Saya keluar dari kantor pemasaran lalu menuju warung bubur ayam yang berada di seberangnya. Antara makan dan menunggu, begitulah. Kalau Pak Semprul muncul, pasti saya bisa melihatnya sekaligus segera menemuinya.
Matahari sudah turun tiga langkah. Kegarangannya sudah saya kunyah dan telan bersama kerupuk. Tampak Pak Semprul berjalan kaki dari lokasi ke arah kantor pemasaran.
Saya bangkit dari bangku warung, membayar semangkuk bubur ayam dan kerupuk, lalu bergegas ke kantor pemasaran. Saya tidak bisa membiarkan situasi berlalu tanpa jelas juntrungannya.
Saya pikir, persoalan koordinasi hingga pecat-memecat harus benar-benar dipahami oleh Pak Semprul ataupun Pak Demun alias pengembang. Jangan main "mentang-mentang".
Sesampai di teras kantor pemasaran, saya mengambil posisi duduk di bordes. Pak Semprul keluar lalu menemui saya.
"Tadi Pak Odang memberi tahu saya bahwa Pak Odang akan dikeluarkan dari proyek ini," kata saya tanpa basa-basi apalagi senyuman. "Pak Odang juga cerita soal pengukuran lahan itu."
"Pak Odang, 'kan, bekerja untuk pengembang?"
"Tidak begitu koordinasinya, Pak," jawab saya. "Pak Odang bekerja untuk kontraktor alias Pak Sarwan, karena gajinya dibayar oleh Pak Sarwan. Peralatan bekerjanya milik Pak Sarwan. Yang wajib dan berhak menyuruh Pak Odang cuma Pak Sarwan alias bosnya kontraktor. Apakah selama lebih tujuh bulan ini gaji bulanan Pak Odang dibayar oleh Pak Demun? Apakah peralatan kerja Pak Odang berasal dari Pak Demun?"
Pak Semprul tidak menanggapi. Saya pun melanjutkan.
"Termasuk menyuruh Pak Odang mengukur lahan milik warga. Tidak boleh begitu, Pak."
"Saya tidak menyuruh Pak Odang mengukur lahan itu. Saya hanya meminta Pak Odang menunjukkan patok-patok lahannya."