Mohon tunggu...
Giens
Giens Mohon Tunggu... Penulis - freelancer

I like reading, thinking, and writing.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Obituari Curut Bandel

14 Juli 2021   20:18 Diperbarui: 14 Juli 2021   20:25 1381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar:Pixabay

Beberapa waktu lalu kami pindah rumah. Oleh karena cukup banyak yang harus dirapikan, hingga kami menempatinya, masih ada segerobak perkakas yang belum menemukan tempat yang tepat. Meski demikian, kami berusaha menempatkan semua itu di satu lokasi. 

Seperti umumnya, tempat yang kami pilih adalah pojokan rumah, pojokan luar rumah lebih tepatnya karena bagian belakang rumah belum berdinding, hanya dinding tembok pagar setinggi dua setengah meteran.

Oleh karena kecapekan, baik capek fisik maupun capek pikiran, segerobak perkakas di pojok rumah tidak langsung kami bereskan, masih mengonggok di sana. 

Awalnya kami tak terlalu merasakan itu sebagai masalah urgen yang harus segera dibereskan. Sampai beberapa waktu kemudian, mulai muncul beberapa ekor tikus curut di malam hari menyambangi bagian belakang rumah kami. 

Meski bagian depan rumah sudah berpagar, ada beberapa sentimeter jarak antara pintu pagar bagian bawah dan lantai pagar. Jelas dari situlah para curut masuk -- kalau memanjat pagar tembok belakang sepertinya mustahil.

Andai sekadar datang dan memakan remah-remah makanan lalu pergi sih tak apa-apa. Para curut itu konsisten meninggalkan banyak kotoran yang bentuk, tekstur, maupun baunya sangat menjijikkan.

Sayangnya, aku termasuk manusia yang tak tegaan meski dengan binatang. Maka, langkah antisipasi yang kulakukan hanya mengusirnya saat datang dan menutup lubang di bawah pagar dengan papan kayu agar curut maupun makhluk jelek lainnya tidak bisa memasukinya.

Namun, langkah antisipasi itu hanya efektif selama satu---dua hari saja. Karena setelah itu gagal total. Si curut tak ubahnya makhluk berakal karena terbukti mampu meng-update siasatnya. 

Kalau kemarin-kemarin hanya datang saat menjelang malam dan buru-buru hengkang saat pagi datang, sekarang si curut memutuskan untuk bersarang di dalam, di sela-sela barang-barang di pojokan. 

Jadi, sekali berhasil masuk -- entah lewat mana, si curut bersembunyi saat terang dan berkeliaran mencari makan sambil menebar teror kotoran saat gelap.

Sekali lagi, aku bukan manusia yang tegaan. Saran untuk membunuhnya saat kelihatan pastinya tidak mudah kujalankan. Ya, meski si curut terlihat jinak dan tidak takut pada manusia di dekatnya, untuk memukulnya dengan kayu atau menginjaknya hingga remuk aku tak tega, entah kenapa.

Akan tetapi, teror si curut harus segera disikapi. Ibunya anak-anak sudah sering cemberut melihat kotoran curut di sana-sini. Langkah termudah adalah membersihkan tempat yang menjadi sarang curut itu agar tak lagi bisa dijadikannya sarang. Tapi, itu pun ternyata kurang berhasil. 

Si curut bersikap fleksibel dengan pindah markas di bawah lemari, di bawah kulkas, bahkan di antara pot-pot bunga yang kebetulan juga terletak di pojokan. Alhasil, langkah bersih-bersih sepertinya tidak efektif dan justru terkesan kami didikte oleh si curut.

Langkah selanjutnya yang kuambil adalah memasang jebakan. Jebakan tangkap, bukan yang bertipe sudden death seperti perangkap portabel yang menghantam sasaran dengan kawat besi. Desain perangkap yang kubuat kutiru dari youtube. 

Berbahan botol plastik bekas minuman satu literan, dua batang besi bekas payung, benang, paper clip, serta karet gelang, kurangkai perangkap dan kulengkapi dengan umpan di dalamnya. Kupasang di dekat jalur yang biasa dilalui si curut pada suatu malam.

Tak lama kemudian . . .

"Ayah. . . perangkapnya berhasil!" terdengar teriakan si sulung.

Aku berlari menemui. Benar saja. Perangkap botol yang tadinya terbuka itu kini tertutup dengan seekor curut berada di dalamnya.

"Hmm. . hebat. . sukses di kesempatan pertama," gumamku puas.

Kuambil perangkap itu, kubawa ke sudut pagar tembok belakang, kulepas karet gelang pengikat pintu perangkap, lalu dengan sekuat tenaga kuayun si curut hingga terlempar jauh keluar pagar. Aku yakin si curut tak bisa memanjat pagar tembok yang licin untuk kembali ke rumahku. Satu masalah selesai, pikirku.

Ternyata dugaanku salah! Keesokan malamnya, curut itu datang lagi. Seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa, si curut beraktivitas seperti biasa. Berseliweran di dekat kakiku yang sedang duduk di kursi menikmati secangkir kopi bakda maghrib.

Aku sempat heran, ini curut macam kucing saja, sudah dibuang tapi kembali lagi ke rumah favoritnya. Padahal, untuk kembali ke rumah kami setelah kulempar keluar pagar tembok belakang, si curut harus memutar jauh melewati rumah tetangga.

Aku pun memutuskan untuk memasang perangkap lagi. Perangkap yang sama, perangkap botol plastik. Dan, si curut masuk perangkap lagi meski harus menunggu agak lama. Kali ini aku tidak melemparnya keluar pagar. 

Aku berniat membawanya ke tempat pembuangan sampah sekitar satu kilometer dari rumah keesokan harinya. Perangkap yang berisi si curut itu hanya kuletakkan di halaman belakang di antara tanaman bayam.

Esoknya, saat aku bermaksud mengambil perangkap berisi curut untuk kubuang ke tempat pembuangan sampah, kudapati perangkap itu kosong melompong. 

Tak ada bagian yang rusak pada perangkap, tetapi si curut sudah lepas entah ke mana. Meski jengkel, diam-diam aku sempat juga memuji kecerdikan si curut. Cerdik seperti anjing.

Hari berikutnya, curut itu pun datang kembali, beraktivitas seperti biasa. Aku jadi heran karena perangkap kemarin yang kupasang kembali tak juga berhasil menjebaknya. 

Apa iya curut itu punya pikiran seperti manusia. Akhirnya aku memikirkan alternatif perangkap lain. Kali ini, aku menggunakan potongan pipa paralon sisa selokan. 

Panjangnya sekira 40 senti dengan diameter 4 inci atau 10 senti-an. Satu ujungnya kuberi kantong plastik, ujung lain kubiarkan terbuka. Di dekat ujung terbuka itu kubuat lubang tempat mengikatkan tali rafia.

Perangkap paralon kupasang di tempat yang biasa dilalui curut, umpan kuletakkan di dalam paralon yang terhubung dengan kantong plastik bening. Bagian tali rafia kusangkutkan pada pengait di dinding. 

Jika curut masuk dan mengambil umpan, akan terdengar bunyi berkeresek sebagai tanda aku harus menarik tali rafia secepatnya. Maka curut akan terperangkap dalam plastik dan tidak dapat memanjat paralon yang licin.

Perangkap ini berhasil!

Saat si curut mencicit-cicit panik itu kugantungkan paralon di dinding pagar belakang. Besok rencananya akan kubuang ke tempat pembuangan sampah yang jauh. Tapi . . .

Hanya sebentar aku lega atas keberhasilan perangkapku karena segera terdengar cicit-cicit si curut yang ternyata sudah keluar dari perangkapku. Plastik bening yang semula memerangkap tubuhnya digigiti hingga berlobang dan melalui lobang itu ia meloloskan diri hanya dalam waktu beberapa detik saja pasca aku menjauh.

God damn shit rutuku dalam hati.

Aku senewen tak tahu harus berbuat apa lagi. Untuk sementara aku tak berminat lagi memperdayai si curut.

Esok malamnya, si curut datang lagi. Seperti biasa seolah tak terjadi apa-apa. Bahkan, kali ini sepertinya membawa teman. Karena kudengar cericitnya ada beberapa macam. Aku geregetan. Tapi untuk membuat perangkap lagi aku merasa sedang kehabisan alasan. 

Maka, kalau kebetulan ketemu saja aku menghardiknya hingga lari ketakutan. Dan esoknya, aku terpaksa membersihkan sisa-sisa teror si curut dan kawan-kawan. Begitu terjadi berhari-hari. Hingga akhirnya kesabaranku mulai kelihatan batasnya.

Berawal dari aksi si curut membawa serta beberapa anaknya berbaris berkonvoi di antara lemari dan meja kursi dan akhirnya kudapati si curut sengaja meninggalkan 2 anaknya yang masih kecil sekelingking di belakang pintu ruang tidurku suatu pagi. Aku pikir itu ujian ketegasan. 

Mungkin si curut berpikir kalau aku tak akan tega menyingkirkan bayi-bayinya itu dan memeliharanya di kamarku, mengasuhnya seperti anakku sendiri. Licik sekali, mirip manusia praktisi politik alias politikus.

Bagiku, siasat licik semacam ini sama halnya tantangan perang! NOWAY! Aku pikir mereka kelewatan menginjak-injak harga diri dan kehormatanku. Saatnya melakukan pembalasan! 

Kuambil pengki dan sapu ijuk kecil, kuserok kedua makhluk mungil duta politik si curut, lalu kubawa ke pagar tembok belakang dan kulemparkan keluar. Masa bodoh! Kalian mau dimakan kucing, musang, atau tertancap duri kaktus padang pasir. . . eh yang terakhir ini jelas tak mungkin .... karena luar pagar hanya sesemakan. Ah terserah. Aku tidak peduli. Yang jelas, perang sudah dimulai.

Yang makin membuatku jengkel adalah ternyata si curut bukan satu-satunya jenis satwa menjijikkan yang kerap menyambangi bagian belakang rumahku. Ada tikus besar dan kecil yang kemudian ikut berpesta ria, bisa jadi atas informasi si curut.

Akhirnya, kukuatkan hati, kubeli perangkap berupa papan beroleskan lem. Dengan umpan di tengahnya, aku pasang perangkap itu suatu malam. Dan setelah beberapa jam kutinggal dalam kesunyian . . .

"Ayah. . . perangkapnya kena. . !" terdengar seruan ibunya anak-anak.

Spontan aku berlari ke arah lokasi perangkap terpasang. Tapi tak ada makhluk apa pun yang terlihat di atas papan berisi lem. Hanya terlihat segepok bulu hitam menempel di atasnya.

Hmm. . pasti tikus besar yang kena dan berhasil lepas meski sebagian bulunya terpaksa lengket di papan perangkap.

"Kena?" tanya istriku.

"Lepas, sepertinya terlalu besar tikusnya. Ada sebagian bulunya tertinggal di papan perangkap," jawabku.

"O"

Hanya itu komentarnya dan segera berlalu. Aku pasang lagi perangkap itu, siapa tahu berhasil. Benar saja. Beberapa puluh menit berselang terdengar suara cicit-cicit dari arah perangkap.

"YES" pekikku.

Ada curut nempel dengan sukses di papan perangkap. Bulunya terlihat basah kuyub terkena lem. Sepertinya ia tadi berguling-guling untuk melepaskan diri. Hal yang justru makin melengketkan tubuhnya pada papan perangkap.

Kapokmu kapan! Sukurin!

Esok paginya si curut sudah mati dengan meninggalkan beberapa paket kotoran di dekatnya. Aku lalu menguburnya di kebun belakang. Papan perangkap itu aku tekuk, kumasukkan tas plastik besar lalu kumasukkan tong sampah di depan rumah.

Si curut sudah koit. Satu musuh telah sirna.

Namun, kemudian ada terbersit rasa heran di benakku. Entah efek kejut alias shock therapy itu berlaku pada curut atau tidak, yang jelas setelah itu tak ada seekor curut pun yang berani berkunjung. Tapi aku tak mau lengah. Tikus pun tak kalah menjengkelkan dibandingkan curut. Maka perang pun berlanjut. 

Kali ini aku beli perangkap bertipe sudden death. Aku tak mau tikus-tikus seenaknya berkeliaran di rumahku tanpa kenal sopan seperti halnya para curut laknat.

Perangkap kusiapkan, kupasang umpan, "kukokang", lalu kuletakkan di lantai sekitar pojokan.

Berbeda dengan curut yang tak tahu malu pada orang di dekatnya, para tikus cenderung paranoid. Mereka baru berani muncul jika tak ada orang. Maka, aku pun menjauh dari perangkap yang kupasang, menunggu di kejauhan, atau bahkan sejenak melupakannya dengan beraktivitas.

BRAKK

Aku yakin itu suara perangkap, bagian kawat besinya lepas dari kaitan dan menghantam bagian pelat bergerigi. Mestinya ada sasaran yang terhantam terjepit di sana. Ternyata tidak. Tak ada makhluk apa pun terjepit di perangkap, sementara umpan sudah terlepas entah ke mana. Huft

Sedikit kesal, kuambil lagi umpan dan kembali kupasang perangkap di tempat yang sama. Mau cerdik mau jenius, suatu saat kalian pasti kena perangkapku, rutukku masygul.

Esok malamnya, perangkapku gagal mendapatkan sasaran. Anehnya, umpannya sudah hilang. Berarti ada yang mengambilnya tanpa menyebabkan pengaman pada perangkap terlepas dan menghentak. Padahal, berkali-kali kuintip secara acak, tak satu pun tikus yang tampak.

Namun, pagi harinya kutemukan bangkai tikus besar nyungsep di antara pot-pot bunga. Wirog. Nyungsep badannya tanpa terlihat kepalanya. Aku tak tahu kenapa tikus itu mati karena tak terlihat sedikit pun bekas luka di tubuhnya. Perasaan, aku juga tak pernah memasang racun untuk membasminya. Entahlah. Yang jelas bangkai tikus ini harus segera dievakuasi.

Aku berniat menguburnya. Kuambil cangkul dan cetok alat tanam, lalu kugali lobang sekira sedalam 30 sentimeteran. Setelah lobang siap, kuambil tali, kulaso ekornya, lalu kuangkat dari posisinya semula. 

Saat terangkat itulah aku baru tahu kalau moncongnya terluka, bahkan terlihat remuk ujungnya. Dengan fakta ini secepat kilat otak detektifku menggambarkan sebuah rekonstruksi. 

Tikus itu kemarin memakan umpan di perangkap yang kupasang lalu ujung moncongnya terkena hantaman besi. Karena hanya ujungnya yang terkena, tikus itu tidak terjepit dan masih bisa melepaskan diri. 

Akan tetapi, luka di moncongnya itu cukup parah untuk menjadi penyebab kematiannya. Cukup logis, aku meyakini skenario ini, kasus ditutup -- case closed. Si wirog pun kukuburkan semestinya. Meski cuma hewan, aku tetap mendoakan, meski dalam hati saja.

Pasca tewasnya wirog itu pun timbul keanehan. Seperti halnya para curut yang tak lagi berani menampakkan diri pasca ada kejadian curut terjebak perangkap lem, kali ini pun tak ada lagi wirog terlihat berkeliaran pasca kejadian ada wirog tewas dengan moncong remuk terhantam perangkap. Lagi-lagi aku berpikir kalau binatang juga punya penalaran seperti manusia. 

Ah, apa pun itu aku tak mengendorkan perlawanan. Perangkap tetap kupasang tiap malam. Kalaupun bukan curut maupun wirog, tikus biasa pun kuanggap musuh jika seenaknya berkeliaran sambil buang kotoran.

"Ayah, jebakannya kena, tuh," kata istriku saat aku baru pulang dari pertemuan RT sekitar jam 10 malam.

"Lho, kok tahu kalau kena?" tanyaku.

"Tadi bunyi brak, terus ada bunyi kletek-kletek," jawabnya.

Hmm. . masuk akal, pikirku. Suara "brak itu" suara hantaman besi perangkap, lalu suara kletek-kletek itu suara binatang yang terperangkap. Aku yakin istriku tidak berani melihatnya sendiri, tapi analisisnya kupikir tepat juga. Hanya ada satu cara untuk membuktikannya. Aku segera melangkah ke Tempat Kejadian Perkara alias TKP ... dan . . . .

Benar saja. Seekor tikus berukuran sedang tampak terjepit di perangkap. Mati!

Seperti dugaanku. Itu tikus bukan wirog bukan pula curut. Wirog dan curut sudah tak berani lagi berkeliaran di situ, trauma akan peristiwa naas yang menimpa jenis mereka.

Perangkap beserta tikusnya itu kubawa ke belakang. Tadinya mau kukubur, tapi ini malam-malam dan lagipula mulai hujan lagi. Wah, bagaimana ya, kalau kubiarkan sampai pagi kasihan juga mendiang tikus ini.

Aha, tiba-tiba saja aku ingat. Tepat di sudut kanan pagar belakang rumahku itu parit kecil. Lebarnya sekitar satu meteran. Pasca hujan deras sore tadi, pastinya parit itu deras juga alirannya. 

Tanpa pikir panjang kulepaskan tikus dari perangkap, kuambil selembar daun lebar, lalu kupegang ekornya dan kulemparkan ke luar pagar dengan penuh perkiraan.

Plung!

Ahaa. . bunyi itu menandakan lemparanku tepat ke parit. Bangkai tikus telah diterima dengan baik oleh sang parit.

Curut sudah, wirog sudah, tikus biasa juga sudah. Apakah bisa dikatakan rumahku sudah akan aman? Nanti dulu. Aku tetap tak mau mengendorkan perlawanan. Setiap malam, perangkap tetap kupasang meski tak terlihat tikus dan sebangsanya berkeliaran. 

Memang, hingga berhari-hari kemudian tak satu pun hewan terjebak perangkapku. Jangankan ada hewan terjebak, yang mendekatinya saja pun sepertinya tak ada. Karena umpan selalu utuh hingga esok paginya. 

Keranjang sampah plastik yang berisi tulang dan ikan pun tetap berdiri tegak. Berbeda dengan zaman para curut dan tikus masih bebas berkeliaran, tiap pagi keranjang sampah hampir selalu terhumbalang dengan sampah berserakan tak karuan. Sekarang aman tanpa gangguan.

Hingga suatu pagi, kudapati perangkap telah menutup tanpa mendapatkan sasaran, sementara umpannya meski masih utuh meski berserakan di dekatnya. 

Menurut nalar intelijenku, ada hewan yang mencoba mengambil umpan, tetapi perangkap luput mengenainya. Alhasil, perangkap tak mendapat sasaran, si hewan kaget bukan kepalang lalu lari lintang pukang ... pulang.

Apa pun itu, yang jelas musuh telah datang lagi setelah vakum sekian lama. Aku belum bisa memprediksi jenis hewan yang mengibarkan perang itu. Yang jelas, hewan ini kurang ajar sekali karena berani buang kotoran tepat di depan pintu rumahku. Kotoran hitam kehijauan sepanjang tiga senti-an dengan diameter seukuran penampang pensil itu terlihat amat sangat menjijikkan.

Awas kau! Pokoknya perangkap akan selalu kupasang setiap malam, tak peduli aku kalau dibilang kejam.

Untuk sementara, perangkap dengan umpan yang berserakan itu kudiamkan. Biar nanti malam saja sambil memasang perangkap sekalian kubersihkan. Tapi rencanaku sepertinya harus segera direvisi.

Waktu belum juga memasuki maghrib, sudah sore tetapi belum terlalu gelap untuk menyalakan lampu, kami kedatangan tamu. Seekor curut besar datang mengendus-endus menuju umpan yang berserakan di dekat perangkap. Aku kaget. Lho, kok curut sudah berani beroperasi lagi? Bahkan kini makin berani karena belum gelap sudah menampakkan diri.

Aku memprediksi, ini curut ini kemungkinan besar yang menyebabkan perangkap menutup kemarin tanpa mengenainya. Si curut masih ingat kalau ada banyak makanan yang belum sempat dicicipinya karena keburu kaget dan otomatis lari pulang tanpa sempat makan sehingga kelaparan. Kali ini ia ingin napak tilas memakan umpan itu. Enak saja!

Untuk melawan hama, aku harus jadi raja tega. Perangkap kuambil, kupasang umpan ikan asin, kukokang, lalu kuletakkan di tempat semula. Si curut yang entah budeg atau buta itu nyosor saja tanpa menghiraukan aku yang berdiri hanya beberapa meter darinya.

Endus sana-endus sini si curut sampai ke umpan di perangkap yang kupasang. Entah apa yang terjadi, nyatanya perangkap tak juga menghentak meski si curut sudah berkali-kali menggigiti umpan. Aku geregetan. Terhina sekali aku dibuatnya. 

Maka, dengan sedikit mengendap aku menghentak kaki didekatnya. Sial, ia cuma bergeser mundur sedikit, lalu maju kembali menggigiti umpan. Tapi kali ini takdir tak mungkin dilawan. Hanya beberapa detik kemudian terdengar suara,

 JEBRET

Si curut pun terdiam untuk selamanya.

Aku tak mau berlama-lama membiarkannya, bisa jatuh kasihan aku dibuatnya. Bisa tanpa sadar menyanyikan hymne untuknya. Pret, ah.. no way. Dengan mengeraskan hati, kulepas si curut dari perangkap, kuambil daun untuk memegang ekornya lalu kulempar ke luar pagar, tepat di atas parit yang pastinya masih tergenang.

CEMPLUNG!

Sang parit mantap menerima bangkai si curut. Terserah padanya untuk menenggelamkan atau mendamparkan saja bangkai curut yang kuserahkan. Aku tak peduli.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun