Mohon tunggu...
Gigin Auliya
Gigin Auliya Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dalam Diam Ku Mendamba

13 Februari 2019   12:04 Diperbarui: 14 Februari 2019   01:38 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 "benar juga yaa, kan cewek bukan mayat yang di kasih bunga mulu,hahaha "

 "cieeee.. yang mau ngasih pacarnya cokelat." kataku menahan perih. "hehehe" balasannya dengan tersipu malu.

Akhirnya pembina osis datang, dan pembicaraan diantara kita berakhir begitu saja. Nyatanya hari ini harus ku pakai lagi topeng senyumku. Ku simpan lagi perasaan dan lukaku rapat-rapat. Rasanya  bara membakar hati. Sembari hangus, aku mengutuk diriku sendiri. Lagi lagi aku cemburu. Namun, ini bukan salahnya....sungguh. Memang aku saja yang dari awal tak cukup berani menunjukkan bahwa aku menginginkan dirinya. Ya... aku harus mengalah. Aku mengalah kerena aku percaya jika dia memang untukku, sejauh apapun kaki membawanya pergi, jalan yang ia tempuh hanya akan membawanya kembali padaku. "Selamat untukmu ari, Aku akan pergi untuk menyembuhkan luka (lagi). Semoga kau bahagia dengan gadis itu. Namamu kan tetap terselip diantara bismillah dan amin selepas sujudku pada-Nya".

Malam demi malam kucoba menahan perih dan tangis yang menghiasi pelupuk mata, lalu minggu demi minggu mencoba untuk tidak lagi jatuh hati. Salah seorang teman menepuk bahuku.

"sudahlah, kau harus ingat apa yang dikatakan guru bahasa Indonesia, -dunia tak selebar daun kelor. Mati satu akan tumbuh seribu- Kau terus saja memperbaiki diri, buatlah dirimu menarik maka seseorang yang menarik akan menghampirimu", begitu katanya.

Perkataannya membuatku merenung lebih lama lagi, ada benarnya apa yang ia katakan. Meyakinkan diri untuk lebih kuat lagi. Berbisik pada hati, semua akan baik baik saja. Lalu aku teringat kutipan pada sebuah novel "Garis Waktu" karya Fiersa Besari "Pada sebuah garis waktu yang merangkak maju, akan ada saatnya kau terluka dan kehilangan pegangan. Yang paling menggiurkan setelahnya adalah berbaring, menikmati kepedihan dan membiarkan garis waktu menyeretmu yang niat-tak niat menjalani hidup. Lantas, mau sampai kapan? Sampai segalanya terlambat untuk dibenahi? Sampai cahayamu redup seredup-redupnya? Sadarkah bahwa Tuhan mengujimu karena Dia percaya dirimu lebih kuat dari yang kau duga? Bangkit! Hidup takkan menunggumu"

Sejak itu aku mencoba tetap baik baik saja, mencari kesibukkan dengan hal-hal yang bisa ku lakukan. Mendengarkan lagu-lagu penguat hati, membaca novel-novel pelipur lara. Bersenang-senang menikmati waktu, tapi tidak halnya menikmati senja, dan hujan. Dua hal yang tiba-tiba selalu ingin kuhindari. Karena itu hanya akan mengembalikan ingatanku padamu.

Setelah hari-hari yang patah itu. Nyatanya aku tetap baik-baik saja dengan diri yang lebih baik pastinya, beberapa hal yang kutunda sebelumnya, kini telah tercapai. Sunyi, sepi dan sendiri ialah hal-hal yang telah biasa ku nikmati. Meski beberapa orang mencoba mendekatiku. Tapi aku memilih untuk menutup hati, aku tak ingin menjadikan mereka sebuah pelampisan. Aku takkan setega itu. aku harus menyembuhkan hatiku sendiri hingga benar-benar sembuh dari sebuah pengkhianatan olehnya (seseorang yang sekarang tak lagi berkoalisi dengan ku) dan pengharapan pada ari, sekali lagi ku katakan ia bukan pemberi harapa palsu ini hanya aku yang terlalu berharap lebih.

Suatu hari, kudengar dia yang ari bilang "gadisku" telah berhasil mengancurkan  hatinya. Setelah mendengar kabar angin itu, aku segera mangambil ponselku. Tak lain tak bukan, yaa.... aku stalking semua akun sosial medianya untuk membuktikannya. Ternyata benar, postingan ari maknanya galau semua. . Hampir saja aku - yang terbiasa bertepuk sebelah tangan ini- ingin memberinya applause sambil memuji-muji karma - uppss... Tapi menurutmu, apa aku akan setega itu? jelas tidak!. Keesokkan harinya kami bertemu di sekolah, sekian lama tak pernah bertegur sapa, entah angin apa yang tengah melandanya. Dia menyapaku, meski matanya masih terlihat sembab, ia coba menggariskan senyum yang dulu selalu mampu membuyarkan pikiranku.

 "hai, Aya", sapanya

 "hai", kataku

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun