Mohon tunggu...
Greg Satria
Greg Satria Mohon Tunggu... Wiraswasta - FOOTBALL ENTHUSIAST

Learn Anything, Expect Nothing

Selanjutnya

Tutup

KKN Pilihan

Misteri Enam Putaran di Jalan Kaliurang

20 Juni 2024   11:30 Diperbarui: 20 Juni 2024   11:32 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi naik motor malam hari (IDNtimes) via kompas.com

Cerita kali ini adalah pengalamanku ketika mengantarkan pacar untuk mengikuti Kuliah Kerja Nyata di Kota Nganjuk, Jawa Timur. Aku Tedjo, berusia 28 tahun, sedangkan pacarku Intan yang sedang kuliah D3 Keperawatan harus menjalani fase sebulan KKN di RSUD Nganjuk. 

Minggu malam itu, kami berdua harus bergegas berangkat dari Surabaya untuk mengejar rombongan lain yang sudah tiba di lokasi sedari sore hari. Karena hanya Intan yang punya gebetan, yaitu aku, maka kami harus mengalah dengan enam mahasiswa-mahasiswi lainnya yang menggunakan mobil Kampus.

Kami pilih berangkat malam hari, sebab saat itu adalah arus balik usai Lebaran. Jika kami berangkat pagi, siang atau sore, resiko macet di tengah jalan akan menjadi hambatan. Meski sehari-hari rutin menggunakan sepeda motor di dalam kota Surabaya, menuju Nganjuk adalah rute terjauhku hingga saat ini. Kamipun berangkat pukul tujuh malam.

Perjalanan naik motor berdua sudah sering kami jalani, dengan senda gurau ataupun membahas hal-hal lain yang tidak penting di jalan. Tidak terasa hanya butuh waktu dua jam untuk sampai di Kertosono, bahkan dengan bantuan GPS kami sudah di lokasi sekitar pukul setengah sepuluh malam.

Inginnya sih langsung pulang, tetapi ternyata dosen kampus yang ikut rombongan mobil, mengajak kami berdua makan malam bersama dengan mahasiswa lainnya. 

Minggu malam, di alun-alun Kota Nganjuk, kami total sembilan orang menyesap nikmatnya Tengkleng Kambing yang sangat menghangatkan mulut pada dinginnya malam. Akhirnya kami memutuskan kembali ke rumah kos, tempat pacarku akan tinggal sebulan lamanya. Kami sampai rumah kos tepat pukul sebelas malam.

Tidak ingin membuang waktu karena malam sudah larut, aku bergegas berpamitan kepada Ibu Dosen serta memberi sedikit wejangan kepada Intan untuk fokus dalam mengikuti KKN ini. 

Sepeda pun kunyalakan sekitar pukul 23.30, setengah jam menjelang tengah malam. Dalam hati hanya bisa berdoa, 

"Semoga bisa sampai Surabaya jam dua dengan selamat. Amin"

Cobaan pertama datang, tepat di depan Alun-alun Nganjuk, ban motor Supra-ku tetiba gembos. Mumpung masih banyak orang, kuputuskan berhenti untuk mengecek kondisi ban motor.

"Sepertinya bocor halus, Pak. Mohon dicek nggih." kataku halus kepada bapak tambal ban berusia sekitar 70 tahunan.

"Monggo duduk dulu, Mas. Dari Suroboyo, ya?" tanya beliau melihat plat L pada motor Supra kesayanganku.

"Nggih, Pak. Mengantar pacar KKN, eh dinas, di RSUD Nganjuk."

Setelah berlalu sekitar 20 menit, ternyata ada lubang kecil yang harus ditambal pada ban depan motorku. Tak lupa meminta tambah angin pada ban belakang, akupun menyiapkan uang 20 ribu untuk Bapak tersebut.

"Pinten, Pak?"

"Lima belas ribu , Mas."

"Niki, Pak. Pripun kembaliannya disimpan saja."

"Terimakasih, Mas."

Ketika aku memakai helm dan jaket untuk siap menjelajah jalur antar kota, Bapak tadi melihat tajam kearahku sembari menyiapkan motor hingga di sandar samping.

"Iya, Pak. Ada apa?"

"Sampean yakin mau balik Surabaya tengah malam begini, Mas?"

"Iya Pak. Besok kan Senin, pagi saya harus kerja kembali."

"Emmm..." gumamnya mau mengatakan sesuatu.

"Tidak apa-apa, Pak. Saya bisa jaga diri kalau ada apa-apa di jalan."

"Nggihpun kalau sampean yakin Mas. Cuma Bapak ada pesan dua hal."

"Nopo, Pak?"

"Jangan berhenti di jalan Kaliurang ya, apapun kondisinya."

"Oh, enten nopo memangnya, Pak?"

"Lebih baik ikuti saja Bapak, Mas. Jangan tanya alasannya."

"Nggih, Pak. Yang kedua?"

"Spionnya diarahkan langsung ke jalan saja, jangan kelihatan jok belakang motor sampean."

"Oh nggih kulo paham maksud sampean, Pak. Yakin kok kulo mboten diikuti setan. hehehe." jawabku santai yang malah membuat mata Bapak itu semakin menajam.

Akhirnya aku berpamitan tepat pukul 00.00 dini hari kepada beliau, dan melakukan perjalanan balik Nganjuk-Kertosono-Jombang-Mojowarno-Mojokerto-Surabaya. Satu yang masih mengganjal, tadi aku lupa menanyakan Kaliurang itu daerah kota atau kabupaten apa.

Di jalan hanya ketemui segelintir kendaraan, mayoritas adalah truk kontainer pengantar barang. Kecepatan 70 km per jam bisa kuraih dengan Supra kesayanganku ini. Nganjuk sudah lewat, Kertosono juga berlalu, tinggal Jombang dan Mojokerto pikirku. Dua daerah ini sudah lebih banyak kendaraannya karena ditambah jalur ramai dari arah Kediri.

Dorrrr!! Tiba-tiba terdengar suara meletus dari arah belakang motorku. Spion yang tadi kuarahkan seperti petuah Bapak tua, kini kuarahkan ke bagian dasbor belakang sambil menurunkan kecepatan motor.

"Ah sepertinya aku melindas paku, Sial!" pikirku.

Motor masih bisa berjalan meski agak oleng. Kecepatan 30 km per jam tetap terjaga, berharap bisa menemukan tambal ban terdekat di daerah Kota Jombang ini. Syukurlah, di kanan jalan kulihat berjejar tiga gubuk tukang tambal ban yang buka 24 jam. Aku memilih yang tengah, karena lampu di gubuk tersebut masih menyala.

"Permisi, Pak. Mau nambal ban." Sapaku ke dalam gubuk bambu tempat ada seorang pria paruh baya tertidur pulas.

"Oh iya mas. Silakan duduk dulu."

"Yang belakang, Pak. Kena paku tadi di jalan."

"Hah? Memang sampean sudah lihat ban nya?" tanyanya agak ketus.

Aku pun teringat, kalau sedang menambal ban, jangan memberi tahu terkena paku di dekat lokasi. Tukangnya akan tersinggung seolah dia yang meletakkan pakunya.

"Ngapunten, belum Pak. Sepertinya ada suara meletus tadi, saya pikir paku."

"Ya, biar saya cek dulu."

Kali ini hanya sekitar 10 menit. Lebih cepat daripada Bapak tambal ban di Nganjuk tadi. Syukurlah pikirku, lebih cepat lebih baik.

Karena tidak ada obrolan apapun di antara kami berdua hingga tepat pukul 1 dini hari ini, akupun bergegas membayar dan segera menyiapkan motor. Sepertinya ia masih marah atas tuduhan tadi.

Kunyalakan motor Supra-ku lagi, dan bergegas menuju Mojowarno yang mungkin sekitar 30 menit lagi. Kondisi ban sudah mantap, jadi kulajukan lagi motor di kecepatan 70 km/jam.

Namun, ada yang aneh! Sepertinya daerah Mojowarno yang biasanya kutahu sudah banyak warung makan tak kunjung juga terlihat. Aku hanya melaju di atas jalan, di mana sangat mirip dengan yang kulewati tadi. 

"Ah, mungkin dejavu." pikirku.

Kulihat ada gubuk lagi di sebelah kanan jalan, cukup mirip dengan gubuk tadi yang kusinggahi untuk tambal ban. Tapi kupastikan bukan, karena yang dijual adalah minuman dan kelapa muda. Ibu di dalam warung minuman tersebut menoleh kepadaku dan mengangkat telunjuk kanannya.

"Hah? Atas? Ga hujan tuh." pikirku usai melihat arah telunjukknya yang kusangka mengarah ke langit dan memperingatkan akan turun hujan.

Semenit kemudian, ada tiga gubuk lagi yang kulihat di sebelah kanan jalan. Kali ini hanya seperti bekas tempat makan pinggir jalan, yang sudah tutup sedari malam tadi.

Bulu kudukku merinding, ada seorang anak laki-laki tetiba bangun dari tidurnya di atas dipan, memandang kearahku dan kali ini memberi isyarat jari telunjuk dan jari tengah. 

"Dua? Bukan arah atas, mereka sedang menghitung sepertinya. Kenapa ini?"

Semakin kukencangkan laju motor Supra hingga 75 km/jam untuk menambah fokus berkendara. Ini mungkin karena dinginnya malam semakin menyerang. Biasanya sih, menambah laju akan semakin meningkatkan konsentrasi.

Tiga gubuk lagi kulihat di sebelah kanan. Kali ini benar-benar membuat seluruh tubuhku merinding. Tiga gubuk ini adalah tempat aku menambal ban! 

Gubuk tengah dengan lampu menyala. Kulihat bapak ketus yang tadi menambal ban belakang Supra-ku kali ini kedatangan pelanggan lain. 

"Sial! Ini looping! Hanya memutar di jalan yang sama. Apa aku salah memilih jalur ya?" pikirku masih mencoba logis. 

Kulihat spion belakang, bapak tambal ban tadi ternyata berdiri sembari mengangkat tiga jari tangan kanannya.

"Tiga? Apa maksudnya? Mau sampai berapa lagi?" Otakku semakin berputar cepat menambah mual.

Semenit kemudian, ibu yang tadi kulihat berada di depan warung minuman kali ini terlihat sambil tersenyum lebar ke arahku. Ia berada tepat di pinggir jalan sebelah gubuk paling kiri. Ya, tentu sudah bisa kutebak, ia mengangkat empat jari kanannya.

Sempat mau menghentikan kendaraan, aku berpikir sejenak petuah Bapak di Nganjuk tadi.

"Kalau aku berhenti, nanti pasti terjadi sesuatu. Aku harus jalan terus!"

Kutetapkan hati meski melihat jalan sekeliling yang tidak berubah dari jalan yang kulewati sebelumnya. Gelapnya malam juga semakin membuat pandangan jauh tidak jelas. Tetapi, ini jelas sekal! Kulihat lagi gubuk kosong tempat anak kecil tadi tertidur. Syukurlah kali ini tanpa ada anak laki-laki tadi, hanya motor saja yang diparkir.

Kulihat dengan seksama motor tersebut, "Supra-ku! Hah?"

Akupun segera melihat ke dasbor depan, mengecek bahwa yang kutumpangi ini benar-benar Supra-ku dan Supra tadi hanyalah yang mirip saja dengannya. Kulihat pula ke spion, untuk mengecek dasbor samping. 

Lhaaa!!!

Anak laki-laki tadi tiba-tiba muncul di spion, sedang berada di atas jok belakang motorku! Sambil tersenyum iapun mengangkat kelima jari kanannya! Kali ini benar-benar menyeramkan wajahnya!

Tegang, takut dan gugup menjadi satu, sebelum mataku disilaukan oleh cahaya kuning kuat dari arah depan!

Ada sebuah truk yang melaju kencang dan menyalakan lampu sorotnya kepadaku. Aku sudah berada di tengah jalur, matilah aku!

"TINNNNNNNNNNN!!!" Suara sirine itu keras memekakkan telingaku.

Mataku pun terbuka, yang kulihat memang lampu menyilaukan. Namun bukan berasal dari truk, tetapi dari sebuah sepeda motor yang menyorot dan membunyikan klakson tepat di depanku yang terduduk.

Dalam kantuk yang hebat kulihat motor itu tidak berjalan, aku juga tidak sedang di atas motor, itu silau lampu motorku!

"Apa yang terjadi?"

"Syukurlah, Mas. Sampean sudah bangun." Suara yang sudah tidak asing di telingaku.

Lampu motor Supra yang menyorotku pun dimatikan oleh Bapak tua penambal ban di Nganjuk tersebut.

"Loh, saya masih di Nganjuk Nggih, Pak?"

"Mboten, Mas. Itu lihat plang jalannya."

Kulihat arah telunjuk Bapak tua tadi mengarah ke sebuah tulisan Kaliurang-Jombang.

"Ya ampun. Ternyata saya tidak mengindahkan pesan sampean."

"Mboten nopo-nopo, Mas. Yang penting sampean selamat. Sudah berapa putaran tadi?"

"Eh..  Lima, Pak. Setannya tadi menunjuk sampai angka lima. Memang kenapa, Pak?"

"Syukurlah, Mas. Kurang satu lagi. Kalau sampean sampai enam putaran, jiwa sampean dibawa makhluk itu."

"Ya ampun. Saya benar-benar bingung, Pak. Sampean kenapa bisa ada di sini?"

"Setelah Mas-nya nambal di Nganjuk tadi, saya putuskan menyusul."

"Kenapa, Pak?"

"Sekitar seratus meter setelah sampean jalan, saya lihat ada kain putih di atas sampean. Sampean sudah diincar sewaktu berangkat tadi. Ban depan sampean yang saya tambal tadi juga bocornya agak aneh, ada dua lobang seperti bekas gigitan."

"Waduhh. Terimakasih banyak nggih, Pak. Berarti saya ketiduran dari tadi di gubuk bambu ini."

"Bukan gubuk, Mas. Ini makam umum Kaliurang."

Seketika aku menyadari kalau tempat yang kududuki adalah sebuah bongkahan batu besar. Kulirik kanan-kiri, membuatku terperanjat! Ada puluhan nama almarhum-almarhumah tertulis pada kayu yang tertancap pada makam yang letaknya tepat di pinggir jalan raya ini.

*NB : Tokoh dan lokasi dalam cerita ini hanyalah fiktif belaka. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten KKN Selengkapnya
Lihat KKN Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun