Bersama Pak Odang di warung proyek dan setelah kejadian di depan Pak Demun, saya pernah mengajari Pak Semprul tentang garis koordinasi. Hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan teknis seharusnya dibahas oleh personal yang memang sesuai dengan bidang atau tugas masing-masing.
"Jadi saya tidak boleh menegur anak buah Bapak?"
"Tidak boleh, Pak," jawab saya dengan tegas. "Kalau ada pekerjaan yang salah, Bapak hanya boleh menegur saya. Bapak mewakili pihak pengembang, dan saya mewakili pihak kontraktor."
"Mengingatkan saja, tidak boleh?"
"Memang tidak boleh, Pak," jawab Pak Odang. "Masing-masing memiliki tanggung jawab, dan kepada siapa mereka bertanggung jawab. Kalau para pekerja itu, jelas berhubungan dengan mandor mereka. Mereka dibayar oleh mandor, dan mandor yang ditegur oleh Pak Oji kalau ada pekerjaan yang salah atau keliru. Arti kata, semua ada ranahnya masing-masing."
"Kalau Bapak tidak mau malu di depan kuli, ya, tegur saja deh. Masak, sih, kuli bisa mengerti soal koordinasi kerja dan siapa yang membayar kerja mereka, Bapak justru nggak ngerti dan ditegur mereka? Nggak malu, nih?" Â
***
Saya bergerak menuju kantor pemasaran. Saya tidak mau membiarkan waktu berlalu begitu saja. Saya mau segera menyelesaikan persoalan mengenai "ancaman" Pak Demun melalui Pak Semprul terhadap Pak Odang.
Saya tidak bisa menerima cara-cara koordinasi yang rancu dan seenaknya memecat tanpa jelas antara hak dan bukan hak. Menurut saya, Pak Semprul tidak boleh seenaknya menyampaikan "ancaman" melampaui suatu kepatutan alias kewajiban. Kecuali, ya, kalau si Semprul bahkan Pak Demun mau menerima dampaknya, jika Pak Odang ngambek lalu benar-benar keluar.
Sesampai di kantor pemasaran, saya tidak menjumpai keberadaan Pak Semprul. Zainab memberi tahu bahwa Pak Semprul sedang berada di lokasi.
Kok tadi tidak terlihat di lokasi, ya, pikir saya. Â