Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Lebih Baik Berbicara dengan Batu dan Gundukan Tanah

2 Desember 2019   03:46 Diperbarui: 2 Desember 2019   04:32 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya tiba di lokasi proyek setelah matahari turun satu langkah dari puncaknya. Intinya adalah saya kesiangan.

Melewati kantor pemasaran sekaligus kantor pengembang di lokasi, saya tidak menoleh ke sana. Hanya saja sekilas terlihat Pak Semprul sedang berdiri sambil berteleponan di teras.

Pandangan saya terlindung oleh kaca gelap helm. Paling tidak, arah mata saya tidak terlihat oleh Pak Semprul, sehingga saya tidak perlu repot untuk sekadar menyapanya.

Apakah penting saya menyapa Pak Semprul? Apakah karena posisinya sebagai karyawan dari developer alias pengembang, lantas saya wajib menyapa sebagai suatu etika yang mengikat antara pengembang dan kontraktor pelaksana?

Saya tidak perlu repot memikirkan itu atau sekadar basa-basi pergaulan. Saya terus saja membawa motor matik ke arah Blok H yang berada paling ujung dari jalan utama bakal perumahan ini. Kondisi jalanannya masih berupa bebatuan yang siap diaspal atau dicor.

Meski turun satu langkah, matahari masih garang. Lahan yang terbuka dan belum selesai dikelola ini  masih membentang kesempatan matahari untuk melampiaskan kegarangan. Kegerahan pun menggerayangi kulit saya yang terlindung oleh jaket buluk yang mulai dibasahi keringat.  

Sebuah excavator sedang mengerjakan cut and fill di Blok D atau agak jauh di sisi kiri saya. Di bagian kanan saya atau jalan utama sisi kanan dua pekerja sedang memukul batu-batu agar terpecah untuk material selokan di Blok H dan Blok J.

Ketika saya berpapasan dengan kedua pekerja itu, serta-merta kami saling menyapa. Saya segera mengangguk dengan membingkiskan senyuman, keduanya menyapa dengan "Pak" dan tersenyum.

Setiba di Blok H yang sedang dibangun selokannya oleh empat pekerja, saya didatangi oleh Pak Odang. Dari arah Blok J pria kerempeng yang berusia enam puluhan tahun itu melangkah dengan cukup cepat.

Tumben, pikir saya.

Ya, tumben. Biasanya Pak Odang sibuk mengurusi pekerjaannya dengan operator excavator. Sebentar nongkrong di dekat excavator yang sedang mengolah tanah. Sebentar bergerak di antara gundukan tanah. Sebentar muncul di satu gundukan, sebentar kemudian lenyap, lalu muncul di gundukan lainnya.

Mungkin ada hal penting yang akan disampaikannya, dan harus saya segera kerjakan. Mungkin akibat keterlambatan saya tiba di lokasi, pikir saya lagi.

Terlambat tiba di proyek memang tidak menyamankan perasaan saya, meski tidak ada ketentuan waktu yang berlaku mutlak setiap hari terhadap saya ketika bekerja di proyek ini. Memang, tugas utama saya adalah pelaksana lapangan, khususnya pembangunan.

Evaluasi dan instruksi pekerjaan sering saya lakukan setelah bertemu dengan masing-masing kepala tukang pada sore hari seusai jam kerja. Apalagi, kemarin saya disuruh Pak Sarwan menyelesaikan gambar sekaligus perhitungan anggarannya, dan subuh tadi baru selesai.

Saya sudah menduga bahwa saya pasti terlambat tiba di lokasi proyek. Terlambat bangun, bahkan hingga tengah hari. Pak Sarwan tidak bisa memarahi saya, karena tanggung jawab saya juga berkaitan dengan perancangan dan perhitungan.

***

"Tadi pagi, kata Pak Semprul, saya akan dikeluarkan dari proyek ini oleh Pak Demun."

"Lho, kok begitu? Kok bisa segampang itu Pak Semprul ngomong sama Pak Odang, walaupun dari Pak Demun?"

"Gara-gara kemarin, Mas Oji. Saya, sih, terserah saja. Yang penting bukan dari Pak Sarwan."

Kemarin, saya ingat, Pak Odang disuruh Pak Semprul mengukur lahan milik seorang warga yang bersebelahan langsung dengan lahan proyek. Akan tetapi, Pak Odang tidak mau melakukannya, karena tidak ada perintah dari Pak Sarwan.

"Bos kita, 'kan, Pak Sarwan, bukannya Pak Demun? Lagian, lahan yang akan diukur itu tidak termasuk dalam kontrak kerja kita."

"Iya, Pak, sudah benar," kata saya.  

"Mas Oji bisa bayangkan, tadi pagi di Blok D saya didatangi Pak Semprul sambil menelpon Pak Demun. 'Ini Pak Odang, Pak. Saya sudah berada di dekatnya. Baik, Pak, nanti saya sampaikan,' katanya. Lalu Pak Semprul ngomong, 'Pak Odang, kalau Bapak tidak mau mengukur lahan itu, Bapak akan dikeluarkan dari proyek ini!' Ngomongnya agak kencang sampai didengar para pekerja."

"Waduh, asal mangap saja tuh si Semprul!"

"Memang Pak Semprul tidak mengerti etika kerja, Mas Oji. Si Robert saja sudah tidak bisa seenaknya menyuruh saya membuat gambar untuk mengurusi perizinan. Apa-apa harus melalui Pak Sarwan dulu."

Ya, saya-lah yang memberi pengertian pada Pak Odang mengenai koordinasi. Sebelum saya bergabung, Pak Odang sering disuruh membuat gambar peta lahan ataupun perubahannya. Hampir setiap hari Pak Odang harus lembur demi menuruti suruhan Pak Robert yang juga dari pihak pengembang proyek perumahan ini.

Ketika saya bergabung, dan menjelaskan perihal koordinasi, Pak Odang tidak mau disuruh oleh pihak pengembang. Pak Odang bekerja di kontraktor alias anak buah Pak Sarwan atau sama seperti saya. Tugas dan tanggung jawab Pak Odang adalah menyelesaikan pekerjaan berdasarkan kontrak awal.

"Pak Robert sudah gagal menyuruh saya, kini giliran Pak Semprul yang mencoba-coba dan main ancam segala," katanya sembari mengeluarkan botol plastik berisi kopi yang sudah dingin.

"Iya, Pak. Nanti saya bicarakan langsung dengan si Semprul itu. Bapak fokus dengan pekerjaan Bapak saja."

Saya tidak bisa membiarkan persoalan ini menjadi runyam. Kalau Pak Odang benar-benar dikeluarkan dari proyek, siapa yang mampu melanjutkan pekerjaannya?

Segala urusan tinggi-rendah alias leveling lahan, blok, jalan, dan lain-lain, hanya Pak Odang yang mengetahuinya, dan tersimpan dalam komputer jinjingnya. Kalau Pak Demun ceroboh berkehendak, justru bakal menjadi "senjata makan tuan", nih.  Lantas, apa yang bisa diharapkan dari keahlian si Semprul itu dalam kelanjutan pekerjaan Pak Odang? 

***

Pak Semprul adalah karyawan pengembang alias anak buah Pak Demun. Ia pensiunan aparat dengan suatu pangkat. Belum genap empat bulan ia bekerja di proyek persiapan lahan perumahan yang telah terlaksana lebih dari tujuh bulan.

Matahari yang garang. Kemarau yang parau. Angin yang menderu-deru pada waktu tertentu. Debu-debu yang beterbangan dari proses persiapan lokasi alias lapangan terbuka tanpa rerumputan.

Sementara saya memang terlambat terlibat dalam pekerjaan bersama kontraktor di proyek itu. Saya terlibat setelah dua bulan Pak Semprul bekerja di sana.

Informasi awal yang saya dapatkan mengenai keberadaan atau tugas Pak Semprul adalah sebagai "informan" untuk Pak Demun. Setiap hari ia mendokumentasikan perihal siapa dan apa pun di lokasi, lalu menyampaikannya pada Pak Demun.

Dalam situasi baru terlibat pekerjaan beberapa kali saya ngobrol dengannya, termasuk bersama Pak Manap ketika Pak Manap masih menjadi karyawan pengembang tetapi khusus menangani bagian teknis. Satu bulan lalu Pak Manap keluar dari pengembang itu setelah cekcok terakhir dengan Pak Semprul. 

Cekcok atau entahlah memang merupakan hal yang manusiawi. Akan tetapi, situasi lebih menohok ketika kondisi lingkungan proyek juga gerah dan gersang.

Saya pernah menegur Pak Semprul secara langsung, bahkan di hadapan Pak Demun ketika Pak Demun datang ke ujung lokasi proyek beberapa minggu lalu. Peristiwa itu terjadi di lapangan terbuka pada waktu tengah hari, dan di dekat pintu mobil Pak Demun yang sedang terbuka.

"Pak," katanya, "tadi saya mengingatkan pekerja Bapak soal pekerjaan mereka, tetapi mereka malah mengatakan, 'Ngomong saja dengan Pak Oji atau Bu Lia, Pak'. Begitu jawab mereka."

Saya sempat kaget, karena ia menyampaikan perihal itu tanpa permisi, dan di luar konteks obrolan antara saya dan Pak Demun. Mengenai cara kerja Pak Semprul semacam itu terhadap anak buah saya memang pernah saya dengar sebelumnya.

"Maaf, ya, Pak Demun," ujar saya sambil menoleh pada Pak Demun lalu beralih pada Pak Semprul. "Pak Semprul tidak usah repot mengingatkan atau menegur anak buah saya. Bapak langsung saja menegur saya begini kalau hasil pekerjaan anak buah saya memang tidak bagus. Jangan menegur anak buah saya. Urusan menegur mereka adalah urusan saya!"   

***

Belum genap satu bulan bekerja di proyek ini atau bekerja pada pengembang ini, saya menangkap adanya kerancuan dalam hal koordinasi, baik antara pengembang dan pelaksana alias kontraktor maupun antara karyawan pengembang dan pekerja kontraktor. Kerancuan tersebut selalu membingungkan saya dalam berkoordinasi.

Bersama Pak Odang di warung proyek dan setelah kejadian di depan Pak Demun, saya pernah mengajari Pak Semprul tentang garis koordinasi. Hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan teknis seharusnya dibahas oleh personal yang memang sesuai dengan bidang atau tugas masing-masing.

"Jadi saya tidak boleh menegur anak buah Bapak?"

"Tidak boleh, Pak," jawab saya dengan tegas. "Kalau ada pekerjaan yang salah, Bapak hanya boleh menegur saya. Bapak mewakili pihak pengembang, dan saya mewakili pihak kontraktor."

"Mengingatkan saja, tidak boleh?"

"Memang tidak boleh, Pak," jawab Pak Odang. "Masing-masing memiliki tanggung jawab, dan kepada siapa mereka bertanggung jawab. Kalau para pekerja itu, jelas berhubungan dengan mandor mereka. Mereka dibayar oleh mandor, dan mandor yang ditegur oleh Pak Oji kalau ada pekerjaan yang salah atau keliru. Arti kata, semua ada ranahnya masing-masing."

"Kalau Bapak tidak mau malu di depan kuli, ya, tegur saja deh. Masak, sih, kuli bisa mengerti soal koordinasi kerja dan siapa yang membayar kerja mereka, Bapak justru nggak ngerti dan ditegur mereka? Nggak malu, nih?"  

***

Saya bergerak menuju kantor pemasaran. Saya tidak mau membiarkan waktu berlalu begitu saja. Saya mau segera menyelesaikan persoalan mengenai "ancaman" Pak Demun melalui Pak Semprul terhadap Pak Odang.

Saya tidak bisa menerima cara-cara koordinasi yang rancu dan seenaknya memecat tanpa jelas antara hak dan bukan hak. Menurut saya, Pak Semprul tidak boleh seenaknya menyampaikan "ancaman" melampaui suatu kepatutan alias kewajiban. Kecuali, ya, kalau si Semprul bahkan Pak Demun mau menerima dampaknya, jika Pak Odang ngambek lalu benar-benar keluar.

Sesampai di kantor pemasaran, saya tidak menjumpai keberadaan Pak Semprul. Zainab memberi tahu bahwa Pak Semprul sedang berada di lokasi.

Kok tadi tidak terlihat di lokasi, ya, pikir saya.  

Saya keluar dari kantor pemasaran lalu menuju warung bubur ayam yang berada di seberangnya. Antara makan dan menunggu, begitulah. Kalau Pak Semprul muncul, pasti saya bisa melihatnya sekaligus segera menemuinya.

Matahari sudah turun tiga langkah. Kegarangannya sudah saya kunyah dan telan bersama kerupuk. Tampak Pak Semprul berjalan kaki dari lokasi ke arah kantor pemasaran.

Saya bangkit dari bangku warung, membayar semangkuk bubur ayam dan kerupuk, lalu bergegas ke kantor pemasaran. Saya tidak bisa membiarkan situasi berlalu tanpa jelas juntrungannya.

Saya pikir, persoalan koordinasi hingga pecat-memecat harus benar-benar dipahami oleh Pak Semprul ataupun Pak Demun alias pengembang. Jangan main "mentang-mentang".

Sesampai di teras kantor pemasaran, saya mengambil posisi duduk di bordes. Pak Semprul keluar lalu menemui saya.

"Tadi Pak Odang memberi tahu saya bahwa Pak Odang akan dikeluarkan dari proyek ini," kata saya tanpa basa-basi apalagi senyuman. "Pak Odang juga cerita soal pengukuran lahan itu."

"Pak Odang, 'kan, bekerja untuk pengembang?"

"Tidak begitu koordinasinya, Pak," jawab saya. "Pak Odang bekerja untuk kontraktor alias Pak Sarwan, karena gajinya dibayar oleh Pak Sarwan. Peralatan bekerjanya milik Pak Sarwan. Yang wajib dan berhak menyuruh Pak Odang cuma Pak Sarwan alias bosnya kontraktor. Apakah selama lebih tujuh bulan ini gaji bulanan Pak Odang dibayar oleh Pak Demun? Apakah peralatan kerja Pak Odang berasal dari Pak Demun?"

Pak Semprul tidak menanggapi. Saya pun melanjutkan.

"Termasuk menyuruh Pak Odang mengukur lahan milik warga. Tidak boleh begitu, Pak."

"Saya tidak menyuruh Pak Odang mengukur lahan itu. Saya hanya meminta Pak Odang menunjukkan patok-patok lahannya."

"Tidak, Pak. Bapak menyuruh Pak Odang mengukurnya. Padahal, kalau urusan mengukur lahan, Bapak bisa meminta orang Kecamatan melakukan itu."

"Saya hanya meminta Pak Odang menunjukkan patok-patoknya saja. Itu pun diminta oleh Pak Demun."

"Tidak. Bapak menyuruh Pak Odang mengukurnya."

"Kalau begitu, saya telpon Pak Demun sekarang," katanya sambil merogoh saku kemejanya untuk mengambil ponsel.

Saya biarkan saja Pak Semprul menghubungi bos-nya. Bukan kali ini saja ia melakukan itu. Beberapa minggu lalu, sewaktu membahas soal penyelesaian pekerjaan pagar proyek dan ia tidak mengerti persoalan koordinasi, ia langsung menghubungi Pak Demun.

"Begini, Pak," kata Pak Semprul ketika hubungan tersambung. "Ini ada Pak Oji. Pak Oji tidak senang Bapak menyuruh Pak Odang mengukur lahan milik warga..."

"Lho, tadi kata Bapak, menunjukkan patok-patoknya saja. Kok sekarang bilang 'mengukur'? Bapak juga pakai diksi 'tidak senang', itu anggapan Bapak lho, ya." Saya langsung menyela obrolan selulernya.

"Ini, Pak, Pak Oji ada di samping saya," katanya sambil menyerahkan ponselnya pada saya.

"Saya Oji, Pak, ada apa, ya?" sahut saya untuk menanggapi sambungan dengan Pak Demun.

"Begini. Tadi Pak Semprul memberi tahu saya mengenai Pak Odang dan mengukur lahan itu..."

"Maaf, ya, Pak. Saya tidak bisa menanggapi Bapak karena garis koordinasi antara saya dan Bapak tidak boleh begini. Bapak hubungi Pak Sarwan saja. Bapak adalah bos-nya pengembang, dan Pak Sarwan adalah bos-nya kontraktor alias bos kami," kata saya sambil menyerahkan ponsel itu pada Pak Semprul.

Pak Semprul menerima ponselnya, dan berbicara lagi dengan Pak Demun. Saya tidak perlu mendengarkan apa saja yang mereka bicarakan. Hanya saja, saya menganggap bahwa Pak Semprul sudah berkata dan bertindak tidak semestinya.

Jangan-jangan ini yang disebut psikolog tentang post power syndrome itu, pikir saya.

"Bapak sudah membohongi saya soal penunjukan patok dan pengukuran. Bapak juga memakai diksi 'tidak senang', padahal persoalannya hanya pada koordinasi," kata saya ketika ia selesai berteleponan dengan Pak Demun.

"Pokoknya, Pak, saya akan tetap melakukan apa yang disuruh Pak Demun!"

"Sudahlah," kata saya sembari bangkit untuk meninggalkannya sendirian di teras, "lebih baik saya berbicara dengan batu-batu dan gundukan-gundukan tanah di sana daripada saya menjadi dungu di sini."

*******

Ruang Lebur, Cibubur, 29 November 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun