"Ya, biar saya cek dulu."
Kali ini hanya sekitar 10 menit. Lebih cepat daripada Bapak tambal ban di Nganjuk tadi. Syukurlah pikirku, lebih cepat lebih baik.
Karena tidak ada obrolan apapun di antara kami berdua hingga tepat pukul 1 dini hari ini, akupun bergegas membayar dan segera menyiapkan motor. Sepertinya ia masih marah atas tuduhan tadi.
Kunyalakan motor Supra-ku lagi, dan bergegas menuju Mojowarno yang mungkin sekitar 30 menit lagi. Kondisi ban sudah mantap, jadi kulajukan lagi motor di kecepatan 70 km/jam.
Namun, ada yang aneh! Sepertinya daerah Mojowarno yang biasanya kutahu sudah banyak warung makan tak kunjung juga terlihat. Aku hanya melaju di atas jalan, di mana sangat mirip dengan yang kulewati tadi.Â
"Ah, mungkin dejavu." pikirku.
Kulihat ada gubuk lagi di sebelah kanan jalan, cukup mirip dengan gubuk tadi yang kusinggahi untuk tambal ban. Tapi kupastikan bukan, karena yang dijual adalah minuman dan kelapa muda. Ibu di dalam warung minuman tersebut menoleh kepadaku dan mengangkat telunjuk kanannya.
"Hah? Atas? Ga hujan tuh." pikirku usai melihat arah telunjukknya yang kusangka mengarah ke langit dan memperingatkan akan turun hujan.
Semenit kemudian, ada tiga gubuk lagi yang kulihat di sebelah kanan jalan. Kali ini hanya seperti bekas tempat makan pinggir jalan, yang sudah tutup sedari malam tadi.
Bulu kudukku merinding, ada seorang anak laki-laki tetiba bangun dari tidurnya di atas dipan, memandang kearahku dan kali ini memberi isyarat jari telunjuk dan jari tengah.Â
"Dua? Bukan arah atas, mereka sedang menghitung sepertinya. Kenapa ini?"