluk erat Ferdi.

Secepat kilat Ferdi kemudian meraih lampu senternya kembali dan menyorot ke arah yang dimaksud July, “ga ada apa-apa, Jul”, bisiknya pelan.

“Sudah cepat pake kaos yang kamu pegang itu, maaf aku terpaksa melihat tubuh mu”

Sambil gemetar dan menangis ketakutan July mencoba tenang dan mulai memakai koasnya. Kemudian dia terduduk lemas di lantai sambil menangis.

“Sudahlah, jangan nangis, lebih baik sekarang kamu tidur aja yah, nanti sleeping bag yang di tas aku keluarin yah”
“Aku takut mas”

Beberapa saat kemudian, mereka mulai berbaring di depan perapian dengan sleeping bag masing-masing setelah Ferdi mengganti pakaiannya.

Belum lagi mereka tertidur pulas, terdengar suara langkah berat dari lorong itu dan suaranya semakin mendekat ke tempat mereka berbaring. July melotot heran ke mata Ferdi sambil mendengarkan suara langkah itu. Tanpa malu lagi, July memeluk Ferdi sekencang-kencangnya. Ferdi yang masih terus focus mendengarkan suara itu mulai terlihat cemas dengan pandangan tajamnya tertuju pada lorong itu.

“Suara apa itu mas”
“Ga tau”
“Aku merinding”
“Sudahlah pikirkan yang menyenangkan aja, supaya kamu tenang”

Suara lolongan anjing terdengar kembali setelah Ferdi berkata seperti itu. Tiba-tiba July berteriak lagi, terkejut mendengar suara Jam yang berdiri di hadapannya ketika berdentang keras menunjukkan pukul dua belas malam.

“Maaas, aku ga bisa tidur” suaranya sambil terisak nangis menatap dekat pada wajah Ferdi yang masih dipeluknya.

Ada rasa iba, sayang dan ingin melindungi yang saat itu muncul dalam hati Ferdi, dia memandang July dengan tatapan hangat. “Iyah, aku akan menjaga mu, tenang aja ya” bisiknya pelan sambil menghapus air mata July dengan perlahan.

Hening sesaat kemudian, July mulai memejamkan matanya sambil terus memeluk Ferdi dalam tidurnya. Namun bulu kuduk mereka kembali berdiri ketika mendengarkan suara berat seorang laki-laki dari arah lantai dua setengah berteriak.

“Nyaaaaiii, dimana kamu letakkan minuman kuuu”

Mereka berdua kembali terbelalak saling pandang.”Logatnya seperti laki-laki bule dengan bahasa Indonesia”, kata July berbisik hampir menempel pada pipi Ferdi.

“Iyah, tapi yang ditanya kok tidak menjawab ya” sahut Ferdi mengamati.

“Nenek itu kemana yah mas?”
“Iya, dia hilang misterius setelah mengajak kita masuk ke rumah ini” bisik Ferdi, “kita baca doa aja sekarang ya” lanjut Ferdi.

Chapter 2

Rumah berlantai dua itu memiliki luas seribu meter persegi dengan masing-masing lima jendela besar yang terlihat di lantai dua dan lantai satu. Cat putihnya sudah tampak kotor berdebu dengan diselimuti sarang laba-laba hampir di semua sudut ornamennya. Pintunya besar dan kokoh terbuat dari kayu jati yang telah berwarna coklat tua kusam dengan bukaan kiri dan kanannya. Luas halamannya sekitar dua kali luas bangunan ditumbuhi pohon beringin besar dengan akar menjuntai ke bawah di pinggir-pinggir halamannya.

Kemudian Ferdi mengarahkan lampu senternya ke suara riak air yang terdengar dekat.”hmmm rupanya suara air itu dari kali Cibereum yang berada di bawah rumah” bisik hati Ferdi.

“Qu qu uu. QUuu” suara burung hantu terdengar jelas oleh mereka berdua yang masih berdiri mengamati sekeliling di dekat patung Aquarius berupa seorang wanita yang menuangkan air di tengah-tengah kolam yang tak lagi terawat itu.

“Suara apa, tadi mas?”,
“Burung Hantu”,
“Mas, Aku takuut”

July tertunduk sambil memejamkan mata berdiri bersembunyi di belakang Ferdi.

Tiba-tiba, “DARG !!” Petir menggelegar ditengah hujan lebat itu. Sedetik cahayanya sempat menerangi mereka yang basah kuyup di halaman rumah itu.
“AaaAaakq !” teriak July terkejut mendengar petir itu sambil memeluk Ferdi gemetar ketakutan.

“Kita masuk ke rumah itu sekarang ya” bisik Ferdi pelan di kuping July yang masih dalam pelukannya itu.
Perlahan July mengangkat wajahnya menatap Ferdi cemas sambil mengangguk pelan ragu-ragu. Kini kabut putih turun semakin tebal dan dingin, pakaian yang mereka kenakan basah kuyup tak lagi dapat menghangatkan tubuhnya.

Tanpa mereka sadari, pintu rumah itu terbuka pelan lalu seorang wanita tua renta yang bertubuh kecil dan bongkok mengenakan kebaya lusuh melangkah pelan mendekati mereka berdua yang masih berpelukan hujan-hujanan di halaman.

“Kenapa tidak masuk, Naaak?”, sapanya dengan suara serak bernada dingin.

Mendengar suara itu, mereka menoleh pada sumber suara sambil terbelalak kaget. Jantung Ferdi kini berdegup kencang masih tak percaya apa yang sedang dilihatnya itu. Seorang Nenek bertubuh kurus dan bongkok dengan ramput putihnya menjuntai menutupi separuh wajah seramnya, kini berdiri dan menyapa dihadapannya.”Bagaimana ada seseorang yang tinggal di tempat seperti ini?”, bisik hatinya heran.

“Nenek siapa?”
“Aku pemilik rumah ini, masuk laah” sahutnya sambil membalikan badan dan melangkah pelan menuju pintu yang telah terbuka menganga.

July menatap Ferdi dengan wajah takut menunggu reaksi Ferdi atas ajakan Nenek misterius itu.”Kita masuk aja yah, di luar kita bisa mati kedinginan” bisik Ferdi mesra sambil mengusap lembut air hujan di kening July. Lalu mereka perlahan mengikuti wanita tua itu dari kejauhan.

“Auuuuuuu, Wauw !”

“Mas, kata orang kalo suara anjing seperti itu tandanya dia melihat hantu ya?”
“Belum tentu” sahut Ferdi berbohong menenangkan gundah hati July

“Mas !, bukannya tadi rumah itu gelap gulita ??,..kok sekarang ada cahaya lampu remang-remang ??
“Iyaah, aneh ?,..mungkin Nenek itu yang menyalakannya” sahut Ferdi berlogika.

“KrEeeeeittt BRAK !!” Pintu menutup sendiri ketika mereka selangkah masuk ke dalam.

“HAH !” suara mereka berbarengan sambil menoleh ke belakang menatap pintu tersebut.

July spontan memegang lengan Ferdi dengan erat, mukanya kini tampak jelas pucat ketakutan serta menggigil kedinginan.

“Hangatkanlah tubuh kalian di perapian ituuu” suara wanita tua itu terdengar lagi tanpa menampakkan dirinya.

Ditengah rasa takut yang amat sangat mereka menoleh dan menatap heran pada api yang telah menyala di perapian yang berada sepuluh meter dari tempat mereka berdiri. Cahaya api itu sedikit banyak menerangi isi ruangan tersebut. Dua buah Kursi kulit besar tampak terletak menghadap perapian itu dengan sebuah jam kuno besar berdiri kokoh di samping perapian. Sarang laba-laba besar disetiap sudut ruangan juga terlihat jelas.

Ferdi perlahan melepaskan tas gunungnya dan meletakkan di samping Pintu yang baru saja menutup sendiri itu. Dia membuka tas tersebut lalu mengeluarkan handuk dan menyerahkannya pada July yang masih berdiri di dekatnya.

“Nih, keringin badan kamu”
“Aku harus ganti baju mas, tapi dimana ??” kata July merengek ketakutan sambil meraih handuk tersebut.

“Iyah, nanti kita cari kamar ya, aku mao calling anak-anak dulu” sahut Ferdi berbisik pelan sambil mencari HT nya di dalam tas.

“AH, PErfect !”
“Kenapa mas ?!”
“Batere nya habis !” sungut Ferdi sambil menatap HT digenggamannya.

Chapter 3

Ferdi berjalan di depan July menelusuri lorong rumah itu mencari Kamar yang akan digunakan July berganti pakaiannya yang basah kuyup itu.

Satu-satunya penerangan yang digunakan menelusuri lorong yang gelap gulita itu adalah lampu senter yang dipegang Ferdi.

Kanan kiri lorong itu adalah pintu-pintu ruangan yang terlihat diselimuti sarang laba-laba menambah kesan angker mengenai ruangan dibalik pintu-pintu tersebut.

Lalu terdengar suara percakapan ketika mereka melewati pintu ke 3 sebelah kanan, suara laki-laki berbicara sesuatu. Tiba-tiba mereka mencium aroma harum yang terasa aneh di dalam rumah yang kotor penuh debu dan sarang laba-laba tersebut.

“Mas, kita ke perapian aja yuu, bulu kudukku merinding”
“Nanti kamu mau ganti pakaian dimana ?”, bisik Ferdi pelan memahami rasa takut July.

July tidak menghiraukan pertanyaan itu, dia menarik pelan tangan kiri Ferdi mengajak berbalik ke ruang tamu dimana perapian itu berada.”Hayooo”, bisiknya pelan.

Beberapa menit kemudian mereka tiba kembali ke perapian. “Aku ganti baju disini aja, mas Ferdi jangan liat ya”, kata July pelan sambil mendekat ke perapian dibalik bangku kulit besar yang menghalangi pandangan Ferdi.

Ferdi mengangguk patuh pada July, kemudian dia menuju tas gunung yang diletakkannya di dekat pintu utama. Dia mencoba kembali HT nya, kalau-kalau bisa digunakan meski dia mengetahui baterenya habis.

Namun 5 menit kemudian.

“AaaAaakkk !!!”
“Ada apa July”

July menangis dipelukan Ferdi dalam keadaan hanya mengenakan celana panjang dan bra yang kering. “Astagaa, dia telanjang”, bisik hati Ferdi saat memeluknya.

“Ada apa July”
“Add add ada laki-laki tanpa kepala di lorong itu, maaas” jawabnya sambil menangis masih memeluk erat Ferdi.

Secepat kilat Ferdi kemudian meraih lampu senternya kembali dan menyorot ke arah yang dimaksud July, “ga ada apa-apa, Jul”, bisiknya pelan.

“Sudah cepat pake kaos yang kamu pegang itu, maaf aku terpaksa melihat tubuh mu”

Sambil gemetar dan menangis ketakutan July mencoba tenang dan mulai memakai koasnya. Kemudian dia terduduk lemas di lantai sambil menangis.

“Sudahlah, jangan nangis, lebih baik sekarang kamu tidur aja yah, nanti sleeping bag yang di tas aku keluarin yah”
“Aku takut mas”

Beberapa saat kemudian, mereka mulai berbaring di depan perapian dengan sleeping bag masing-masing setelah Ferdi mengganti pakaiannya.

Belum lagi mereka tertidur pulas, terdengar suara langkah berat dari lorong itu dan suaranya semakin mendekat ke tempat mereka berbaring. July melotot heran ke mata Ferdi sambil mendengarkan suara langkah itu. Tanpa malu lagi, July memeluk Ferdi sekencang-kencangnya. Ferdi yang masih terus focus mendengarkan suara itu mulai terlihat cemas dengan pandangan tajamnya tertuju pada lorong itu.

“Suara apa itu mas”
“Ga tau”
“Aku merinding”
“Sudahlah pikirkan yang menyenangkan aja, supaya kamu tenang”

Suara lolongan anjing terdengar kembali setelah Ferdi berkata seperti itu. Tiba-tiba July berteriak lagi, terkejut mendengar suara Jam yang berdiri di hadapannya ketika berdentang keras menunjukkan pukul dua belas malam.

“Maaas, aku ga bisa tidur” suaranya sambil terisak nangis menatap dekat pada wajah Ferdi yang masih dipeluknya.

Ada rasa iba, sayang dan ingin melindungi yang saat itu muncul dalam hati Ferdi, dia memandang July dengan tatapan hangat. “Iyah, aku akan menjaga mu, tenang aja ya” bisiknya pelan sambil menghapus air mata July dengan perlahan.

Hening sesaat kemudian, July mulai memejamkan matanya sambil terus memeluk Ferdi dalam tidurnya. Namun bulu kuduk mereka kembali berdiri ketika mendengarkan suara berat seorang laki-laki dari arah lantai dua setengah berteriak.

“Nyaaaaiii, dimana kamu letakkan minuman kuuu”

Mereka berdua kembali terbelalak saling pandang.”Logatnya seperti laki-laki bule dengan bahasa Indonesia”, kata July berbisik hampir menempel pada pipi Ferdi.

“Iyah, tapi yang ditanya kok tidak menjawab ya” sahut Ferdi mengamati.

“Nenek itu kemana yah mas?”
“Iya, dia hilang misterius setelah mengajak kita masuk ke rumah ini” bisik Ferdi, “kita baca doa aja sekarang ya” lanjut Ferdi.

Chapter 4

Keluarga Van Deer loegh sang pemilik rumah misterius tersebut dulunya memiliki keluarga yang bahagia. Saking cintanya pada Nyai Kemas, dia menghadiahkan sebuah rumah besar bergaya eropa. Mereka bercita-cita membangun sebuah keluarga besar dengan anak-anak yang banyak.

Sang Jenderal Belanda yang ditugaskan menjaga daerah kekuasaan Hindia Belanda di area Puncak itu menikahi gadis bunga Desa anak dari keturunan Raden Jajang seorang pemilik perkebunan Teh terluas di kawasan tersebut.

Nyai kemas, Istrinya selain berparas cantik juga memiliki kharisma yang membuatnya terkenal dikalangan masyarakat sekitar pada saat itu.

Mereka hidup bahagia dan atas dasar saling cinta, sang Jenderal bukanlah tipikal militer yang berdarah dingin kepada warga pribumi. Justru dia lah yang membina para petani Teh cara berkebun yang efisien dan membentuk sebuah wadah diskusi bagi para Pemilik Kebun, tentunya ujung-ujungnya untuk keuntungan pemerintahan kolonial di Hindia Belanda. Dari wadah itulah dia diperkenalkan oleh Raden Jajang pada putrinya Nyai Kemas hingga terjadi pernikahan paling meriah di Desa pada saat itu.

Setelah mereka hidup berumah tangga beberapa tahun, penjajah Jepang membunuhnya dengan memenggal kepalanya di rumah itu dalam sebuah pengepungan dini hari. Istrinya yang histeris melihat kejadian itu sempat melepaskan diri dari sekapan salah seorang tentara Jepang lalu berlari ke halaman dan menjatuhkan dirinya ke dalam sungai Cibereum yang terletak di samping halaman rumahnya hingga ditemukan tewas beberapa hari setelahnya oleh warga Desa sekitar.

Sejak peristiwa itu, rumah tersebut kosong sampai sekarang. Warga sekitar menamakannya rumah misterius karena sering terdengar suara laki-laki memanggil “Nyai” dilain waktu terdengar suara wanita menangis dari halaman depan. Tak ada seorang wargapun yang berani masuk walau hanya sekedar merawat rumah besar itu.

Sekitar tiga tahun lalu, warga pernah menolong dua pasang remaja yang naik gunung yang terjebak di dalam rumah tersebut tanpa bisa membuka kembali pintu rumah itu dari dalam. Teriakan minta tolong mereka akhirnya terdengar pada pagi hari saat seorang pemburu burung liar melewati depan rumah itu.

Mereka memecahkan salah satu jendela besar yang terletak di samping rumah itu setelah gagal mencoba dari jendela depan. Kemudian dengan roman muka yang pucat, keempat anak muda itu keluar dari Jendela tersebut dan menceritakan semua pengalaman seram selama terkurung didalamnya.

Kejadian itu membuat warga sekitar semakin takut dan menghindari melewatinya bila hari mulai gelap hingga saat ini.

Chapter 5

“Awuuuu,..waW !”

Suara lolongan anjing terdengar dari kejauhan, Mereka kemudian saling pandang bergidik bulu kuduknya mendengarkan suara itu. Kemudian hening beberapa saat sampai pada akhirnya mendengar suara ketukan pintu dari luar rumah.

“Ada yang mengetuk pintu”
“Biar aku bukakan saja”
“Jangan mas!, ini tengah malam !” sahut July berbisik mencegah Ferdi.

“Sebentar Nyaiiiiii” suara Nenek misterius itu terdengar kembali sambil menuju pintu depan.

Ferdi yang masih penasaran, mengintip ke arah Pintu dari kolong kursi kulit di dekat lantai tempat mereka berbaring. July yang sudah sangat ketakutan hanya memejamkan matanya sambil memeluk erat tubuh Ferdi.

“Wanita cantik yang mengetuk pintu itu” bisik Ferdi melihat sosok perempuan yang masuk setelah pintu itu dibuka.

“Kita kedatangan tamu, Nyai”
“Siapa ?”
“Sepasang remaja yang kehujanan”
“Ooh kasihan sekali mereka, siapkan makanan Bi, barangkali mereka kelaparan” jawab wanita itu datar tanpa ekspresi.

Ferdi yang dari awal melihat wajah cantik wanita itu tiba-tiba terbelalak kaget melihat wajah wanita itu kini berubah penuh lumuran darah dengan mata kiri pecah. “ASTAGA !!, dia hantu !” suara hatinya sambil memejamkan matanya ketakutan.

Ketika dia kembali membuka matanya, wanita dan nenek misterius itu menghilang dari pandangannya secara tiba-tiba. Lalu dia menggoyang tubuh July.”Besok pagi kita harus keluar dari tempat ini” bisiknya dengan pandangan cemas. Roman muka July semakin takut sambil memahami apa yang baru saja dikatakan Ferdi.

Perapian yang menyala di depan pembaringan mereka adalah satu-satunya cahaya yang menerangi rumah itu. Lantai atas dan lorong menuju tangga tak ada sedikitpun cahaya. Tidak masuk akal sama sekali bagi Ferdi ada seseorang melewati lorong itu.

Sayup-sayup terdengar suara tawa riang diiringi musik orkestra yang terdengar dari lantai atas. Terdengar seperti suasana bahagia dari sebuah ruangan dalam keadaan gelap gulita.

Ferdi dan July yang masih belum bisa tidur, mendengarkan suara misterius tersebut dengan raut wajah heran bercampur rasa takut.” Ya Tuhaaan, moga-moga cepat pagi” rintihan pelan suara July dalam ketakutannya.

“Satu-satunya cara untuk membuat July lebih tenang dan bisa tertidur, aku harus mengalihkan pembicaraan pada sesuatu yang menyenangkan” suara hati Ferdi saat itu.

“July”
“Ada apa mas”
“Boleh aku mengutarakan sesuatu?”
“Apa itu?”
“Aku ingin jadi pacar kamu”

July menatap dalam-dalam pada mata Ferdi seolah ingin mengatakan “aku juga”.

“Kamu memang harus jadi pacarku mas”
“Harus ??, memangnya kenapa?”
“Kamu sudah melihat tubuhku” sahut July dengan wajah bahagia sambil memandang Ferdi.

Ferdi tersenyum geli sambil memandang wajah July begitu juga dengan dirinya, membalas dengan senyuman genit pada Ferdi. Dan perlahan July mulai memejamkan mata dengan senyuman bahagia sambil memeluk Ferdi. Beberapa menit kemudian mereka hening tak sadarkan diri tertidur pulas di depan perapian tersebut.

Chapter 6

Hari mulai terang, kabut dingin berangsur hilang dari pandangan karena terbakar mentari pagi yang mulai bersinar. Agus, Deni, Ical dan Arfan yang tertidur di Posko tim SAR satu per satu bangun dari tidurnya.

Mereka bermaksud akan mencari Ferdi dan July yang belum turun dari Puncak Gunung tersebut akibat hujan deras yang turun tadi malam. Teman-teman pencinta alam lainnya sudah diperintahkan pulang ke rumah masing-masing, kemarin sore.

Agus berinisiatif meminta bantuan tim SAR sebagai antisipasi bila terjadi hal buruk pada Ferdi dan July. “Kita sarapan ringan dulu setengah jam sebelum mencari mereka ya” saran Agus pada teman-temannya yang masih terduduk di lantai memikirkan Ferdy dan July.

“Okeh kami siap sekarang mas Agus” sapa salah satu dari empat anggota tim SAR yang akan membantu pencarian itu ketika menghampiri Agus dan timnya yang telah selesai sarapan.

“Baik mas Rangga, trus strateginya gimana?”
“Kita akan focus pada tempat-tempat yang mungkin dapat digunakan mas Ferdi untuk berteduh”
“Kalau ga ketemu juga?”
“Kita akan sisir lokasi-lokasi yang curam atau kemungkinan dapat terjadi kecelakaan”

Mereka kemudian saling pandang setelah mendengar strategi pencarian yang akan dilakukan.”Mudah-mudahan mereka baik-baik saja” gumam Deni pelan sambil menatap Agus.

“Oke kita naik sekarang mas Agus?”
“Baik mas Rangga, kami sudah siap”

Mereka kemudian bangkit dan mulai mendaki satu per satu menelusuri jalur setapak menuju Puncak gunung Gede.

***

Sementara di rumah misterius itu, betapa terkejutnya July ketika mendapati Ferdi tidak berada disisinya saat terbangun pagi itu. Spontan pandangannya ditujukan pada tas gunung yang diletakkan di dekat pintu namun tidak terlihat Ferdi disana.

“Mas Ferdiiii” teriaknya pelan sambil memandang sekeliling ruangan yang tetap gelap meski hari telah pagi. “Tak ada cahaya masuk kecuali dari ventilasi itu” suara hati July dalam ketakutannya.

Tiba-tiba terdengar suara langkah mendekat kearah ruang tamu itu. “July, kamu sudah bangun?”
“Kamu dari manaaa mas, bikin takut aku aja”
“Aku mencari sesuatu untuk membuka pintu depan”
“Loh, bukannya semalam tidak terkunci ??”
“Iya, memang aneh rumah ini, coba kamu liat pintu itu, kita tidak bisa membukanya !” jawab Ferdi heran.

“Trus kita keluarnya gimana maaas?” rengek July berputus asa.
“Aku masih trus mencari cara, tenang saja”

Kemudian Ferdi berjalan menuju Jendela-jendela besar yang menghadap halaman rumah, mencari tahu apakah dapat digunakan untuk keluar dari rumah itu. “Sialan ! teralisnya besi dan besar-besar!” sungut Ferdi dalam hati melihat kondisi jendela tersebut.

Sambil berjalan lemas, dia menghampiri July yang masih terduduk di lantai memperhatikan dirinya. “Gimana mas ?” sapa July ketika Ferdi terduduk pasrah disampingnya.

“Jendela itu ada teralisnya” sahutnya pelan dengan nada putus harapan.

Mendengar jawaban itu, roman muka July kembali terlihat cemas, dia ingat betul bagaimana rasa takutnya di rumah itu pada malam hari. Kejadian-kejadian aneh dan menakutkan yang membuat dirinya hampir tidak dapat tidur dengan tenang.

“Trus rencana kita apa?”
“hmmmm…kita akan minta tolong orang yang kebetulan melewati jalan di depan rumah ini”
“Kalo ga ada?”
“Kita berdoa saja semoga ada, yah” sahut Ferdi pelan menatap lembut pada July yang mulai terlihat cemas.

Chapter 7

Satu jam sudah, Rangga dan Agus beserta Timnya masing-masing yang semuanya berjumlah delapan orang itu mendaki dipagi hari yang cerah itu.

Jalan setapak yang mereka lalui masih basah dan licin sisa dari hujan deras yang turun tadi malam. Mereka mendaki perlahan dan hati-hati menghadapi kondisi sulit tersebut. Namun akhirnya tiba di Posko peristirahatan pendaki Cibereum.

“Tak ada tanda-tanda mereka bermalam disini” kata Rangga sambil meneliti gubuk kecil itu. Mereka semua mendengarkan dan menatap Rangga dengan cemas.

“Di sekitar sini ada 2 kelokan jalan setapak disamping jalur pendakian, yang pertama adalah di depan kita itu, jalur itu menurun menuju sungai Cibereum, sedangkan yang berikutnya ada di atas kita sekitar dua puluh meter ke atas dari tempat ini” lanjut Rangga detail.

“Yang di atas menuju mana mas Rangga?”
“Rumah Misterius” jawab Rangga.
“Rumah itu sangat angker, banyak kejadian aneh disana” lanjutnya.

“Mmm, kalo saya berasumsi, seandainya saya dalam posisi turun dari Puncak dan mengalami hujan lebat serta jalur yang licin, saya akan memilih rumah misterius itu karena lebih dekat ketimbang Posko peristirahatan ini”, suara Deni membayangkan keadaan.

“Betul sekali mas Deni” sahut Rangga singkat.
“Bagaimana kalo kita ke sana sekarang?” Kata Agus “Yuk” sahut Rangga kemudian.

Dua puluh meter adalah jarak yang dekat, beberapa menit saja mereka sudah tiba di halaman rumah misterius itu. Mereka semua berdiri menghadap rumah tersebut di halamannya, sesekali saling berpandangan waswas satu sama lain. Ical, yang memiliki indra ke enam tiba-tiba jatuh dengan wajah pucat.

Agus yang saat itu berdiri paling dekat dengannya, bergegas lari menolong. “Lu kenapa Cal?”
“Ada yang berat gue rasain di sekitar tempat ini” jawab Ical pelan.

Satu per satu mulai mengerubunginya siap memberi pertolongan bila diperlukan.”Ada apa mas Ical?” tanya Rangga sambil berjongkok mendekat pada Ical.

“Gue dipelototin sosok Nenek-nenek dari Jendela di lantai dua itu” jawab Ical tanpa menoleh ke Jendela yang dimaksud.

“Apakah rumah ini ditempati seseorang?” sambung Ical bertanya.
“Di rumah itu tidak ada orang yang tinggal, mas Ical” jawab Rangga berbisik.
“Sekarang, apakah Nenek-nenek itu masih melihat ke arah kita, mas Ical?” tanya Rangga serius.
“Masih” jawab Ical pelan setelah melirik ke arak Jendela tersebut beberapa detik.
“Sepertinya dia tidak suka kita berada di sini” lanjut Ical pelan.

Mereka kemudian saling pandang lagi satu sama lain. Agus sang ketua Senat Mahasiswa itu terlihat berpikir keras mencari jalan keluar.

“Mas Agus, ada ide?” tanya Rangga.
“mmm, gimana kalau kita teriak memanggil Ferdi dari sini saja” jawabnya pelan.
“Oke !”

Kemudian mereka saling bergiliran teriak memanggil Ferdi dari sekitar halaman rumah itu.

“FERDIIII !”
“JULYYYY !”

Teriak mereka terus menerus secara bergantian dari halaman rumah misterius itu berharap Ferdi berada di dalam rumah itu serta mendengarkan teriakan mereka.

“Hah?, Nenek itu hilang !” Ical berteriak pada mereka semua.
“Sekarang rumah itu diselimuti awan hitam” lanjut Ical terbelalak kaget.

Yang lain saling berpandangan heran mendengarkan Ical sebab mereka tidak dapat melihat dipandangan mereka itu apa yang dikatakan Ical tentang rumah tersebut.

“Dia menyembunyikan Ferdi dan July di dalam rumah itu” suara Ical sedikit keras.

“Mas Rangga tahu, siapa Nenek itu” tanya Agus sambil bergidik.
“Mungkin dia yang disebut sebagai bi Sumi oleh warga sekitar, jaman dulu kala dia sebagai pembantu di rumah itu kemudian mayatnya ditemukan dalam keadaan tergantung didepan pintu salah satu kamar, konon katanya digantung oleh Tentara Jepang” jawab Rangga panjang lebar.

“Bukan!, itu Jin jahat yang menyerupai” celetuk Ical tiba-tiba.
“Trus kita harus gimana nih?” tanya Agus terlihat panik.

Rangga menatap pada Iman, salah seorang rekannya. “Man, lu turun, bawa Mang Juhri ke sini”
“Oke” jawab Iman sebelum lari bergegas turun dari tempat itu.

Mang Juhri adalah ‘orang pintar’ yang mampu berkomunikasi dengan mahluk gaib, dia kerapkali dimintakan bantuannya oleh Tim SAR gunung Gede tersebut. Orangnya ramah dan bertubuh kuat meski usianya telah lima puluh tahun.

“Ferdi dan July tidak akan mendengar suara kita, karena rumah itu telah diselimuti sesuatu yang gaib” suara Ical kembali ditengah keheningan mereka beberapa saat.

Rangga mendengarkan Ical sambil mengangguk pelan memahami situasi yang tengah mereka hadapi itu.

Chapter 8

Selain sebagai kuncen gunung Gede, Mang Juhri yang dikenal ramah dan sederhana oleh masyarakat sekitar juga bisa mengobati kerusupan yang sering dialami warga desa tersebut.

Kehidupannya sehari-hari adalah berkebun singkong dan buah pisang di lahan belakang rumah yang luasnya sekitar seribu meter persegi.

Pagi itu Mang Juhri sedang menebang beberapa pohon pisang yang telah siap panen di tengah-tengah kebunnya saat Iman dan Istrinya mendatanginya ke tengah kebun tersebut.

“Kang, iyeu aya Iman, minta tolong bantuan ke rumah misterius ce na”
“Ooh mangga atuh” jawabnya tersenyum ramah sambil menatap istrinya dan Iman.

“Iyah Mang Juhri, kebetulan ada pendaki yang terkunci di dalam rumah itu”
“Oo kitu, sok atuh kita ke atas” sahutnya bergegas sambil menggotong setandan pisang yang baru dipanennya itu.

Iman dan Mang Juhri kemudian bergegas mendaki setelah dia berganti pakaian dan menyimpan hasil kebun di dalam rumahnya.

“Langit udah gelap, sepertinya mau turun hujan lagi, nak Iman”
“Iyah Mang” jawab Iman singkat ketika mereka bercakap-cakap dalam perjalanan pendakian menuju Posko Cibereum itu.

“Mang Juhri, saya mau tanya, kenapa sih dinamakan cibereum?
“Oooh, critanya gini, dulu pada waktu jaman perjuangan, sekelompok pejuang pada dini hari mengadakan perjalanan untuk bergerilya menuju kota Bogor, tapi perjalanan itu dibocorkan oleh penghianat kepada Tentara Belanda, lalu akhirnya mereka disergap disungai itu”
“Trus ?”
“Mereka diberondong habis, hingga darah mereka menjadikan aliran sungai itu merah bercampur darah”
“Astagaaaa !” suara spontan Iman terkejut mendengarkan cerita itu.

“Nah, sejak kejadian itu, para pejuang menamakan tempat itu cibereum” lanjut Mang Juhri

Iman terdiam membayangkan cerita itu sambil terus mendaki di belakang langkah Mang Juhri yang terlihat masih kuat menanjak dengan lincah dikaki gunung Gede tersebut.

Sayup-sayup terdengar suara obrolan Rangga yang terbawa angin hingga ketelinga mereka. “Sebentar lagi kita sampe, nak Iman” kata Mang Juhri ditengah keheningan mereka.
“Benar Mang, mereka menunggu kita di halaman rumah misterius itu”

“Assalamu alaikum” suara Mang Juhri memberi salam pada Rangga dan yang lainnya di halaman tersebut.
“Wa alaikum salaam” jawab mereka kompak.

“Kumaha keadaannya nak Rangga?” tanya Mang Juhri “Iyah Mang Juhri, di dalam rumah itu, menurut mas Ical ada dua orang teman pendakinya yang terkurung, kami minta tolong Mang Juhri untuk mengeluarkan mereka” jawab Rangga ramah.

Kemudian pandangan Mang Juhri menoleh ke arah rumah tersebut. Dia terdiam sambil terus meneliti rumah itu dengan pandangan tajam.

“Rumah ini sudah diselubungi kabut sirep, jadi orang yang berada di dalam tidak menyadari keberadaan kita di halamannya ini” kata Mang Juhri serius sambil terus menatap rumah tersebut.

Kemudian Mang Juhri mengangkat kedua tangannya sambil menggerakkan bibirnya membaca doa sembari tertunduk dan memejamkan matanya. Lama dia berdiri sambil terus berdoa sambil menundukkan kepalanya.

Dan tiba-tiba terdengar suara teriak dari dalam rumah itu oleh mereka semua.

“KURANG AJARRR !” kata suara itu yang terdengar serak, seperti suara Nenek-nenek.

Mereka kemudian saling pandang heran setelah mendengar suara itu. Mang Juhri masih terus dalam posisinya yang berdoa sambil menundukkan kepalanya.

“KALIAN MENGGANGGU KESENANGAN SAYA !!” teriak itu kembali terdengar.

Mereka mulai terlihat ketakutan dan bergidik mendengar suara itu.
Mang Juhri sambil menunduk meraih keris dengan tangan kanan yang dia selipkan di pinggangnya lalu mengacungkan ke arah langit. Tangannya yang menggenggam keris itu bergetar keras seperti goyangan gementar yang amat sangat. Wajahnya terus menunduk dan berkomat kamit dengan mata terpejam.

Lalu…

“AAAAAAaa’KKkkk”, suara itu terdengar berubah dari suara nenek-nenek menjadi suara gaib yang sangat menakutkan.

“Lihat, kabut hitam yang menyelubungi rumah itu berangsung-angsur lenyap” kata Ical terheran-heran.

Mendengar komentar Ical itu, Mang Juhri menghentikan ritualnya lalu menatap kembali ke rumah tersebut.”Kita berhasil, nak Rangga, sekarang boleh memecahkan kaca jendela itu” kata Mang Juhri dengan wajah dibasahi dengan keringat.

“Iya Mang” sahut Rangga pelan lalu bergegas bersama-sama yang lain mendekati Jendela rumah itu.

Sementara Ical yang mengetahui mahluk gaib itu telah pergi meninggalkan rumah itu, kembali teriak memanggil Ferdi dan July.

Ferdi yang saat itu sedang terduduk lemas disamping July di dalam rumah tersebut, mendengar panggilan suara Ical yang dikenalnya itu.

“Ada Ical di luar, Jul”
“Iya mas, aku juga dengar”
“Hayo kita lihat dari Jendela” kata Ferdi bernada gembira sambil bangkit dan bergegas menuju Jendela depan rumah tersebut.

Chapter 9

Dengan wajah gembira, Ferdi dan July melongok teman-temannya yang berada di halaman dari kaca Jendela yang buram berdebu sambil melambaikan tangannya.

Agus, Deni serta Tim SAR meneliti Jendela dengan seksama mencari cara mengeluarkan Ferdi dan July dari dalam rumah tersebut. Beberapa menit kemudian akhirnya mereka menemukan pecahan kaca dari Jendela samping yang tidak berteralis dan mengeluarkan mereka satu per satu dengan hati-hati.

Agus dan teman lainnya memeluk hangat Ferdi yang akhirnya mereka temukan dengan selamat, suasana haru meliputi rasa gembira mereka semua. “Makasih Gus” bisik Ferdi di telinga Agus saat memeluk sahabatnya itu dengan air mata harunya.

Namun suasana penuh syukur itu perlahan diiringi hujan gerimis yang turun siang itu, kemudian mereka semua bergegas berteduh di Posko Cibereum tak terkecuali Mang Juhri yang sedari tadi menatap tersenyum pada Ferdi dan July yang telah dia selamatkan itu, sibuk mengucapkan terimakasih kepada semua yang berada disitu.

“Ceritanya nanti saja di Kampus, kita harus segera pulang setelah hujan mereda” suara Ferdi sembari menatap tersenyum pada July di depan mereka saat berteduh di Posko tersebut.

“Rupanya harus dengan suasana menyeramkan aku dapat memilik mu mas Ferdi” bisik hati July sambil menatap hangat pada Ferdi.

***

Seminggu sejak kejadian itu, sepasang kekasih terpaksa berteduh ke rumah misterius itu, setelah seorang wanita cantik yang berdiri di depan pintu rumah tersebut mengajaknya mampir menghangatkan diri ketika hujan yang turun menjelang Magrib itu membuat sepasang kekasih tersebut basah kuyup dan kedinginan saat mendaki gunung Gede pada hari Jum’at sore.

“Auuuuuuuu WAWww ,!” lolongan Anjing misterius terdengar.

T A M A T

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun