Aku berniat menguburnya. Kuambil cangkul dan cetok alat tanam, lalu kugali lobang sekira sedalam 30 sentimeteran. Setelah lobang siap, kuambil tali, kulaso ekornya, lalu kuangkat dari posisinya semula.Â
Saat terangkat itulah aku baru tahu kalau moncongnya terluka, bahkan terlihat remuk ujungnya. Dengan fakta ini secepat kilat otak detektifku menggambarkan sebuah rekonstruksi.Â
Tikus itu kemarin memakan umpan di perangkap yang kupasang lalu ujung moncongnya terkena hantaman besi. Karena hanya ujungnya yang terkena, tikus itu tidak terjepit dan masih bisa melepaskan diri.Â
Akan tetapi, luka di moncongnya itu cukup parah untuk menjadi penyebab kematiannya. Cukup logis, aku meyakini skenario ini, kasus ditutup -- case closed. Si wirog pun kukuburkan semestinya. Meski cuma hewan, aku tetap mendoakan, meski dalam hati saja.
Pasca tewasnya wirog itu pun timbul keanehan. Seperti halnya para curut yang tak lagi berani menampakkan diri pasca ada kejadian curut terjebak perangkap lem, kali ini pun tak ada lagi wirog terlihat berkeliaran pasca kejadian ada wirog tewas dengan moncong remuk terhantam perangkap. Lagi-lagi aku berpikir kalau binatang juga punya penalaran seperti manusia.Â
Ah, apa pun itu aku tak mengendorkan perlawanan. Perangkap tetap kupasang tiap malam. Kalaupun bukan curut maupun wirog, tikus biasa pun kuanggap musuh jika seenaknya berkeliaran sambil buang kotoran.
"Ayah, jebakannya kena, tuh," kata istriku saat aku baru pulang dari pertemuan RT sekitar jam 10 malam.
"Lho, kok tahu kalau kena?" tanyaku.
"Tadi bunyi brak, terus ada bunyi kletek-kletek," jawabnya.
Hmm. . masuk akal, pikirku. Suara "brak itu" suara hantaman besi perangkap, lalu suara kletek-kletek itu suara binatang yang terperangkap. Aku yakin istriku tidak berani melihatnya sendiri, tapi analisisnya kupikir tepat juga. Hanya ada satu cara untuk membuktikannya. Aku segera melangkah ke Tempat Kejadian Perkara alias TKP ... dan . . . .
Benar saja. Seekor tikus berukuran sedang tampak terjepit di perangkap. Mati!